Koning Willem III School te Batavia disingkat KW III School yang dalam pelafalan bahasa Belanda menjadi Kawedri adalah pendidikan menengah umum yang pertama kali didirikan pemerintah Hindia Belanda di Batavia pada tanggal 15 September1860.[note 1] Nama sekolah ini diambil dari nama raja Belanda kala itu, yakni Koning (raja) Willem III. Sekolah KW III berada di lokasi yang sekarang ditempati Perpustakaan Nasional Indonesia di Jalan Salemba Raya 28A, Jakarta Pusat. Dari sisi kepemilikan, sekolah ini termasuk kategori Gouvernements HBS atau Openbare HBS dalam pengertian bahwa HBS tersebut diselenggarakan dan dimiliki pemerintah dan berstatus sekolah negeri.[note 2] Direktur (kepala sekolah) KW III School yang pertama adalah Dr. S. A. Naber.
Pada tanggal 13 September 1860 diadakan ujian masuk dengan hasil cukup memuaskan, 37 orang lulus dari 45 calon siswa.
Pada tanggal 15 September 1860 Gymnasium Willem III dibuka[2] dengan masa studi tiga tahun.
Pada hari Selasa, 27 November 1860 diadakan Upacara Peletakan Batu Pertama Gedung Utama Gymnasium Willem III oleh Gouverneur Generaal.
Berdasarkan Besluit Gouverneur Generaal 21 Agustus 1867 Nomor 1, Gymnasium Willem III dibagi menjadi dua bagian:
Bagian A: Hoogere Burgerschool (HBS) dengan masa studi 5 tahun yang dimaksudkan agar setelah selesai pendidikan ini dapat melanjutkan ke perguruan tinggi;
Walaupun ditingkatkan menjadi HBS 5 tahun namun sebutan Gymnasium Willem III tetap digunakan hingga tahun 1900an menjadi Koning Willem III School.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia tahun 1942, sekolah ini ditutup. Gedungnya dipergunakan untuk Pertahanan Sipil Belanda. Setelah Belanda menyerah, Jepang menggunakannya. Demikian juga saat sekutu mengalahkan Jepang, gedung ini dipakai oleh tentara sekutu. Tahun 1949, setelah Belanda mengakui kedaulatan RI, gedung KW III sempat menjadi markas kesatuan TNI Batalyon Kala Hitam. Kemudian beralih menjadi kantor dan perumahanJawatan Kesehatan TNI AD.[3]
Pada awal 1987, bekas lokasi sekolah KW III tersebut direnovasi dan dipergunakan untuk Perpustakaan Nasional Indonesia. Pada tanggal 11 Maret 1989, secara resmi kompleks tersebut dibuka dengan penandatanganan sebuah prasasti marmer oleh Presiden dan Ibu Tien Suharto.
Pada masa itu pula, boleh dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa Peranakan yang berduit mampu memberikan pendidikan Belanda mengirimkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga keagamaan atau swasta, sementara putra-putra kepala dikirim ke sekolah resmi. Kadang, anak-anak Tionghoa diberi pendidikan Tionghoa pada waktu bersamaan oleh guru privat, atau di sekolah yang diurus oleh guru-guru dididik di Tiongkok, sebagaimana tulisan J.E. Albrecht.[4] Sebuah catatan yang menarik dalam surat kabarBintang Timor yang memperkuat data J.E. Albrecht yang menunjukkan bahwa pada masa itu, banyak orang Tionghoa memberikan pendidikan Eropa kepada anak-anaknya; juga dikatakan bahwa beberapa anak-anak laki-laki baru saja dikirim ke sekolah Raja di Batavia dan banyak orang tua Tionghoa yang ingin mendidik anak perempuan mereka, juga mempekerjakan pengasuh-wanita bangsa Eropa yang diperintahkan mengajarkan kepada mereka setiap ilmu.[4]
Sebagian naskah Melayunya adalah sebagai berikut:[4]
“
... Anak-anak orang Tjina jang katrima examennja boewat masoek di sekolah Radja Gymnasium Willem III ja-itoe Tan Tjoen Keng dan Han Biang Djang.
Foto bersama para siswa pribumi KW III-school angkatan 1919-1920
Catatan
^ abUpacara Peletakan Batu Pertama Gedung Utama Gymnasium Willem III pada 27 November1860
^Kategori lain sekolah pada masa kolonial berdasarkan kepemilikannya adalah bijzondere gesubsidieerde school (sekolah khusus/swasta bersubsidi) dan bijzondere ongesubsidieerde school (sekolah khusus/swasta tanpa subsidi pemerintah).