Disko adalah salah satu aliran musik untuk dansa yang berkembang pada tahun 1970-an di klub-klub dansa Amerika Serikat. Disjoki di klub dansa memutar serangkaian lagu dari piringan hitam tanpa terputus agar orang dapat terus menari tanpa berhenti. Istilah disko juga dipakai untuk acara, ruang atau gedung tempat orang berdansa/menari diiringi rekaman musik sebagai bentuk hiburan. Disko berasal dari kata discothèque, bahasa Prancis untuk klub dansa,[2]bahasa Indonesia: diskotek). Di diskotek, diputar musik yang dipakai sebagai musik pengiring dansa.[3] Istilah disko awalnya secara spesifik dipakai untuk musik dansa Afrika-Amerika. Namun pada 1970-an, istilah disko dipakai untuk menyebut semua musik dansa yang sedang populer.[2]
Musik disko lahir pada awal tahun 1970-an ketika dansa-dansi sudah menjadi usang dan musik rock yang dimainkan pemusik kulit putih sedang berjaya.[2] Di klub malam dan gedung pertunjukan di utara Inggris, seperti di Blackpool Mecca dan Wigan Casino, pengunjung kulit hitam berdansa beramai-ramai diiringi koleksi piringan hitam R&B dari tahun 1950-an dan 1960-an yang nantinya dikenal sebagai musik northern soul.[2]
Sebelum berkembang sebagai sebuah kategori artistik yang akhirnya mencakup gerakan-gerakan tari berikut gaya busana dan model rambut, istilah disko dipakai untuk sebuah konteks musik baru yang dirintis para disc jockey di klub-klub dansa underground di New York City yang ramai dikunjungi terutama oleh kalangan minoritas (Afrika-Amerika dan Latino) serta gay.[5] Fenomena disko berakar dari perpaduan artistik kaum gay dan klub-klub underground, terutama klub-klub gay Afrika-Amerika di New York City pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an.[5] Dengan memakai dua pemutar piringan hitam, para DJ memutar lagu-lagu yang sebagian besar berirama soul, funk, dan Latin dari piringan hitam.[5] Para DJ waktu itu mulai menciptakan aliran musik tak terputus di pesta-pesta dansa yang diadakan di kelab malam, loteng, dan bar mengikuti gaya DJ Francis Grasso yang bekerja di diskotek gay Sanctuary, New York City.[5]
Kesuksesan piringan hitam disko juga memerlukan dukungan dari para DJ di diskotek yang bertanggung jawab atas seleksi lagu. Kepopuleran lagu disko juga ditentukan oleh pengunjung di lantai-lantai disko. Lagu pilihan DJ kemungkinan tidak akan diputar kembali bila terbukti gagal mengajak pengunjung untuk melantai.[2] Produser dan perusahaan rekaman juga mengambil inisiatif seleksi lagu dengan merilis piringan hitam berisi lagu-lagu untuk diputar di diskotek.[3] Ciri khas album disko adalah jumlah lagu dalam satu album yang hanya sedikit. Meskipun demikian, sebuah lagu memiliki masa putar yang panjang agar pendengar dapat berdisko untuk waktu yang lebih lama. Ketika dirilis sebagai singel, lagu disko dirilis dalam bentuk singel 12 inci (piringan hitam 30 cm). Lagu-lagu diputar DJ di diskotek secara sambung-menyambung sesuai dengan kecocokan tempo antara satu lagu dan lagu berikutnya seperti petunjuk tempo yang tertera pada sampul.[3]
Klub dansa khusus anggota bernama The Loft yang dibuka David Mancuso di kediaman pribadinya di New York City pada tahun 1970 dianggap sebagai perintis klub-klub disko.[10][11] Setelah itu, klub-klub disko mulai bermunculan, dan tidak hanya di New York.[12] Klub disko paling terkenal di Manhattan sepanjang akhir 1970-an dan awal 1980-an adalah Studio 54.[13]
Kembalinya kepopuleran Bee Gees pada tahun 1976 ditandai oleh lagu "You Should Be Dancing" yang sampai di urutan nomor satu di Billboard Hot 100 sebelum menduduki tangga lagu Hot Dance Club Play selama 7 minggu berturut-turut, dan mencapai peringkat 5 UK Singles Chart pada bulan Juli tahun sama.[14] Lagu "You Should Be Dancing" kemudian dipakai dalam film laris Saturday Night Fever yang melambungkan John Travolta sebagai raja disko pada tahun 1978. Dari album soundtrack film Saturday Night Fever Bee Gees berhasil mencetak lagu hit "Night Fever". Kelarisan film dan album Saturday Night Fever menjadikan disko sebagai hobi baru generasi muda Amerika. Pada tahun 1979, pendapatan dari industri musik disko di Amerika Serikat sebesar AS$4 miliar per tahun. Di Amerika Serikat waktu itu diperkirakan ada sekitar 15.000 diskotek.[12] Di kota-kota besar, diskotek dipadati oleh penggemar disko yang berpakaian meniru pemeran film Saturday Night Fever. Pengunjung pria mengenakan setelan tiga potong dari bahan poliester seperti yang dikenakan John Travolta ketika memerankan Tony Manero, lengkap dengan sepatu berhak tinggi dan liontin emas.[4]
Kemunduran
Setelah bertahun-tahun disko berada di puncak kepopuleran, sentimen antidisko mulai berkembang terutama di Amerika Serikat. Kritik terhadap musik disko diwujudkan dalam bentuk slogan "disco sucks" yang disponsori stasiun-stasiun radio yang sebagian besar pendengarnya orang kulit putih di perkotaan.[15][16] Puncak gerakan antidisko adalah acara Disco Demolition Night yang diadakan di Stadion Comiskey Park, 12 Juli1979. Penyelenggara acara adalah DJ radio bernama Steve Dahl dibantu direktur promosi Chicago White Sox bernama Mike Veeck. Ketidaksenangan Veeck pada disko didukung Dahl yang sering mengatakan "Disco sucks!" sepanjang siaran.[17] Penonton yang membawa piringan hitam lagu-lagu disko hanya dikenakan harga tiket 98 sen untuk menyaksikan pertandingan bisboldoubleheader antara Chicago White Sox dan Detroit Tigers. Sebagai sebuah promosi pertandingan bisbol, acara tersebut di luar dugaan didatangi penonton melampaui kapasitas stadion (angka resmi jumlah penonton sebanyak 47.795 orang).[17] Puncak acara berupa penyalaan api anggun di tengah lapangan yang membakar kira-kira 10.000 keping piringan hitam lagu-lagu disko. Namun pembakaran tersebut diartikan penonton sebagai aba-aba untuk memulai kekacauan.[18] Penonton berlarian ke lapangan, merobohkan kandang latihan memukul dan menjarahi pemukul bisbol hingga pertandingan kedua dihentikan.
Disko kehilangan momentumnya ketika tahun 1970-an berubah menjadi 1980-an. Meskipun demikian, disko tidak mati, melainkan bermutasi menjadi berbagai macam genre musik dance, mulai dari dance-pop dan hip-hop hingga house music dan techno.[3]
Referensi
^(2007) The 1970s, ISBN 978-0-313-33919-6, p.203–204: "During the late 1960s various male counterculture groups, most notably gay, but also heterosexual black and Latino, created an alternative to rock'n'roll, which was dominated by white — and presumably heterosexual — men. This alternative was disco"
^ abcdefghijklHardy, Phil (1988). Encyclopedia of Rock. Schirmer Books. hlm. 141.Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
^ abcde"Disco". allmusic. Diakses tanggal 2010-10-25.
^ abcMansour, David (2005). "Disco Hits". From Abba to Zoom: A Pop Culture Encyclopedia of the Late 20th Century. Andrews McMeel Publishing. ISBN0-7407-5118-2.
^ abcdKoskoff, Ellen (2005). Music Cultures in the United States: An Introduction. Routledge. ISBN0-4159-6588-8.
^Roberts, David. Guinness Book of British Hit Singles & Albums. Guinness World Records Ltd 17th edition (2004), p. 52 ISBN 0-85112-199-3
^(2001) "Encyclopedia of Contemporary American Culture", ISBN 0-415-16161-4, 9780415161619, p.217: "In fact, by 1977, before punk spread, there was a "disco sucks" movement sponsored by radio stations that attracted suburban white youth, who insisted that disco was escapist, synthetic and overproduced."