Medan Pos adalah koran berbahasa Indonesia terbitan Medan. Menurut survei Nielsen, pada 2022 jumlah pembaca koran ini berada dalam kisaran 50.000 orang.[3] Sejak 21 Januari 2020, koran ini juga dapat dibaca secara daring lewat Medan Pos Online.[4]
Riwayat
Koran ini lahir di tengah huru-hara politik pasca G30S. Pendirinya Ibrahim Sinik, wartawan yang sudah sepuluh tahun menggawangi sejumlah koran lokal. Sejak April 1965 Sinik mengikat kontrak dengan Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia Sumatera Utara untuk menerbitkan harian Tjahaya, koran propaganda lawan politik Partai Komunis Indonesia tersebut.[5]
Pada 9 Mei 1966, Sinik resmi menerbitkan korannya sendiri, bertajuk Sinar Revolusi. Ia dibantu istri dan saudara-saudaranya, lewat Yayasan Penerbitan Berdikari, untuk merintis koran ini.
Dalam beberapa tahun saja, tiras koran ini mencapai 5.000 eksemplar.[6]
Seiring bergulirnya Orde Baru, nama Sinar Revolusi dianggap tidak lagi sesuai. Pada 1968, atas saran Panglima Kodam II/Bukit Barisan Leo Lopulisa namanya diganti jadi Sinar Pembangunan. Namun nama INI baru resmi dipakai 3 tahun kemudian, setelah Departemen Penerangan menyetujui surat izin terbit bertanggal 2 April 1971.[7][8]
Saat bernama Sinar Pembangunan inilah ia mencapai masa keemasan, antara 1980–1984[9], dengan oplah mencapai 40–50 ribu eksemplar[10]. Pada masa sama, koran ini juga kian mengukuhkan gaya pemberitaannya yang sensasional, serta banyak mewartakan berita kriminal dan cabul.[11]
Sejak 20 Agustus 1990, koran ini resmi bernama Medan Pos. Sinik disebut terinspirasi dari nama The Washington Post yang dibacanya saat meliput pengangkatan presiden Ronald Reagan.[12] Sinik sendiri terus memimpin koran ini hingga kematiannya pada 2015.[13]
Pembunuhan wartawan
Sepanjang sejarah penerbitannya, setidaknya 3 orang wartawan koran ini menjadi korban pembunuhan, diduga karena aktivitas jurnalistiknya. Ketiga jurnalis tersebut sama-sama memberitakan kasus kriminal dan korupsi aparat negara:
- Hasiangan Simanjuntak (1974)
Hasiangan tewas dalam kecelakaan sepeda motor di Pematang Siantar, setelah memberitakan penyelewengan BRI unit desa di Simalungun. Kematiannya diusut sebagai pembunuhan, 3 orang terduga pelaku ibawa ke pengadilan namun diputus bebas karena minim bukti.[14][15]
- Irham Nasution (1981)
Irham (38) tewas setelah disiram cuka api oleh 3 orang tidak dikenal yang mencegatnya saat bersepeda motor dari Rantau Prapat ke Janji pada 1 September 1981 malam. Pembunuhan ini terjadi tak lama setelah liputannya tentang kasus penyelundupan barang dari Malaysia yang diduga melibatkan anggota Koramil setempat. Anggota militer tersebut, Koptu Kasmanino, dan istrinya sempat ditahan.[16][14]
- Supriadi (1999)
Supriadi diculik oleh 2 orang tidak dikenal dari rumahnya di Banda Aceh pada 3 Agustus 1999 dan selang 2 hari ditemukan tewas di Buket Hagu dengan luka tembak di dada serta bekas sayatan di leher. Ia diketahui belum lama memberitakan dugaan korupsi proyek pertanian.[17][18]
Referensi