Perlawanan Petani Banten 1888 atau yang lebih dikenal dengan Geger Cilegon 1888 adalah sebuah peristiwa perlawanan tani terbesar yang terjadi pada tanggal 09 Juli 1888 setelah pembubaran Kesultanan Banten 1813 oleh VOC dan sebelum Perlawanan Kaum Tani 1926 di Anyer (yang diperuntukan untuk kemerdekaan).[1]
Geger Cilegon dipelopori oleh seorang tokoh agama yang bernama Haji Wasyid atau biasa disebut Ki Wasyid. Pemberontakan tersebut bermula dari kesewenang-wenangan pemerintahan hindia belanda yang mengokupasi Banten sebagai salah satu wilayah taklukan/jajahan.[2]
Latar belakang
Sebagai salah seorang agamawan, Ki Wasyid sering memberikan fatwa dan mengingatkan warga Cilegon saat itu bahwa “meminta selain kepada Allah termasuk syirik.” Namun fatwanya kurang diindahkan. Karenanya pada suatu malam, Ki Wasyid dan muridnya menebang pohon yang disebut berhala. Inilah yang menyebabkan Ki Wasyid diseret ke pengadilan kolonial pada 1887.[3]
Saat itu, kondisi makin diperburuk akibat meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda pada tanggal 23 Agustus 1883. Letusan tersebut menyebabkan gelombang laut yang meluluhlantakkan Anyer, Caringin, Sirih, Pasuruan, Tajur, dan Carita. Selain itu, ada bencana kelaparan, penyakit pes, dan penyakit hewan ternak. Fenomena tersebut berlangsung selama 5 tahun. Peristiwa yang terjadi juga disebut-sebut sebagai salah satu pelatuk pada Ki Wasyid untuk melakukan perlawanan terhadap kependudukan Belanda.
Pemberontakan 1888 terjadi juga disebabkan oleh pejabat-pejabat pemerintah kolonial di Cilegon mengeluarkan surat edaran kepada bawahannya untuk melarang pembacaan shalawat Nabi dan doa-doa lainnya dengan suara keras di masjid. Pemerintah kolonial juga menghancurkan menara masjid Cilegon dengan alasan telah terlalu tua. Hal-hal yang dianggap sebagai penghinaan ini dijawab oleh rakyat banyak dalam bentuk pemberontakan yang bertujuan lebih luas lagi, yaitu mengenyahkan kekuasaan Belanda dari daerah itu.[4]
Di tengah peristiwa ini, kebijakan Pemerintah Kolonial Belanda yang mewajibkan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit meresahkan warga. Belum lagi, penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukan perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul).
Sejarah
Dimulainya penyerangan
Pejuang bermula pada tanggal 9 Juli 1888, dini hari. Pejuang berjumlah 100 orang dan seluruhnya bergerak dari tempat Haji Ishak di Saneja untuk menyerang rumah residen Francois Dumas, selaku juru tulis di kantor asisten residen VOC. Akan tetapi Dumas melarikan diri dan terpisah dari anak beserta istrinya. Dumas bersembunyi dirumah tetangganya yang berprofesi sebagai jaksa. Sedangkan anak beserta istrinya bersembunyi dirumah seorang ajun kolektor.
Saat itu, para pejuang bertitik temu di Pasar Jombang Wetan, Cilegon. Selaku pemimpin, Ki Wasyid membagi pasukan menjadi 3 kelompok. Pertama, pasukan dipimpin oleh Lurah Jasim, seorang Jaro Kajuruan. Kedua, pasukan dipimpin Haji Abdulgani dan Haji Usman. Ketiga, pasukan dipimpin oleh Haji Tb. Ismail. Fokus penyerangan saat itu adalah pembebasan tahanan politik, kepatihan, dan rumah asisten residen yang berletak di alun-alun Kota Cilegon.
Puncak penyerangan
Saat itu, Haji Tb. Ismail dan pasukannya menemukan Dumas yang sedang bersembunyi dirumah seorang Tionghoa yang bernama Tan Heng Kok. Akhirnya Alfred Dumas terluka dan dilarikan ke kepatihan oleh ajun kolektor. Saat itu Dumas menjadi korban pertama di tangan pemberontakan pasukan Haji Tb. Ismail. Begitu juga anak laki-lakinya dan istrinya. Pembantu Dumas, Minah, dan anak bungsunya ditemukan ditengah sawah dalam keadaan luka parah.
Para pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Haji Usman menyerang Ulrich Bachet, kepala penjualan garam. Bachet akhirnya bersembunyi pada salah satu rumah penduduk yang berletak dibelakang rumahnya. Bachet sempat melepaskan tembakan dari bedil miliknya yang menewaskan 2 orang pemberontak. Namun, akhirnya Bachet dibunuh oleh pasukan Haji Usman.
Sebagian pemberontak yang dipimpin oleh Lurah Jasim berhasil membebaskan 20 tahanan. Pembebasan tersebut berhasil membunuh seorang sipir yang bernama Mas Kramadimeja. Namun Istri Gubbels, Anna Elizabeth van Zutphen, wedana, dan kepala penjara berhasil melarikan diri menuju arah kepatihan. Hal ini menyebabkan para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim ini mengepung rumah kepatihan. Patih Raden Penna dicari oleh para pemberontak, namun ia tidak ada ditempat. Alhasil, Sadiman selaku pelayan di kepatihan pun meregang nyawa setelah dihabisi para pemberontak.
Para pemberontak yang dipimpin Lurah Jasim akhirnya menggiring Wedana Cilegon, Raden Cakradiningrat, Jaksa Cilegon Mas Sastradiwiria, dan Ajun Kolektor Raden Purwadiningrat menuju alun-alun Kota Cilegon untuk dieksekusi. Salah seorang mantan tahanan politik, Kasidin, meluapkan amarah dan dendamnya terhadap wedana Cilegon yang saat itu memenjarakannya. Beberapa dari pemberontak menekankan untuk jangan menganiaya wedana Cilegon. Akan tetapi, Kasidin melompat ke arah muka Wedana Cilegon sambil berteriak: “Justru ini yang mesti didahulukan!”. “Maka ditebasnyalah leher saudara sepupuku itu dengan parangnya,” kata Achmad Djajadiningrat, seperti yang dikutip oleh Hendri F. Isnaeni, Jalannya Pemberontakan Petani Banten 1888, di Historia.id.[5]
Setelah menyerang Alfred Dumas, Ulrich Bachet, dan Gubbels. Kini para pemberontak menyerang Jacob Grondhout, insinyur pengeboran pada departemen petambangan di Cilegon dan istrinya, Cecile Wijermans. Keduanya tewas dibunuh oleh para pemberontak. Mas Asidin (magang yang diperbantukan pada asisten wedana Bojonegara), Mas Jayaatmaja (mantri ulu atau pegawai pengairan distrik Cilegon), Jamil (kepala opas asisten residen Anyer), Jasim (pelayan asisten wedana Krapyak Cilegon) juga turut dihabisi oleh para pemberontak.
Pemberontakan berakhir dengan penumpasan
Setelah Ki Wasyid dan kawan-kawan berhasil merebut Kota Cilegon. Kini para pemberontak bergegas menuju Kota Serang sebagai salah satu ibu kota residen. Ki Wasyid beranggapan bahwa keseluruhan wilayah sekitar Kota Cilegon mesti direbut. Ki Wasyid menekankan pada para pemberontak bahwa penyerangan ini tidak pandang bulu, baik kolonial maupun pribumi yang berpihak pada kolonial.
Sementara itu, Bupati Serang, Kontrolir Serang, dan Letnan van ser Star membawa pasukan bersenjata api 28 buah. Mereka menuju Kota Cilegon untuk memulai pertempuran di daerah Toyomerto. Pasukan tersebut berhasil memukul mundur para pemberontak dengan menewaskan 9 orang dari pihak pemberontak dan sebagian terluka.
Hal ini mampu mematahkan moralitas juang para pemberontak. Peristiwa ini membuat setiap pasukan induk pemberontak tercerai-berai dan pemberontakan pun mulai surut. Sementara itu, Ki Wasyid dan para pasukannya melakukan long march menuju arah Banten Selatan. Tanggal 30 Juli 1888, ekspedisi tentara kolonial mengakhiri perjalanan Ki Wasyid dan pasukannya ke daerah Sumur.
Para pemberontak tetap memberikan perlawanan terhadap tantara kolonial meskipun akhirnya mereka dilumpuhkan. Saat itu, kekuatan tantara kolonial terbilang kuat. Mulanya dipicu dari isu dikepungnya Kota Serang oleh 5.000 pemberontak. Hal ini menyebabkan pemerintah kolonial di Batavia mengirim 1 batalyon tantara yang diturunkan di Pelabuhan Karangantu.
Akhirnya tentara tolonial membawa beberapa mayat yang diidentifikasikan sebagai Ki Wasyid, Haji Tubagus Ismail, Haji Abdulgani, dan Haji Usman. Sementara Haji Jafar, Haji Arja, Haji Saban, Akhmad, Yahya, dan Saliman, melarikan diri hingga ke Makkah, Arab Saudi. Dinyatakan, dalam perang sipil ini korban tewas berjumlah 17 orang.
Korban luka-luka yang disebabkan oleh pemberontak berjumlah 7 orang. Pemberontak yang tewas berjumlah 17 orang. Pemberontak yang terluka berjumlah 13 orang. Pemberontak yang diasingkan berjumlah 94 orang. Tempat pembuangan antara lain : Tondano, Gorontalo, Padang, Kupang, Selayar, Kema, Padang Sidempuan, Maros, Ternate, Ambon, Muntok, Payakumbuh, Laut Banda, Bantaeng, Manado, Bukittinggi, Bengkulu, Pariaman, Saparua, Pacitan, dan Balangnipa.
Pemburuan terhadap guru agama
Selama hampir sebulan pada Juli 1888, Cilegon dilanda huru-hara. Para haji, guru agama, dan petani menyerang pegawai pemerintah. Peristiwa itu disebut sebagai Pemberontakan Petani Banten 1888. Korban tewas berjatuhan: 17 orang dari pemerintah, 30 orang dari pemberontak. Secara jumlah, korbannya sedikit. Tapi cukup membuat sibuk orang-orang Belanda.[6]
Sejarawan Sartono Kartodirdjo menyebut pemberontakan itu menimbulkan dendam bagi orang-orang Belanda. “Hasrat berkobar untuk melakukan pembalasan seringkali dilampiaskan terhadap haji yang pertama-tama dijumpai Belanda,” catat Sartono dalam karya monumentalnya, Pemberontakan Petani Banten 1888.
Haji, petani, dan guru agama seringkali membaur dalam identitas seseorang. Tapi ada kalanya pula identitas itu terbagi secara ketat. Tapi beberapa pegawai Belanda tak mau tahu. Mereka mengalami trauma akibat huru-hara itu sehingga mengubah pandangan mereka terhadap semua guru agama dan haji selepas peristiwa itu.
“Penumpasannya berupa pemburuan para guru agama dan ulama,” tulis Aqib Suminto dalam Politik Islam Hindia Belanda. Tak jarang pula guru agama dan ulama itu diperas agar terhindar dari tuduhan palsu. “Di mana sang korban hanya bisa bebas dari tuduhan kalau sudah memberikan suatu bayaran tertentu,” lanjut Aqib.
Pemerintah kolonial bersikap keras terhadap ekspresi keagamaan guru dan ulama. Mereka menangkapi orang-orang yang diduga mempunyai potensi menggerakkan massa seperti di Cilegon. Orang-orang itu lalu dibuang atau diasingkan. Tak hanya pemerintah kolonial, pegawai anak negeri dan sesama agamawan pun ikut memanfaatkan keresahan ini.
“Di sana-sini terlihat usaha menyalahgunakan suasana resah di kalangan pemerintah daerah, sesudah terjadinya huru-hara di Cilegon, yaitu untuk menyingkirkan oknum-oknum yang oleh satu dan lain sebab tidak mereka senangi,” ungkap Snouck Hurgronje dalam Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda X.
Snouck kala itu berada di Batavia dan membaca laporan-laporan dari pegawai pemerintah daerah setelah peristiwa Geger Cilegon 1888. Dia menemukan banyak penangkapan dan pembuangan terhadap guru agama di beberapa tempat di Jawa. Sebagian besar penangkapan dan pembuangan itu tak mempunyai dasar kuat.
Di Ponorogo, misalnya, sebuah kota di Jawa Timur yang berjarak 786 kilometer jauhnya dari Cilegon, penangkapan tanpa alasan kuat menimpa Haji Rahwin. Dia seorang guru agama dan penyebar ajaran tarekat Naqsyabandiyah.
Sehari-hari Haji Rahwin mengajarkan zikir dan wirid kepada 130 muridnya. Tapi akibat peristiwa Geger Cilegon 1888, aktivitasnya mengundang kecurigaan. Apalagi mata-mata Belanda melaporkan pintu masjid tempat Rahwin mengajar pernah tertutup. Dia pun ditangkap dan diperiksa dengan teliti atas perintah bupati Ponorogo.
Setelah membaca dan mempelajari berkas penangkapan Haji Rahwin, Snouck tak menemukan kesalahan ajaran dan tindakan Haji Rahwin. “Kecuali bahwa ia mengajar 130 orang murid tentang tarekat itu,” tulis Snouck.
Snouck juga menemukan indikasi keterlibatan kiai mazhab atau aliran lain yang mengompori penangkapan Haji Rahwin. Kiai-kiai itu antipati terhadap aliran mistik atau tarekat yang diajarkan Rahwin sehingga ikut memberikan keterangan palsu kepada pemerintah kolonial. “Mungkin boleh diduga, timbul kecemburuan atau kebencian terhadap Imam Rahwin dari 4 orang guru agama,” sebut Snouck.
Bergerak ke Jawa Tengah dan Yogyakarta, pemburuan terhadap guru agama kian masif. “Secara umum terlihat adanya perasaan takut terhadap haji yang sama sekali tidak beralasan. Guru-guru agama dan para santri yang paling tidak berbahaya pun lalu merasa selalu dibuntuti oleh pandangan mata kecurigaan,” terang Snouck.
Dalam pandangan Snouck, Yogyakarta menjadi wilayah paling menyedihkan dalam mengajukan orang-orang yang harus diasingkan. “Uraian tentang guru-guru yang namanya tercantum dalam daftar tak masuk akal dan ternyata memang belum pernah diperiksa kebenarannya,” ungkap Snouck.
Daftar itu antara lain memuat 3 nama guru agama: Kiai Haji Krapyak, Abdul Jalil, dan Abdul Fatah. Menurut residen dan sultan, ketiganya dianggap berbahaya. Krapyak dicurigai karena mengajarkan tarekat Naqsyabandiyah dan Syattariyah. Sedangkan Abdul Jalil dan Abdul Fatah lantaran “melakukan kewajiban ibadah dengan kesalehan yang mencolok dan sering meninggalkan tempat tinggalnya”.
Padahal dalam pandangan Snouck, ketiganya sama sekali tak berbahaya. Dia menyebut pengetahuan residen dan sultan tentang Islam sangat dangkal. Karena itu, Snouck menolak keras upaya penangkapan dan pemeriksaan 3 orang tersebut beserta murid-muridnya.
Snouck melanjutkan, yang perlu dikhawatirkan dari ketiganya adalah ikatan mereka dengan murid-muridnya. “Maka seandainya ada guru dari tarekat ini yang ingin berbuat sesuatu yang membahayakan tatanan yang ada, dengan mudah ia akan terjamin mendapat sejumlah pengikut yang setia,” catat Snouck.
Daripada menangkap dan membuang orang-orang tersebut, Snouck mengusulkan agar para pegawai pemerintah dan sultan mendalami pengetahuan mereka tentang ajaran Islam. Pendalaman pengetahuan ini penting untuk membuat keadaan lebih tenang dan mengubur salah paham.
Snouck lebih suka penanganan orang-orang itu dengan memanggil dan mengadilinya. Bagi Snouck, penangkapan dan pengasingan orang tak bersalah akan merugikan pemerintah kolonial. Keluarga dan murid-murid orang tersebut akan menyimpan dendam dan berpotensi menyerang pemerintah kolonial di kemudian hari.
Penentangan Snouck terhadap pemburuan guru agama berlangsung sampai masa kerjanya berakhir di Hindia Belanda pada 1906. Selama itu, ratusan guru agama menjalani pemeriksaan. Sebagian kecil mereka bahkan sempat dibuang bertahun-tahun. Sampai orang melupakan nasib mereka.
Tapi Snouck masih berupaya membela mereka yang tak bersalah. “Snouck Hurgronje mengingatkan kembali nasib mereka yang terlupakan dalam buangannya itu,” sebut Aqib.
Referensi
Pranala luar
Sartono Kartodirdjo (1984). Pemberontakan Petani Banten 1888. Pustaka Jaya.