Share to:

Gagasan evolusi pada zaman Renaisans dan Pencerahan

Gagasan evolusi selama Abad Renaisans dan Abad Pencerahan berkembang dari masa ke masa ketika sejarah alam menjadi lebih mutakhir selama abad ke-17 dan ke-18 serta seiring dengan jalannya revolusi ilmiah dan bangkitnya filosofi mekanik, mendorong untuk memandang dunia alam sebagai sebuah mesin yang mampu untuk menganalisis. Namun gagasan evolusi pada awal abad ke-18 lebih bersifat kepada alam spiritual dan keagaamaan. Pada paruh kedua abad ke-18, gagasan yang lebih material dan nyata tentang evolusi biologi mulai muncul, menambah rangkaian lebih jauh dalam sejarah pemikiran evolusi.

Abad ke-17 dan awal abad ke-18

Kata evolusi (dari bahasa Latin evolusio, yang berarti "untuk membuka gulungan seperti sebuah gulungan") muncul di Inggris pada abad ke-17, merujuk kepada urutan kejadian yang teratur, khususnya suatu hal yang hasilnya bagaimanapun juga terkandung didalamnya sejak awal. Terutama pada tahun 1677, Sir Matthew Hale yang menggunakan istilah evolusi untuk menyerang Atomisme Ateisme dari Demokritos dan Epikuros untuk menggambarkan gagasan lawannya bahwa getaran dan tabrakan atom dan ruang kosong (tanpa campur tangan tuhan) telah membentuk "Benih Primordial" (semina) yang merupakan "langsung, primitif, prinsip produktif manusia, hewan, burung dan ikan".[1] Bagi Hale, mekanisme ini "tidak masuk akal", karena "hal tersebut berpotensi setidaknya seluruh sistem dari sifat manusia atau setidaknya prinsip ideal atau konfigurasinya dalam evolusi tentang pelengkap dan pembentukan sifat manusiawi harus mencakup ... dan semua ini di tarik dari koalisi kebetulan atom-atom mati dan tidak masuk akal".[1]

Sementara Hale pertama kali menggunakan istilah evolusi dalam perdebatan terhadap pandangan mekanistik yang tepat, akan dilambangkan oleh kata tersebut. Ia juga memaparkan setidaknya beberapa teori evolusionisme yang diselidiki antara tahun 1650 dan 1800 dikemukakan bahwa alam semesta, termasuk kehidupan di Bumi, telah berkembang secara mekanis, seluruhnya tanpa bantuan Tuhan. Pada masa ini, filsafat mekanis dari René Descartes dikuatkan oleh ilmu Fisika Galileo dan Isaac Newton yang mendorong pandangan alam semesta seperti mesin (mekanis) kemudian menjadi ciri Revolusi ilmiah.[2] Bagaimanapun juga, sebagian besar teori evolusi kontemporer, termasuk yang dikembangkan oleh filsuf idealis Jerman Schelling dan Hegel (dan dicemooh Schopenhauer), berpendapat bahwa evolusi secara fundamental adalah proses spiritual, dengan seluruh jalannya evolusi alam dan manusia menjadi "sebuah pencerahan ungkapan-diri dari yang mutlak" ("a self-disclosing revelation of the Absolute").[3]

Hal yang khusus dari ahli teori ini, pada tahun 1714, Gottfried Leibniz mengungkapkan bahwa "Monad" didalam objek menyebabkan suatu gerakan oleh kekuatan internal dan menyatakan bahwa "Kuman-kuman dari segala sesuatu akan selalu ada ...[dan] terkandung didalamnya sebuah prinsip perkembangan internal yang akan mendorongnya melalui serangkaian metamorfosis" untuk menjadi formasi geologis, bentuk kehidupan, psikologis dan peradaban masa kini. Leibniz dengan jelas merasakan bahwa evolusi berjalan berdasarkan prinsip-prinsip ketuhanan, dalam De rerum originatione radicali (1697), ia menulis "Peningkatan kumulatif dari keindahan dan kesempurnaan universal karya-karya Tuhan, perkembangan yang kekal dan tidak terbatas dari alam semesta secara keseluruhan harus diakui sedemikian rupa sehingga berkembang ke tingkat kultivasi yang lebih tinggi".[4] Ahli lainnya, seperti Herder, menyatakan gagasan yang sama. [5]

Antara tahun 1603 hingga 1613, seorang tahanan di Menara London, Sir Walter Raleigh yang sedang menunggu eksekusi, dalam periode ini ia menulis tentang sejarah dunia dalam lima buku di mana ia menggambarkan pengalaman dan petualangannya di Amerika, ia bertanya-tanya apakah setiap spesies baru yang ditemukan di benua baru dapat ditemukan di Bahtera Nuh. Sebuah pertanyaan yang serius pada waktu itu, ia mengungkapkan bahwa hanya hewan-hewan dari benua lama yang dapat ditemukan di bahtera tersebut, di mana akhirnya setelah air bah, beberapa dari hewan-hewan ini akan bermigrasi ke benua baru dan mengubah penampilannya untuk membuat spesies baru di bawah tekanan (pengaruh) lingkungan.[6] Lima puluh tahun kemudian, Matthew Hale melangkah lebih jauh dan mengatakan bahwa hanya bentuk awal dari semua hewan-hewan ini yang dapat diterima di bahtera tersebut, hal ini akhirnya akan membedakan hewan-hewan tersebut setelah dilepaskan.[7] Banyak pendeta yang senang dengan gagasan Hale dan Raleigh ini karena tampaknya hal ini dapat memecahkan masalah bobot bahtera tersebut.

Pertengahan abad ke-18

Dalam Venus Physique (1745) dan System of Nature (1751), Pierre Louis Maupertuis mengarah ke arah ke landasan yang lebih materialis. Ia menulis tentang modifikasi alam yang terjadi selama proses reproduksi dan terakumulasi dalam banyak generasi, menghasilkan ras dan bahkan spesies baru. Ia juga meramalkan secara umum gagasan tentang seleksi alam.[8]

Gagasan-gagasan evolusi yang umum dan samar terus berkembang di antara filsuf-filsuf abad pencerahan pada pertengahan abad ke-18. G. L. L. Buffon mengusulkan bahwa apa yang kebanyakan orang sebut sebagai spesies sebenarnya hanyalah varietas yang dicirikan dengan baik. Ia bermaksud bahwa anggota yang kelak disebut genus (yang dalam istilah taksonomi modern, dianggap sebagai famili) semuanya adalah keturunan dari satu nenek moyang yang sama. Nenek moyang dari setiap famili muncul melalui pembentukan spontan, pengaruh-pengaruh lingkungan yang kemudian menyebabkan mereka menjadi spesies yang berbeda. Ia juga berspekulasi bahwa sekitar dua ratus atau lebih spesies mamalia yang diketahui pada saat itu mungkin berasal dari sedikitnya tiga puluh delapan bentuk asli. Konsep Buffon tentang evolusi sangat terbatas, ia meyakini bahwa ada "cetakan internal" yang membentuk generasi spontan dari masing-masing famili dan famili tersebut sepenuhnya dan selamanya berbeda. Sehingga Singa, Harimau, Macan tutul, dan Puma semuanya dapat berbagi nenek moyang, namun Anjing dan Kucing rumahan tidak.[9][10] Meskipun kata pengantar Darwin dalam edisi ke-6 bukunya yang berjudul Origin menyebutkan Aristoteles yang meramalkan konsep seleksi alam, ia juga menulis bahwa "Penulis pertama pada zaman modern yang memperlakukannya dalam semangat ilmiah adalah Buffon".[11]

Beberapa penulis pada abad ke-18 berspekulasi tentang evolusi manusia. Pada tahun 1744, Seorang dokter dan ahli kartografi John Mitchell menulis sebuah buku berjudul An Essay upon the Causes of the Different Colours of People in Different Climates di mana ia menyatakan bahwa ras manusia pertama di Bumi berwarna coklat kemerahan, ia berkata "bahwa warna kuning kecoklatan ditemukan antara orang-orang Asia dan Amerika indian" telah menjadi "warna asli umat manusia" dan bahwa ras lainnya datang setelah ras aslinya menjalani generasi-generasinya di iklim yang berbeda.[12] Antara tahun 1767 dan 1792 James Burnett, Lord Monboddo memasukkan kedalam tulisannya tidak hanya konsep bahwa manusia telah diturunkan dari primata lain tetapi juga dalam menaggapi lingkungannya, makhluk telah menemukan metode untuk merubah karakteristiknya dalam jangka waktu yang lama. Ia juga menghasilkan penelitian tentang evolusi linguistik, yang dikutip oleh Erasmus Darwin dalam puisinya Temple of Nature.[11] Jan-Andrew Henderson menyatakan bahwa Monboddo adalah orang pertama yang mengemukakan pendapatnya tentang seleksi alam.[13]

Pada tahun 1792, filsuf Immanuel Kant memaparkan dalam bukunya Critique of Judgment, apa yang ia nyatakan sebagai “a daring venture of reason” [upaya nalar yang berani], di mana "satu makhluk hidup [adalah] berasal dari makhluk hidup lain, walaupun dari satu yang secara spesifik berbeda, misalnya: hewan air tertentu akan mengubah dirinya secara bertahap menjadi hewan rawa dan dari sini, setelah beberapa generasi kemudian menjadi hewan di daratan".[14] Beberapa filsuf abad ke-20 seperti Eric Voegelin meyakini Kant sebagai bayangan teori evolusi modern.[15]

Pada tahun 1796, Erasmus Darwin menerbitkan karya medis berjudul Zoonomia yang menyatakan bahwa "semua hewan berdarah panas datang dari satu filamen hidup ... dengan kekuatan untuk memperoleh bagian-bagian yang baru",[16] sebagai reaksi terhadap rangsangan dengan setiap putaran pembaruan diwariskan oleh generasi berikutnya. Dalam puisinya tahun 1802 yang berjudul Temple of Nature, ia menggambarkan kebangkitan kehidupan dari awal organisme hidup di dalam lumpur menjadi keaneka ragaman modern:

First forms minute, unseen by spheric glass,
Move on the mud, or pierce the watery mass;
These, as successive generations bloom,
New powers acquire and larger limbs assume;
Whence countless groups of vegetation spring,
And breathing realms of fin and feet and wing.
–Charles Darwin[17]

Lihat juga

Catatan

  1. ^ a b Goodrum, Matthew R. (April 2002). "Atomism, Atheism, and the Spontaneous Generation of Human Beings: The Debate over a Natural Origin of the First Humans in Seventeenth-Century Britain". Journal of the History of Ideas. 63 (2): 207–224. doi:10.1353/jhi.2002.0011. 
  2. ^ Bowler 2003, hlm. 33-38.
  3. ^ von Schelling, Friedrich Wilhelm Joseph (1993). System of Transcendental Idealism (1800). University of Virginia Press. ISBN 0-8139-1458-2. 
  4. ^ Lovejoy 1936, hlm. 257.
  5. ^ Lovejoy 1936, hlm. 183-184, 279-280, 369.
  6. ^ Wendt 1956, hlm. 38-29.
  7. ^ Wendt 1956, hlm. 40.
  8. ^ Bowler 2003, hlm. 73-75.
  9. ^ Bowler 2003, hlm. 75-80.
  10. ^ Larson 2004, hlm. 14-15.
  11. ^ a b Darwin 1825, hlm. 9.
  12. ^ Kidd, Colin (2006). The Forging of Races Race and Scripture in the Protestant Atlantic World, 1600–2000 (dalam bahasa Inggris). Cambridge University Press. hlm. 30. ISBN 1-1394-5753-5. 
  13. ^ Henderson 2000.
  14. ^ Kant 1792.
  15. ^ Voegelin, Eric (1998). "14". The History of the Race Idea From Ray to Carus. hlm. 142–144. 
  16. ^ Darwin 1825, Vol I section XXXIX.
  17. ^ Darwin 1825, hlm. 15.

Referensi

Kembali kehalaman sebelumnya