Mohamad Rasyidi adalah Menteri Agama Republik Indonesia pertama pada masa Kabinet Syahrir. Rasyidi pada awal mula memegang tonggak kepemimpinan pada Kementerian Negara Urusan Agama sebelum diangkat menjadi Menteri Agama. Ia menjabat selama kurun waktu tujuh bulan kurang sepuluh hari atau dari 3 Januari 1946 hingga 2 Oktober 1946 Rasyidi merupakan seorang pelajar cerdas yang mampu menuntaskan memaknai dan menerjemahkan kitab-kitab seperti Alfiah karya Ibnu Malik dan buku terjemahan pemikiran Aristoteles Matan as-Sullam [1]
Terlahir di lingkup keluarga abangan, Rasyidi memahami seluk-beluk ilmu kejawen yang mengadaptsi sistem ketuhanan yang monotheisme. Dimana unsur-unsur alam sebagai pemberi tanda-tanda juga dipahaminya.[2]
Sejarah Singkat
Mohamad Rasyidi memiliki nama lahir sebagai Saridi. Lahir di Kotagede, Daerah Istimewa Yogyakarta pada 20 Mei 1915 dari keturunan dari pasangan Adtmosudigdo dan Siti Maeshah.[3] Nama Rasyidi adalah nama pemberian dari Ahmad Soorkati yang merupakan seorang ulama dari negara Sudan. Ulama tersebut adalah pendiri Sekolah Al-Irsyad DI Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang. Di sekiolah tersebut kelak Rasyidi menuntaskan Alfiah karya Ibnu Malik dan buku terjemahan pemikiran Aristoteles Matan as-Sullam.
Dasar Pemikiran
Dalam dunia sufi, terdapat dua perbedaan visi dari pemikiran Islam yang bersifat moderat dan pemikiran filsuf barat yang bersifat terbuka. Perbedaan ini menjadikan perkembangan pemikiran Islam itu sendiri menjadi konservatif dan reformis yang mengalami perkembangan penyesuaian.[2] Rasyidi menananmkan pemikiran Islam Moderat selepas banyak mengenyam pendidikan di Sekolah Al-Irsyad, Kabupaten Malang.
Referensi
- ^ Abdillah, Shubhi (2019). "H.M. Rasjidi, Modernis Jago Polemik yang Menentang Sekularisasi". Tirto.id. Diakses tanggal 6 Juni 2020.
- ^ a b Geertz, Clifford (2013). Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi, dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu. hlm. 45–59. ISBN 978-602-9402-12-4.
- ^ Machmud, Amier (2010). Tokoh-tokoh Penggerak Filsafat di Indonesia. Yogyakarta: Berdikari Book. hlm. 68–79.
Pranala luar