Abdullah Syafi'iNama | Abdullah Syafi'i |
---|
Kyai Haji Abdullah Syafi'i, lebih dikenal dengan nama Kiai Dulloh (10 Agustus 1910 – 03 September 1985) adalah pendiri dan pengasuh pertama Perguruan as-Syafi'iyah di Jakarta.[1][2][3] Ia pernah menjabat sebagai ketua I Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada periode pertama dan Ketua Umum Majelis Ulama DKI Jakarta pada periode pertama dan kedua.[4] Ia merupakan ayah dari Dra.Hj. Tuti Alawiyah, mantan Menteri Sosial dan Menteri Peranan Wanita pada masa Orde Baru sekaligus yang menjadi pengasuh Perguruan asy-Syafi'iyah saat ini.[1] Kiai Dulloh adalah ulama keturunan Betawi yang terkenal dengan julukan "Macan Betawi Kharismatik."[5] Ia juga dikenal sebagai ulama yang ahli ilmu agama dan mempunyai pandangan luas yang mengacu pada masa depan.[1] Menurut Prof. K.H. Ali Yafie mengatakan bahwa "K.H. Abdullah Syafi’i adalah tokoh pemberani, ikhlas, dan tak jemu dalam berdakwah.[6] Dia sangat tegas dalam menegakkan Amar ma'ruf nahi munkar."[6]
Riwayat Hidup
Kehidupan awal dan pendidikan
K.H. Abdullah Syafi'i adalah anak pertama dari pasangan dari K.H Syafi'i bin Haji Sairan dan Nona binti Sya‘ari.[1][3][7] Ia memiliki dua adik perempuan yang bernama Ruqoyyah dan Aminah.[7] Sejak kanak-kanak ia belajar pendidikan keislaman dari ayahnya dan lingkungan keluarganya.[1] Di samping itu ia juga belajar pendidikan formal di Sekolah Rakyat (SR) selama tahun.[7] Ia juga belajar kepada ulama-ulama di kampungnya dan disusul dengan belajar kepada ulama-ulama lain di wilayah Jakarta dan Jawa Barat.[1] di antara guru-guru Kiai Dulloh adalah Mualim Mushonif, Abdul Majid, Guru Marzuki bin Mirshod Cipinang Muara, Mansur, Habib Ali bin Husein Al-Attas, Habib Alwi Al-Haddad, Habib Salim bin Jindan, Habib Ali Kwitang, dan KH. Ahmad Mukhtar yang kemudian menjadi mertuanya.[1][7] Pada umur 17 tahun, Kiai Dulloh sudah berani mendirikan Madrasah Diniyah (Sekolah Agama Islam) di tanah milik orang tuanya di Bali Matraman dan mengajar di sana.[1] Bermula dari Madrasah Diniyah inilah Kiai Dulloh mengembangkan dakwah keislamannya di bidang pendidikan untuk masa-masa sesudahnya.[1]
Kiai Dulloh menikahi Siti Roqayah, puteri K.H. Ahmad Mukhtar dan dikarunia lima orang anak, yakni: Muhibbah, Tuty Alawiyah, Abdur Rasyid, Abdul Hakim, dan Ida Farida.[7] Pada tahun 1933, Kiai Dulloh didampingi istrinya mulai mendirikan masjid di samping madrasahnya.[1] Masjid ini ia beri nama al-Barkah yang di kemudian hari masjid ini mampu berkembang dan menjadi pusat keislaman hingga saat ini.[1][8]
Mendirikan lembaga pendidikan
Perguruan asy-Syafi'iyah mulai berkembang pada sekitar tahun 1960-an dengan ditandai dengan berdirinya lembaga pendidikan formal di lingkungan asy-Syafi'iyah.[1] Pada tahun 1963 Kiai Dulloh mendirikan AKPI (Akademi Pendidikan Islam) asy-Syafi'iyah dan kemudian pada tahun 1969 AKPI tersebut diperluas menjadi Universitas asy-Syafi'iyah, yang meliputi fakultas: Tarbiyah, Ushuluddin, Syari'ah, Ekonomi, Hukum, Teknik dan Pendidikan.[1] Ia juga sempat membangun stasiun radio asy-Syafi'iyah pada tahun yang sama.[4] Pada tahun tersebut didirikan pula Taman Kanak-kanak (TK) asy-Syafi'iyah dan Madrasah Aliyah (SMA Islam) asy-Syafi'iyah, sedangkan untuk Madrasah Tsanawiyah (SMP Islam) didirikan setelahnya.[1] Pada tahun 1970 berdirilah SD, SMP, dan SMA asy-Syafi'iyah. Dengan demikian menunjukkan bahwa Perguruan asy-Syafi'iyah semakin berkembang, tidak hanya di bidang pendidikan Islam saja, namun juga pada pendidikan umumnya.[1]
Dengan perkembangan yang cukup bagus tersebut, maka kompleks pesantren dan sekolah asy-Syafi'iyah dirasa tidak cukup lagi.[1] Untuk mnegatasi hal tersebut, Kiai Dulloh membuka kampus baru di Manggarai, Jakarta Selatan pada tahun 1969 .[1] Lima tahun kemudian (1974) disusul dengan pembangunan kampus baru di Jalan Bukitduri, Jakarta Selatan.[1] Kemudian pada tahun 1977 dibangun kampus lagi di Cilangkap, Jakarta Timur.[1] Selanjutnya, pada tahun 1984 Perguruan asy-Syafi'iyah mulai merambah ke wilayah Jawa Barat, dengan didirikannya tiga pesantren di sana.[1] Ketiga kompleks pesantren baru yang didirikan di Jawa Barat ini tersebar di wilayah Jakasampurna, Bekasi; Jatiwaringin, Pondok Gede, Bekasi; dan di Payangan yang juga masih daerah Kabupaten Bekasi.[1][4] Selain mendirikan Perguruan as-Syafi'iyah yang berkembang pesat, pada tahun 1978 ia juga mendirikan pesantren khusus untuk anak-anak yatim (yataama) dan orang-orang miskin (masaakin).[4]
Referensi
Catatan Kaki