Ladang Gas Natuna Timur (Sebelumnya dikenal sebagai Natuna D-Alpha block) merupakan ladang gas alam besar yang berlokasi di Laut Natuna Utara dan Utara Kabupaten Natuna, Indonesia. Wilayah ini merupakan wilayah yang diperebutkan di Laut Tiongkok Selatan antara Tiongkok dan Indonesia.[1]
Sejarah
Lapangan ini ditemukan pada 1973 oleh Agip.[2][3] Pada 1980 Badan Usaha Miliki Negara (BUMN) yaitu Pertamina dan Exxon membentuk perusahaan patungan untuk mengembangkan Natuna D-Alpha. Namun, karena tingginya konten CO2 kerja sama ini tidak mampu untuk memulai produksi.[4] Pada 1995, pemerintah Indonesia menandatangani kontrak dengan Exxon tetapi pada 2007 kontrak dibatalkan.[4][5] Pada 2008, ladang ini diberikan kepada Pertamina.[2]
Perjanjian baru ditandatangani antara Pertamina dan ExxonMobil pada 2010. Sejalan dengan itu, lapangan ini diubah naman menjadi Natuna Timur agar secara geografi lebih tepat.[6] Pada 2011, pokok-pokok perjanjian ditandatangani oleh Pertamina, ExxonMobil, Total S.A., dan Petronas.[7][8] Pada 2012, Petronas digantikan oleh PTT Exploration and Production.[7][9] Pada 2016, negosiasi mengenai pokok-pokok perjanjian baru belum bisa difinalisasi dan sebagai akibatnya, kontrak produksi berbagi belum bisa disetujui[10]
Cadangan dan Pengembangan
Ladang Gas Natuna Timur berlokasi di Cekungan Sarawak besar (Cekungan Natuna Timur) sekitar 1.100 kilometer (680 mi) utara Jakarta dan 225 kilometer (140 mi) timur laut Kepulauan Natuna meliputi kurang lebih 310 kilometer persegi (120 sq mi). Cadangan terletak di laut dalam dengan kedalaman 145 meter (476 ft) dengan formasi Miocene Terumbu yang memiliki puncak kedalaman 2.658 meter (8.720 ft) di bawah laut. Ketinggian kolom maksimun mencapai 1.638 meter (5.374 ft). Ketebalan formasi bervariasi dari 300 dan 1.525 meter (984 dan 5.003 ft).[2][3] Estimasi sumber daya di Ladang Gas Natuna Timur mencapai 222 triliun kaki kubik (6,3 triliun meter kubik), dengan total cadangan terbukti gas alam mencapai 46 triliun kaki kubik (1,3 triliun meter kubik), dan prakiraan produksi mencapai 198 miliar kaki kubik per hari (5,6 miliar meter kubik per hari).[9] Konten CO2 dari sumber daya alam ini mencapai 71%.[3]
Pengembangan Ladang Gas Natuna Timur diperkirakan membutuhkan biaya mencapai US$20–40 miliar. Untuk menghemat biaya, pengembangan bersama antara Natuna Timur, Tuna Block (Premier Oil 65% dan Mitsui Oil Exploration 35%) dan Natuna Selatan Sea Block B (ConocoPhillips 40%, Inpex 35%, dan Chevron Corporation 25%) telah diajukan. Produksi diharapkan bisa dilakukan jika harga minya mencapai diatas $100 per barel. Produksi diperkirakan dimulai sebelum 2030.[10]
Referensi
- ^ "Jakarta's China Challenge". The Wall Street Journal. 2015-11-17. Diakses tanggal 2016-01-24.
- ^ a b c CO2CRC Technologies Pty Ltd (2010). "6.2 Natuna discovery". Assessment of the capture and storage potential of CO2 co-produced with natural gas in South-East Asia. APEC. hlm. 46–52. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2016-05-09. Diakses tanggal 2016-04-25.
- ^ a b c Dunn, P. A.; Kozar, M. G. (1996). "Application of Geoscience Technology in a Geologic Study of the Natuna Gas Field, Natuna Sea, Offshore Indonesia". 25th Annual Convention Proceedings. Indonesian Petroleum Association. 1: 117–130. Diakses tanggal 2016-01-24.
- ^ a b "Natuna Gas Field, Indonesia". Offshore Technology. Diakses tanggal 2016-01-24.
- ^ Hiscock, Geoff (2012). Earth Wars: The Battle for Global Resources. John Wiley & Sons. hlm. 28. ISBN 9781118152881.
- ^ Febrianto, Vicki (2010-12-06). "The winner for Natuna D-Alpha is.... Exxonmobil". Antara. Diakses tanggal 2016-04-25.
- ^ a b Azmar, Ahmal S. (2013-08-13). "Govt to award PSC to East Natuna contractors". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2016-01-24.
- ^ Cahyafitri, Raras (2015-11-27). "East Natuna development faces possible negotiation delay". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2016-01-24.
- ^ a b "PTTEP to replace Petronas in Indonesia East Natuna Project". 2b1stconsulting. 2012-11-13. Diakses tanggal 2016-01-24.
- ^ a b Cahyafitri, Raras (2016-01-07). "Joint operation of Natuna block proposed". The Jakarta Post. Diakses tanggal 2016-01-24.