K.H.Aminuddin Azis Pulungan (1927 – 28 November 1990) merupakan seorang ulama, politikus, dan diplomat dari Indonesia. Ia menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari tahun 1960 hingga 1965 dan dari tahun 1979 hingga 1982, menteri negara dari tahun 1965 hingga 1966, deputi menteri dan direktur jenderal dari tahun 1966 hingga 1967, Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi dari tahun 1968 hingga 1972, dan anggota Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1983 hingga 1988.
Masa kecil
Aminuddin dilahirkan pada tahun 1927 di Sibuhuan. Aminuddin menempuh pendidikannya di Pesantren Purba Baru di Tapanuli Selatan. Setelah lulus dari pesantren, Aminuddin merantau ke Medan dan Jakarta. Selama berada di perantauan, Aminuddin ikut aktif dalam organisasi Ansor Nahdlatul Ulama. Aminuddin kemudian bergabung dengan Nahdlatul Ulama dan terpilih menjadi sekretaris jenderal Nahdlatul Ulama.[1]
Karier politik
Aminuddin memulai karier politiknya ketika ia ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Ia dilantik sebagai anggota pada tanggal 25 Juni 1960.[2] Karena DPR-GR berada di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), Aminuddin juga merangkap sebagai anggota MPRS dan duduk di dalam komisi DPR-GR dan MPRS. Di dalam DPR-GR, Aminuddin menjadi anggota panitia musyawarah dan anggota Komisi I yang membidangi luar negeri, sedangkan di MPRS, Aminuddin masuk ke dalam komisi B yang membidangi kesejahteraan.[3] Aminuddin mengakhiri masa jabatannya sebagai anggota DPR-GR pada tanggal 21 September 1965 dan digantikan oleh Mohammad Amin Holle.[2]
Setelah bertugas di DPR-GR selama hampir lima tahun, Aminuddin dilantik menjadi menteri negara yang diperbantukan pada presidium pada tanggal 21 Juni 1965.[4] Beberapa bulan kemudian, terjadi insiden Gerakan 30 September yang melibatkan elemen-elemen militer dan berupaya untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno. Satu bulan setelah peristiwa tersebut terjadi, Aminuddin bersama dengan menteri negara Oei Tjoe Tat dan Brigadir Jenderal Polisi Moedjoko diangkat oleh Soekarno sebagai anggota Panitia Presidium untuk Penertiban, Pembersihan, dan Penyelesaian Oknum-Okum Sipil yang Terlibat G30S/1965. Panitia yang dikenal dengan nama Panitia Tiga Menteri ditugaskan oleh Soekarno untuk menangani dampak permasalahan insiden Gerakan 30 September terhadap pemerintahan. Kendati demikian, panitia ini tidak dapat berjalan dengan efektif karena kurangnya wewenang dari presiden.[5] Oei Tjoe Tat kemudian ditahan atas tuduhan keterlibatan dalam Gerakan 30 September[6] dan Panitia Tiga Menteri dibubarkan dengan diberhentikannya Aminuddin dan Moedjoko dari jabatannya sebagai menteri negara pada tanggal 19 Juli 1966.[7]
Pada tanggal 30 Maret 1966, Presiden Soekarno melakukan penyusunan ulang terhadap Kabinet Dwikora. Dalam susunan Kabinet Dwikora yang baru, Aminuddin menduduki jabatan sebagai Deputi Menteri Pembangunan Masyarakat Desa yang berkedudukan dibawah Menteri Dalam Negeri. Setelah Kabinet Dwikora digantikan oleh Kabinet Ampera, jabatan deputi menteri berubah menjadi direktur jenderal. Aminuddin menjabat sebagai direktur jenderal hingga tahun 1967.[8]
Aminuddin diangkat sebagai Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi merangkap Jordania pada awal tahun 1968.[9] Aminuddin menyerahkan surat kepercayaannya sebagai duta besar kepada Raja Arab Saudi pada akhir tahun 1968 dan kepada Pangeran Kerajaan Yordania pada tanggal 25 Januari 1969.[10] Pada masa jabatannya, hubungan antara Indonesia dengan Arab Saudi mengalami peningkatan dengan penandatanganan perjanjian persahabatan pada tanggal 24 November 1970.[11] Aminuddin mengakhiri masa jabatannya sebagai duta besar pada tahun 1972.
Selama Aminuddin berkiprah di Dewan Perwakilan Rakyat, terjadi konflik antara faksi Nahdlatul Ulama dan Muslimin Indonesia di dalam PPP. Jailani Naro, ketua PPP yang berasal dari Muslimin Indonesia, berupaya untuk mengurangi kekuatan politik Nahdlatul Ulama dengan menempatkan nama-nama tokoh Nahdlatul Ulama dalam daftar calon PPP sedemikian rupa sehingga tidak terpilih. Akibatnya, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama seperti Aminuddin tidak dapat terpilih kembali dalam pemilihan umum selanjutnya.[15][16] Aminuddin hanya menjabat sebagai anggota dewan hingga masa jabatannya berakhir pada tanggal 1 Oktober 1982. Ia kemudian diangkat oleh Presiden Soeharto sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) dari tanggal 3 Mei 1983[17] hingga 6 Agustus 1988.[18]
Pensiun
Aminuddin pensiun dari pemerintahan setelah mengabdi sebagai anggota DPA. Aminuddin kemudian diangkat menjadi Rektor Universitas Islam Attahiriyah di Jakarta. Di tengah masa jabatannya sebagai rektor, Aminuddin wafat pada tanggal 28 November 1990 di Jakarta.[1]
Catatan
^Jabatan sebelumnya bernama Deputi Menteri Pembangunan Masyarakat Desa hingga 18 April 1966 dan berkedudukan sebagai anggota kabinet.