Share to:

Orang Anglo-India

Orang Anglo-India
Ibu dan anak perempuan Anglo-India, sekitar 1920
Daerah dengan populasi signifikan
 India1 juta[1]
 Bangladesh200,000 [butuh rujukan]
 Britania Raya86,000[2]
 Australia22,000
 Kanada22,000
 Amerika Serikat20,000
 Myanmar19,200[3]
 Selandia Baru15,861
 Malaysia10,310
 Singapura4,800
 Pakistan<1,500[4]
Bahasa
Inggris (India),[3] Kannada, Malayalam, Tamil, Bengali, Telugu, Oriya dan bahasa-bahasa India lain.
Agama
Kristen (Protestan atau Katolik), Hindu, Tidak beragama, Ateisme
Kelompok etnik terkait
Orang Anglo-Burma, Orang Burgher, Orang Kristang, Orang Indo

Orang Anglo-India merupakan kelompok etnik yang ada di Asia Selatan—dulu India Britaniaketurunan campuran India dan Britania (khususnya Inggris), maupun orang-orang Britania yang lahir dan tinggal di India. Dalam hal ini, Oxford English Dictionary memberikan tiga definisi: "Keturunan Inggris dan India, keturunan India namun lahir maupun tinggal di Inggris, atau orang Inggris yang bertempat tinggal di India".[5] Istilah "Anglo-India" dapat merujuk pada kaum minoritas keturunan campuran Eurasia yang mana bahasa ibunya adalah bahasa Inggris.

Pada masa Kemaharajaan Britania, anak-anak yang terlahir dari orang tua Inggris dan India mulai membentuk komunitas baru. Jumlah populasi orang Anglo-India ini sedikit namun berkuasa, dan mereka terwakili dalam peran administrasi tertentu dengan baik. Jumlah populasi Anglo-India pada saat kemerdekaan India pada tahun 1947 mulai berkurang—dari sekitar dua juta menjadi 300.000–1.000.000 pada tahun 2010. Banyak di antara mereka yang telah beradaptasi dengan penduduk lokal di India, atau beremigrasi ke Britania Raya, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan Selandia Baru di mana mereka menjadi bagian dari diaspora India yang lebih besar.[6]

Sejarah

Awalnya, penggunaan istilah "Anglo-India" diperuntukkan untuk menyebut semua orang Britania yang tinggal di India, sedangkan untuk orang keturunan campuran (terutama Inggris dan India) disebut "Eurasia". Namun untuk saat ini, istilah "Anglo-India" mengalami pergeseran makna sehingga istilah "Anglo-India" juga diperuntukkan untuk menyebut orang keturunan campuran India-Inggris.

Asal-usul

Selama pemerintahan Perusahaan Hindia Timur Britania (East India Company, EIC) di India pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, cukup banyak para perwira dan tentara Britania untuk menikahi penduduk setempat karena kurangnya perempuan Britania di India.[7][8] Pada pertengahan abad ke-19, terdapat sekitar 40.000 tentara Inggris, namun pegawai Inggris di India saat itu kurang dari 2.000.[9]

Pada awal berdirinya EIC—dengan sedikit keengganan—mendukung kebijakan perkawinan dengan penduduk lokal untuk tentaranya. Hingga 1741, setiap prajurit yang membaptis anaknya sebagai seorang Protestan diberikan suatu imbalan khusus. Kekhawatiran di London adalah jika para prajurit di Benteng St. George tinggal dengan atau menikahi banyak wanita Portugis di sana, anak-anak akan dibesarkan sebagai Katolik Roma daripada Protestan. Pegawai kumpeni di lapangan kurang khawatir akan permasalahan agama, namun mereka khawatir bahwa tentara harus menikah "untuk mencegah kejahatan". Tentara yang menikah dengan ikatan keluarga dianggap dapat berperilaku lebih baik daripada bujangan.

Populasi tentara Inggris di India tumbuh pesat dari beberapa ratus prajurit pada pertengahan abad ke-18—menjadi 18.000 pada pasukan Kerajaan dan Kumpeni pada tahun 1790. Dalam praktiknya, hanya sebagian kecil penduduk Inggris yang menikah sementara di India—di antara mereka yang miskin, kemungkinan untuk menikah semakin kecil. Banyak anak yang lahir dari pasangan tidak resmi: 54% anak-anak dibaptis di Gereja St. John's, Kolkata antara 1767 dan 1782 merupakan orang Anglo-India dan tidak sah. Pada tahun 1785, ahli bedah John Stewart menulis kepada saudaranya dari Kanpur: "Banyak wanita di sini hanya petualang belaka dari toko Milliners di Ludgate Hill, dan bahkan beberapa dari Covent Garden dan Old Drury (kawasan pelacuran terkenal di London pada abad ke-18). Mereka tidak memiliki sentimen maupun pendidikan, dan begitu mabuk oleh peningkatan mendadak mereka, sehingga orang yang berakal hanya dapat menganggap mereka dengan amarah dan kemarahan".

Kegiatan reformasi yang dilakukan oleh Gubernur-Jenderal India, Lord Cornwallis, telah memastikan bahwa pada tahun 1780-an, peluang bagi para pegawai kumpeni untuk memperoleh kekayaan melalui perdagangan telah berlangsung selamanya. Sebagian besar dari mereka hidup dengan gaji dari kumpeni mereka sehingga penghasilan tersebut dapat digunakan untuk menafkahi istrinya. Kemungkinan, ia mengeluarkan uang sekitar £50 dalam setahun (Rs 24 hingga Rs 40 sebulan) untuk memenuhi kebutuhan seorang pasangan maupun pelayan India—daripada ia mengeluarkan uang sebesar £600 untuk memenuhi kebutuhan seorang pasangan Inggris dengan segala gaya publiknya. Ketika Mayor Thomas Naylor meninggal pada tahun 1782, ia mewarisi pasangannya, Muckmul Patna, sebesar Rs 4000, sebuah bungalo dengan sebuah taman di Berhampore, seekor kuda, sapi jantan, perhiasan, baju, dan semua budak pria maupun wanita.[10] Beberapa putri pejabat senior menjadi pewaris utama yang mana kekayaan merupakan daya tarik perkawinan, namun di antara putri dari pejabat yang miskin—yang dibesarkan di panti asuhan militer setelah kematian ayah mereka—hanya berharap menemukan suami yang cocok pada acara tarian publik bulanan. Dalam beberapa kasus, ketika pria Inggris kembali ke tempat asalnya, pasangan India dan anak-anaknya tetap berada di India—tentara Inggris tidak diizinkan membawa mereka, dan banyak perwira maupun pegawai negeri takut akan konsekuensi sosial dan budaya.[11]

Pengabaian

Seorang[pranala nonaktif permanen] lelaki Anglo-India saat dicuci kakinya, dikenakan baju, dan dihadiri oleh pembantu India

Sebenarnya di bawah Regulation VIII of 1813, kaum Anglo-India telah dikeluarkan dari sistem hukum Inggris. Di Benggala, ia menjadi tunduk pada aturan hukum Islam di luar Kolkata, dan menemukan jati diri mereka tanpa kasta maupun status di antaranya yang menghakimi mereka. Ini bertepatan dengan Kumpeni yang mana secara resmi mengizinkan misionaris Kristen untuk memasuki India; dan organisasi-organisasi evangelis dan penulis-penulis populer pada masa itu, seperti Mary Sherwood—menyalahkan dugaan kekurangan moral atau cacat kepribadian dari pertumbuhan populasi Anglo-India pada ibu India daripada ayah Inggris. Ketidaksetujuan pernikahan di antara kaum elit Inggris dan wanita Anglo-India semakin banyak. Tarian publik di bangsal wanita Upper Military Academy, Kolkata—yang telah dihadiri lima puluh tahun sebelumnya dengan semarak—telah dihentikan pada tahun 1830-an. Argumen publik menentang pernikahan antara wanita India dan Anglo-India mengepung masalah ras dan fokus pada konsekuensi sosial mereka: "mereka tidak bergaul dengan baik dalam masyarakat Inggris", "kurang pendidikan", "enggan meninggalkan India ketika pasangannya pensiun", "dan—mungkin yang paling penting dari semua—akan menghambat karier seorang suami yang ambisius". Namun, untuk semua ketidaksetujuan sosial, para perwira dan pegawai Kumpeni terus menikahi gadis-gadis Anglo-India. Di Kolkata, terdapat lebih dari 500 wanita Anglo-India yang dapat menikah pada tahun 1820-an, dibandingkan dengan 250 wanita Inggris di seluruh Benggala.[12]

Pada tahun 1821, sebuah pamflet berjudul "Thoughts on how to better the condition of Indo-Britons" oleh "Practical Reformer", ditulis untuk mempromosikan penghapusan prasangka yang ada di benak orang muda Eurasia terhadap keterlibatan dalam perdagangan, yang kemudian diikuti oleh pamflet lain berjudul "An Appeal on Behalf of Indo-Britons". Orang-orang Eurasia terkemuka di Kolkata membentuk "Komite India Timur" dengan maksud untuk mengirim petisi ke Parlemen Britania Raya untuk memperbaiki keluhan mereka. John William Ricketts, seorang perintis dalam pergerakan Eurasia, bersuka rela menjalankan misi ke Inggris dan misinya berhasil. Sekembalinya ke India melalui Madras, ia disambut tepuk tangan meriah dari rekan segolongannya; setelah itu, disambut dengan hangat di Kolkata, di mana laporan misinya dibacakan pada pertemuan publik yang diadakan di Balai Kota Kolkata. Pada bulan April 1834, dalam kepatuhan terhadap Undang-Undang Parlemen yang disahkan pada Agustus 1833, Pemerintah India terpaksa memberikan pekerjaan kepegawaian kepada kaum Anglo-India.[13]

Ketika wanita Inggris mulai berdatangan ke India dalam jumlah yang besar sekitar awal hingga pertengahan abad ke-19 (sebagian besar merupakan anggota keluarga pejabat dan tentara), kemungkinan pria Inggris untuk menikahi wanita India semakin kecil. Pernikahan antarras menurun setelah adanya peristiwa pemberontakan tahun 1857—setelah beberapa hukum anti-miskegenasi diterapkan.[14][15][16]—yang mengakibatkan orang-orang Eurasia semakin diabaikan oleh orang Inggris dan India di India.

Konsolidasi

Dari generasi ke generasi, semakin banyak orang Anglo-India yang menikah dengan sesamanya sehingga membentuk suatu komunitas yang mengembangkan budayanya sendiri. Masakan, pakaian, gaya bicara (menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu mereka), dan agama (Kristen), semuanya berfungsi untuk "memisahkan" mereka dari penduduk asli. Beberapa faktor seperti sistem sekolah berbahasa Inggris, budaya Inggris-sentris, dan agama Kristen yang melekat pada mereka dapat membantu untuk mempersatukan mereka.[13] Mereka membentuk suatu klub sosial dan asosiasi untuk menjalankan beberapa fungsi, seperti diadakannya tarian pada acara perayaan Natal dan Paskah.[17] Di antara kebudayaan mereka, seperti bola Natal—yang diadakan di sebagian besar kota-kota besar—masih merupakan bagian dari kebudayaan khas masyarakat Kristen India.[18]

Komunitas Anglo-India juga berperan sebagai perantara dalam pengenalan gaya musik, harmoni, dan instrumen Barat di India pasca-kemerdekaan. Selama era kolonial, beberapa genre musik seperti ragtime dan jazz dimainkan oleh grup musik untuk kaum elit, dan grup-grup musik ini sering beranggotakan orang Anglo-India.[19]

Pasca-kemerdekaan India

Pada masa kemerdekaan India pada tahun 1947, jumlah populasi Anglo-India sebanyak 300.000 orang. Namun setelah India merdeka, status sosial kaum Anglo-India menurun tajam, hal ini dibuktikan dengan banyaknya masyarakat Anglo-India yang beremigrasi ke luar negeri, seperti Britania Raya, Australia, Kanada, Amerika Serikat, maupun Selandia Baru.[20] Eksodus berlanjut hingga tahun 1950-an dan 1960-an dan pada akhir 1990-an, sementara masih banyak orang Anglo-India yang tersisa saat itu bercita-cita untuk meninggalkan India.[21] Kebanyakan dari mereka merasa lebih "Inggris" daripada "India".[22]

Seperti kaum Parsi, mayoritas orang Anglo-India merupakan orang kota. Berbeda dengan kaum Parsi, migrasi massal pada orang Anglo-India lebih terdidik serta mampu secara finansial untuk migrasi ke negara-negara Persemakmuran lainnya.[17]

Orang Anglo-India masa kini

Pemerintah India secara konstitusional menjamin hak-hak masyarakat, agama, dan bahasa minoritas, dengan demikian ia mengizinkan orang Anglo-India untuk mengelola sekolahnya sendiri serta menggunakan bahasa Inggris sebagai media pembelajaran. Dalam sebuah berita BBC tahun 2013, jurnalis Kris Griffiths menulis: "Telah dicatat dalam beberapa tahun terakhir bahwa jumlah orang Anglo-India yang telah berhasil dalam berbagai bidang tertentu sangat tidak proporsional dengan ukuran komunitas. Misalnya, dalam industri musik ada Engelbert Humperdinck (kelahiran Madras), Peter Sarstedt (Delhi), dan Cliff Richard (Lucknow). Definisi yang lebih luas tentang Anglo-India (berdarah campuran Inggris-India), mencakup Nasser Hussain (pemain kriket), Michael Chopra (pesepakbola), dan Ben Kingsley (aktor)."[23]

Orang Anglo-India juga cukup menonjol di bidang militer. Marsekal Muda Maurice Barker adalah tokoh Anglo-India pertama yang berpangkat marsekal muda di India. Setidaknya, terdapat tujuh tokoh Anglo-India lainnya yang mencapai jabatan itu—yang mana merupakan sebuah pencapaian penting bagi komunitas ini. Selain itu, beberapa tokoh Anglo-India lainnya yang juga berprestasi di bidang militer, seperti Marsekal Muda Malcolm Wollen yang dianggap sebagai tokoh yang andil dalam memenangkan perang pada tahun 1971 melawan Bangladesh.[24] Orang-orang Anglo-India juga memberikan kontribusi dengan pengaruh yang sama terhadap Angkatan Laut dan Angkatan Darat India.[25]

Di bidang olahraga, orang Anglo-India telah memberikan kontribusi yang cukup menonjol, terutama di tingkat Olimpiade di mana Norman Pritchard berhasil meraih medali Olimpiade pertama di India, memenangkan dua medali perak di Olimpiade 1900 di Paris, Prancis. Dalam olahraga kriket, Roger Binny merupakan pengambil-gawang terkemuka selama kemenangan tim India pada Piala Dunia 1983. Wilson Jones adalah peraih gelar juara dalam kompetisi biliar pertama dari India di tingkat dunia.[26]

Kini, sebagian besar orang Anglo-India di luar negeri terkonsentrasi di Britania Raya, Australia, Kanada, Amerika Serikat, dan Selandia Baru. Menurut beberapa orang Anglo-India yang telah menetap di Australia, sebagian besar pengintegrasian tidak sulit.[27] Orang Anglo-India di Burma (Myanmar) lebih sering menikah dengan orang Anglo-Burma, namun kedua komunitas tersebut sering menderita diskriminasi sejak militer Myanmar mengambil alih pemerintahan pada tahun 1962. Karena adanya diskriminalisasi tersebut, sebagian besar di antara mereka kini meninggalkan negara tersebut untuk menetap di luar negeri.

Tokoh-tokoh

[pranala nonaktif permanen]Rudyard Kipling, penulis The Jungle Book (1894), lahir di Bombay, Kepresidenan Bombay, India Britania

Tokoh Anglo-India keturunan Eropa (arti harfiah)

George Orwell, penulis 1984, Animal Farm, dan Burmese Days; kelahiran Motihari, Kepresidenan Benggala, India Britania.

Tokoh Anglo-India berdarah campuran Asia Selatan dan Eropa (definisi saat ini)

Lihat pula

Referensi

  1. ^ [1]. Early-Nineteenth-Century British-Indian Race Relations in Britain", Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East 27 (2): 303–314 [305], DOI:10.1215/1089201x-2007-007
  2. ^ Blair Williams, Anglo Indians, CTR Inc. Publishing, 2002, p.189
  3. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama escholarshare.drake.edu
  4. ^ Fisher, Michael H. (2007), "Excluding and Including "Natives of India": Early-Nineteenth-Century British-Indian Race Relations in Britain", Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East 27 (2): 303–314 [305], DOI:10.1215/1089201x-2007-007
  5. ^ "Anglo-Indian". Oxford Dictionary Online. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-11-14. Diakses tanggal 2012-01-30. 
  6. ^ "Some corner of a foreign field". The Economist. 21 October 2010. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 January 2011. Diakses tanggal 2011-02-18. 
  7. ^ Fisher, Michael Herbert (2006), Counterflows to Colonialism: Indian Traveller and Settler in Britain 1600–1857, Orient Blackswan, hlm. 111–9, 129–30, 140, 154–6, 160–8, ISBN 81-7824-154-4 
  8. ^ Fisher, Michael H. (2007), "Excluding and Including "Natives of India": Early-Nineteenth-Century British-Indian Race Relations in Britain", Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, 27 (2): 303–314 [304–5], doi:10.1215/1089201x-2007-007 
  9. ^ Fisher, Michael H. (2007), "Excluding and Including "Natives of India": Early-Nineteenth-Century British-Indian Race Relations in Britain", Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, 27 (2): 303–314 [305], doi:10.1215/1089201x-2007-007 
  10. ^ Dalrymple, William (2002). White Mughals, Love and Betrayal in Eighteenth-Century India. New Delhi: Penguin Books. hlm. 33. ISBN 978-602-8811-22-4. 
  11. ^ Hawes, Christopher (1996). Poor Relations: The Making of a Eurasian Community in British India 1773-1833. Curzon Press. hlm. 3-11. ISBN 0-7007-0425-6. 
  12. ^ Hawes, Christopher (1996). Poor Relations: The Making of a Eurasian Community in British India 1773-1833. Curzon Press. hlm. 15-19. ISBN 0-7007-0425-6. 
  13. ^ a b Maher, James, Reginald. (2007). These Are The Anglo Indians . London: Simon Wallenberg Press. (An Anglo Indian Heritage Book)
  14. ^ Beckman, Karen Redrobe (2003), Vanishing Women: Magic, Film, and Feminism, Duke University Press, hlm. 31–3, ISBN 0-8223-3074-1 
  15. ^ Kent, Eliza F. (2004), Converting Women, Oxford University Press US, hlm. 85–6, ISBN 0-19-516507-1 
  16. ^ Kaul, Suvir (1996), "Review Essay: Colonial Figures and Postcolonial Reading", Diacritics, 26 (1): 74–89 [83–9], doi:10.1353/dia.1996.0005 
  17. ^ a b Stark, Herbert Alick. Hostages To India: OR The Life Story of the Anglo Indian Race. Third Edition. London: The Simon Wallenberg Press: Vol 2: Anglo Indian Heritage Books
  18. ^ "Anglo-Indians mark Christmas with charity". The Times of India. India. 26 December 2008. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-08-11. Diakses tanggal 2020-03-18. 
  19. ^ "Jazz and race in colonial India: The role of Anglo-Indian musicians in the diffusion of jazz in Calcutta : Dorin : Jazz Research Journal". Equinoxpub.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-09-24. Diakses tanggal 30 August 2017. 
  20. ^ "Anglo-Indian | people". Encyclopedia Britannica (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-03-18. 
  21. ^ Anthony, Frank. Britain's Betrayal in India: The Story of the Anglo Indian Community. Second Edition. London: The Simon Wallenberg Press, 2007 Pages 144–146, 92.
  22. ^ "Is Anglo-Indian culture dying out?". BBC News (dalam bahasa Inggris). 2013-01-04. Diakses tanggal 2020-03-18. 
  23. ^ Griffiths, Kris (4 January 2013). "Anglo-Indians: Is their culture dying out?". BBC News. Diakses tanggal 19 March 2015. 
  24. ^ "Anglo-Indians in the Indian Air Force". Sumgenius.com.au. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2011-02-15. Diakses tanggal 2010-10-27. 
  25. ^ Anthony, Frank. Britain's Betrayal in India: The Story of the Anglo Indian Community. Second Edition. London: The Simon Wallenberg Press.
  26. ^ "When Wilson Jones first brought the world billiards to India". The Times of India. 3 September 2008. Diakses tanggal 8 May 2018. 
  27. ^ The Anglo-Indian Australian Story: My Experience, Zelma Phillips 2004
  28. ^ "FAQ". RussellPeters.com. 25 January 2009. Diarsipkan dari versi asli tanggal 7 November 2010. Diakses tanggal 2010-10-27. 
Kembali kehalaman sebelumnya