Para pasukan desersi, dievakuasi ke Jawa, atau menyerah
9 tewas atau mati karena sakit 80% (sekitar 800 prajurit) terserang Malaria
Pertempuran Banjarmasin (31 Januari - 10 Februari 1942) merupakan bagian dari serangan Jepang untuk merebut Hindia Belanda. Jepang melakukan serangan menjepit dari laut dan darat untuk menangkap lapangan terbang strategis di Banjarmasin (ejaan lama: Bandjarmasin atau Bandjermasin) sebegai persiapan untuk menangkap Pulau Jawa.
Latar belakang
Sebelum 1941, Banjarmasin adalah pusat administrasi untuk Kalimantan Timur dan Tenggara, dan tempat domisili gubernur Kalimantan.[3] Lapangan Terbang Oelin (Ulin) yang berada 25 kilometer di luar kota hanya berjarak 420 kilometer dari Surabaya. Faktor ini menjadikan kota ini target utama dalam rencana Jepang untuk menghancurkan kekuatan udara Sekutu di Jawa sebelum ofensif mereka.[4] Belanda mendirikan lapangan terbang lain di Kotawaringin, 350 kilometer ke barat.
Sembilan brigade (sekitar 150 infanteri reguler dan wajib militer)
Dua senapan mesin 7,7 mm
Beberapa senjata Lewis
Banjarmasin (Komandan: Kapten J.H. van Epen):
Satu perusahaan Stadswacht
Enam brigade wajib militer
Dua mobil lapis baja overvalwagen
Rencana Belanda
Tugas utama Pasukan Belanda di Banjarmasin adalah untuk mempertahankan Landasan udara (Lanud) Oelin dan Kotawaringin. Meskipun tugas ini sangat penting, pasukan yang ada datang dari berbagai kelompok yang tidak memiliki perlengkapan yang memadai; beberapa unit tidak diberi seragam sampai Januari 1942. Banyak brigade Stadswacht dan Landwacht hanya baru dibentuk pada tahun 1941 dan tidak dilatih untuk menangani senjata atau bermanuver dalam pertempuran.[9]
Sesuai dengan rencana pertahanan Belanda, semua prajurit yang ditempatkan diluar Jawa harus melakukan perang gerilya setelah menyelesaikan misi utama mereka.[10] Staf komando dan gubernur akan pindah ke Moearatewe (Muaratewe), di Barito Utara, sementara staf administrasi akan tetap di Banjarmasin, berharap untuk tetap berkerja secara normal setelah pendudukan Jepang.[9] Tiga gudang penyimpanan didirikan di sepanjang rute menuju Moearatewe selama periode gerilya.[1]
Rencana Jepang
Mempertimbangkan bahwa Jepang tidak memiliki informasi terkini mengenai kondisi lapangan terbang di Banjarmasin, dan lamanya waktu yang diperlukan untuk mempersiapkan lanud untuk operasi setelah direbut, Angkatan Laut membatalkan keterlibatannya dalam serangan ini.[11] Alih-alih, Angkatan Darat ditugaskan untuk melakukan serangan dua-cabang ke Banjarmasin dari laut dan darat, dengan serangan dari darat menjadi cabang utama.
Unit Darat dibawah Kolonel Yamamoto akan meninggalkan Balikpapan pada malam 30 Januari dan mendarat di Tanahgrogot saat fajar keesokan harinya. Unit ini kemudian akan melintasi hutan dan pegunungan ke selatan, dengan unsur garda depannya bertugas sebagai pemblokir upaya penyergapan Belanda. Setelah keluar dari hutan, Unit Darat akan dengan cepat maju ke kota untuk mendahului upaya Belanda untuk meledakkan jembatan selama pergerakan mundur mereka. Karena sebagian besar persediaan akan direbut selama pergerakan ke Banjarmasin, pasukan Yamamoto hanya membawa jatah sembilan hari bersama mereka.[12]
Sementara itu, Kapten Okamoto dan Unit Laut akan berangkat beberapa hari sebelum Yamamoto. Menggunakan perahu pendaratan, unit ini hanya akan bergerak di malam hari. Pada siang hari mereka akan bergerak ke hulu dekat muara sungai dan bersembunyi di bawah hutan untuk menghindari pesawat pengintai Sekutu. Untuk mengamankan perjalanan melalui selat di barat Pulau Laoet (Laut), Okamoto berencana untuk melakukan serangan malam di Kotabaroe (Kotabaru) untuk mengumpulkan persediaan dan intelijen. Setelah mendarat di Banjarmasin, Unit Laut akan menyerang dan merebut lanud Oelin. Berlawanan dengan Unit Darat, pasukan Okamoto perlu mendapatkan persediaan seiring perjalanan mereka.[13]
Pertempuran
Serangan pendahuluan
Setelah jatuhnya Tarakan, Jepang mulai melancarkan serangan udara harian ke Banjarmasin. Pesawat tempur Jepang pertama melakukan serangan pemberondongan di lanud Oelin pada 20 Januari, tetapi hanya menyebabkan beberapa kerusakan. Di serangan udara tanggal 21 Januari, 4 Mitsubishi Zero dan satu pengintai Ki-15 Babs dari Tainan Air Wing menghancurkan satu PBY Catalina dari Grup Penerbangan ke-16 (GVT.16) milik MLD (Marineluchtvaartdienst; Layanan Penerbangan Angkatan Laut) yang mendarat di Delta Barito.[14][15] Kerugian besar akhirnya datang saat serangan pada 27 Januari, ketika delapan pembom Glenn Martin sedang transit di Oelin dalam perjalanan mereka ke Lanud Samarinda II. Saat pesawat tempur Jepang datang, senapan mesin Lewis yang ditempatkan sebagai pertahanan anti-pesawat tidak berguna sama sekali. Dengan menghancurkan enam pembom hancur dan merusak dua lainnya, pesawat-pesawat Jepang telah memberikan pukulan telak bagi moral pasukan Belanda.[16]
Unit Darat
Garda depan dari Unit Yamamoto meninggalkan Balikpapan pada pagi hari tanggal 31 Januari dan mendarat di Teluk Adang pada pukul 20:00 pada hari yang sama.[13] Setelah diberitahu tentang pendaratan, Letnan Michielsen yang memimpin pertahanan di Tanahgrogot mundur dengan 60 tentaranya setelah menghancurkan kota. Namun, keluarga prajurit pribumi dilarang dievakuasi, sementara keluarga prajurit Eropa dapat mengungsi secara terpisah. Michielsen telah mendirikan sebuah kamp dengan persediaan makanan di 20 km sebelah timur Tanahgrogot untuk menampung para pengungsi, yang saat itu telah bergabung dengan barisan tentaranya yang mundur. Namun banyak serdadu yang desersi di sepanjang jalan atau kembali ke keluarga mereka, dan akhirnya menyisakan Michielsen dengan lima prajurit - dua di antaranya sakit - ketika ia sampai di Tandjoeng.[14]
Pada 1 Februari pukul 10:30, garda depan Unit Darat merebut Tanahgrogot. Keesokan harinya, sisa dari pasukan Yamamoto meninggalkan Balikpapan dan mendarat di Tanahgrogot pada tanggal 3. Selama pergerakan ke selatan menuju Banjarmasin, Yamamoto dan pasukannya harus berhadapan dengan kondisi jalan yang tidak memadai, yang menyebabkan semua kendaraan bermotor dan 600 sepeda yang sudah dibawa tidak berguna. Mereka akhirnya harus memanjat gunung yang curam dan menyeberangi jembatan kayu pengganti di atas ngarai yang dalam, sembari menangkis serangan dari nyamuk, lintah dan serangga lainnya.[13] Dalam kondisi ini, Unit Darat mencapai Moeara Oeja (Muara Uya) pada 4 Februari. Di waktu yang sama, Halkema memerintahkan brigade-brigade Landwacht di Tandjoeng (Tanjung), Amoentai dan Barabai membumihanguskan kota dan mundur tanpa perlawanan.[17]
Perintah ini menciptakan perselisihan antara Halkema dan gubernur Kalimantan, Bauke Jan Haga. Gubernur Haga menganggap laju pembumihangusan dilakukan terlalu dini, dan akan mengganggu kehidupan ekonomi di kota-kota dan desa-desa yang berada di sisi timur Sungai Barito (juga disebut Hoeloe Soengei (Hulu Sungei/Sungai)). Sebagai bentuk protesnya, Gubernur Haga mengirim keluhan resmi kepada komandan pasukan Belanda, Heinrich ter Poorten, dan meminta Halkema diganti. Setelah menyetujui permintaan Haga, ter Poorten mengirim Mayor A. Doup untuk menggantikannya.[18]
Di Dajoe, pasukan Letnan van der Poel menghancurkan lanud kecil di kota itu sebelum kehilangan komunikasi dengan staf komando saat mereka bergerak mundur ke kota Boentok (Buntok) di utara. Ketika penduduk setempat melaporkan secara keliru bahwa pasukan Jepang bergerak maju ke Boentok, banyak prajurit dan polisi lapangan van der Poel segera melarikan diri, meninggalkannya hanya dengan lima serdadu. Pada 7 Februari, Halkema memperkuat pasukan di Kandangan dengan dua brigade dari Oelin (dipersenjatai dengan satu senapan mesin Madsen) di bawah komando Letnan Satu W.K. Remmert. Remmert harus memblokir gerak maju Yamamoto di sepanjang Jalan Kandangan-Martapoera, sebelum bergabung kembali dengan satu brigade wamil di Lanud Oelin. Saat pukul 11:30, pasukan Remmert tiba di Kandangan dan mulai mengambil posisi di utara kota, sebelum membantu Scholte dalam tugas pembumihangusan. Kedua pasukan ini kemudian mundur ke posisi defensif di Martapoera untuk melindungi Lanud Oelin.[2]
Di malam 8 Februari, laporan Belanda dari Rantau menginformasikan bahwa salah satu kapal mereka berlayar menuju Banjarmasin dengan lampu mati. Sambil mempertimbangkan kemungkinan bahwa pasukan Jepang ada di kapal itu, Halkema memerintahkan Kapten van Epen untuk mengirim tiga brigade (satu wamil dan dua Stadswacht, diperkuat dengan satu senapan mesin Madsen) lewat tongkang dari Oelin ke Negara untuk memukul mundur pasukan Jepang yang menyerang Banjarmasin melalui Sungai Barito, sebelum mundur lagi ke Oelin. Pada jam 22:00, Halkema juga memerintahkan pembumihangusan Banjarmasin dan Pelaihari. Saat kedua kota ini mulai terbakar, Gubernur Haga telah disarankan untuk meninggalkan Banjarmasin, tetapi dia bersikeras untuk tetap berada di kota sampai pukul 23:30. Ketika waktu menunjukkan pukul 23:30, Gubernur Haga pertama mundur ke Moearatewe,[19] lalu bergerak lebih jauh lagi ke Poeroektjaoe (Puruk Cahu).[2]
Dua hari sebelumnya, ter Poorten telah mengangkat Doup menjadi letnan-kolonel dan menunjuknya sebagai komandan baru pasukan Belanda di Banjarmasin. ter Poorten menganggap status kesehatan (reumatik) dan ketidakseimbangan mental Halkema membuatnya tidak layak lagi untuk memimpin. Doup meninggalkan Surabaya pada 8 Februari, tetapi ketika pesawatnya mencapai pantai Kalimantan pada pukul 01:00 pagi, ia melihat api besar di mulut Sungai Barito, tempat Banjarmasin seharusnya berada. Karena operator radio tidak bisa menghubungi lanud Oelin, pilot Letnan Onyx menolak untuk mendarat. Akhirnya Onyx menerbangkan Doup ke Lanud Samarinda II ( kegagalan komunikasi disebabkan karena stasiun radio di Oelin sudah dihancurkan). Doup akhirnya terbang kembali ke Jawa dan menjabat sebagai Inspektur Infanteri. Setelah mengirimkan perintah pembumihangusan, Halkema dan beberapa dari stafnya pergi ke Lanud Oelin untuk menyerahtugaskan komando kepada penggantinya. Di lapangan terbang, ia melihat satu pesawat berputar di atas lanud beberapa kali namun akhirnya tidak mendarat.[20]
Ketika Halkema pergi ke Oelin, sebagian dari stafnya mulai naik ke kapal Irene dan Otto. Kedua kapal ini diarahkan menuju Schans van Tuyl (persimpangan Martapoera (Martapura) dan Sungai Barito), di mana mereka akan menunggu instruksi lebih lanjut. Sementara itu, syahbandar Banjarmasin memerintahkan satu kapal uap untuk menuju ke kota pantai Takisoeng (Takisung) di selatan Banjarmasin, di mana kapal itu akan digunakan oleh Halkema.[20] Dari Schans van Tuyl, Irene dan Otto akhirnya menuju ke Jawa sambil membawa pengungsi Belanda dari Banjarmasin dan sebagian dari staf Halkema.[1]
Setelah melihat pesawat Doup pergi, Halkema mengemudi ke arah Takisoeng dan tiba di mulut Sungai Barito pada 9 Februari.[20] Pada malam hari, sebuah kapal milik Borsumij (Borneo Sumatra Maatschappij; Perusahaan Borneo Sumatera) muncul bersama staf Halkema yang tidak naik ke kapal Irene dan Otto. Setelah Halkema naik, kapal itu kemudian menerima telegram dari Bandung yang memerintahkannya untuk pergi ke Kotawaringin dan menunggu instruksi lebih lanjut di sana.[21] Kapal Borsumij berangkat pada pukul 19:00; Pasukan Belanda di atas kapal yang berhasil mengungsi ke Kotawaringin pada saat itu hanya berjumlah 75 tentara.[22] Setelah berlabuh di Kotawaringin pada tanggal 11, Halkema dan personel non-esensial lainnya diterbangkan dengan pesawat ke Jawa pada hari berikutnya, sedangkan pasukan infanteri di bawah Kapten W.C.A. van Beek tinggal untuk memperkuat pasukan di lanud.[17]
Sementara itu di Lanud Oelin, Kapten Bolderhey menunggu hingga 9 Februari untuk penerbangan Doup tiba, namun ia tidak menyadari bahwa Doup sudah datang dan pergi sehari sebelumnya. Menjelang malam pada tanggal 9, ia memutuskan untuk meninggalkan Oelin dan menuju ke Koeala Kapoeas (Kuala Kapuas). Perilaku bermusuhan dari penduduk setempat dan desersi membuat perang gerilya tidak memungkinkan. Dengan sedikit pilihan baginya, Bolderhey memutuskan untuk berlayar ke Jawa.[23] Pada 11 Februari, ia dan pasukannya pergi dengan perahu kecil sepanjang 17 meter, bersama 180 warga sipil Belanda lainnya (termasuk 20 wanita). Setelah berlayar di laut lepas selama enam hari, Bolderhey akhirnya mendarat di Madura.[22]
Begitu mereka keluar dari hutan, Yamamoto berusaha mengejar pasukan Belanda yang mundur, tetapi Unit Daratnya sudah tercerai berai selama perjalanan di hutan. Meskipun demikian, sebuah kompi garda depan yang dipimpin oleh Kapten Kataoka telah bersaing dengan kompi zeni untuk menjadi yang pertama berhasil mengalahkan pasukan Belanda. Seiring majunya Unit Darat, mereka mendapatkan sepeda, kendaraan, dan persediaan dari banyak populasi lokal. Pada pukul 09:00 tanggal 10 Februari, pasukan Kataoka dan kompi zeni merebut Lapangan Terbang Oelin tanpa perlawanan.[24] Menjelang malam, Unit Darat telah menduduki Banjarmasin.[25]
Unit Laut
Unit Laut Kapten Okamoto meninggalkan Balikpapan pada malam hari tanggal 30 Januari dengan empat perahu pendaratan besar, dua perahu pendaratan kecil dan mulai menyusuri sepanjang pantai ke selatan.[21] Sesuai dengan rencana, Unit Laut memusatkan bergerak disepanjang mulut sungai pada malam hari, dengan seorang perwira angkatan laut sebagai pilotnya. Pada siang hari, perahu-perahu pendaratan mereka bersembunyi di bawah hutan bakau untuk menghindari deteksi. Setelah melalui Teluk Apar Besar, Teluk Pamukan dan Teluk Klumpang, Okamoto merebut Kotabaroe lewat serangan malam yang tidak menemui perlawanan; pasukannya mendapatkan banyak persediaan dari serangan ini.[25] Di tanggal 8 Februari, Unit Laut mendarat 80 km dari Banjarmasin dan bergerak maju tanpa halangan menuju Lanud Oelin. Karena Unit Darat sudah mencerai-beraikan pasukan Halkema, pasukan Okamoto mencapai Oelin dengan cepat pada 10 Februari.[13][21]
Pasca Pertempuran
Pada akhir pertempuran, Unit Darat telah maju sepanjang 400 km ke selatan dari Teluk Adang ke Banjarmasin, 100 km di antaranya melalui hutan. Bahan materi untuk keperluan Armada Udara ke-11 tiba di Oelin melalui kapal penangkap ikan pada tanggal 20 Februari. Lima hari kemudian, elemen Armada Udara ke-23 mendarat di Lanud Oelin, dan segera menggunakannya sebagai basis untuk serangan ke Bali.[25]
Korban
9 tentara Jepang tewas baik dalam pertempuran atau karena sakit. 80% (sekitar 800) dari pasukan Unit Darat terserang malaria.[24] Korban di pihak Belanda tidak diketahui, namun pertempuran ini telah dicirikan secara khusus lewat tingkat desersi yang tinggi di antara pasukan pribumi.[2]
Penyerahan Diri Pasca-Kapitulasi
Setelah kapitulasi Belanda di Jawa pada tanggal 8 Maret, pasukan yang bertahan di Kalimantan juga mulai menyerah. Grup Letnan Michielsen menyerahkan diri kepada pasukan Jepang di Tandjoeng setelah pengumuman kapitulasi. Setelah bertahan di Poeroektjaoe selama beberapa waktu, grup van der Poel menyerah kepada tentara Jepang di Banjarmasin pada 14 Maret. Pihak Jepang kemudian mengutus dia dan Kapten van der Epen yang telah tiba di Banjarmasin pada waktu yang sama, untuk membimbing pasukan Jepang yang akan menjemput Gubernur Haga di Poeroektjaoe.[2] Gubernur Haga akhirnya ditawan hanya tiga hari kemudian. Pada tanggal 14 Desember 1943, ia meninggal di penjara setelah disiksa karena berkonspirasi untuk mengembalikan pemerintahan Belanda ke Banjarmasin melalui pemberontakan bersenjata, yang dikenal sebagai "Komplotan Haga".[26]
Lanud Kotawaringin
Pasukan Belanda yang berada di Lanud Kotawaringin diperkuat dengan batalyon Punjab Ke-2/15 di bawah Letnan Kolonel M.C. Lane yang telah mundur dari Miri & Kuching. Pada 24 Februari, sebuah kapal yang membawa persediaan tiba untuk menyediakan stok makanan tambahan bagi para pasukan. Pihak Jepang tidak tiba di Kotawaringin dan menangkap para pasukan Belanda dan Inggris sampai akhir Maret-awal April.[27]
Pembebasan
Banjarmasin berada di bawah pendudukan Jepang hingga September 1945, ketika kota itu dibebaskan oleh pasukan Australia dari Batalion Ke-2/31, Divisi Ke-7.
De Jong, Loe. (1984). Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog: Deel 11a – Nederlands-Indië I. Leiden: Martinus Nijhoff. ISBN9789024780440
Post, Peter, et al. (2010). The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War. Leiden: Koninklijke Brill NV. ISBN978-90-04-16866 4
Remmelink, W. (Trans.). (2015). The invasion of the Dutch East Indies. Leiden: Leiden University Press. ISBN978 90 8728 237 0
Remmelink, W. (Trans.). (2018). The Operations of the Navy in the Dutch East Indies and the Bay of Bengal. Leiden: Leiden University Press. ISBN978 90 8728 280 6
Womack, Tom. (2006). Dutch Naval Air Force Against Japan: The Defense of the Netherlands East Indies, 1941-1942. Jefferson: McFarland & Company. ISBN978-0786423651