Sastra Indonesia adalah sebuah istilah yang melingkupi berbagai macam karya sastra di Asia Tenggara. Istilah "Indonesia" sendiri mempunyai arti yang saling melengkapi terutama dalam cakupan geografi dan sejarah politik di wilayah tersebut.
Tatkala gagasansastra di Indopengetahuan yang memberikan kenikmatan unik dan memperkaya
Konsep Sastra
Menurut Aristoteles (dalam Budianta dkk., 2003:7), sastra merupakan suatu karya untuk menyampaikan pengetahuan yang memberikan kenikmatan unik dan memperkaya wawasan seseorang tentang kehidupan. Teeuw (1988:23), menyatakan bahwa kesusastraan berasal dari kata “sastra” dan mendapat awalan “su”. Sastra itu sendiri terdiri atas kata “sas” yang berarti ’mengarahkan, pengajaran’, dan ”tra menunjukkan ’alat atau sarana’. Oleh karena itu, sastra berarti ’alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instansi atau pengajaran’ Adapun awalan “su” itu berarti baik atau indah. Dengan demikian,susastra adalah alat untuk mengajar yang bersifat baik atau indah.
Periodisasi, Nama, Karya
Sastra Indonesia terbagi menjadi 2 bagian besar, yaitu:
Secara urutan waktu maka sastra Indonesia terbagi atas beberapa angkatan:[2][3][4]
Angkatan Pujangga Lama
Angkatan Sastra Melayu Lama
Angkatan Balai Pustaka (1920–1932)
Angkatan Pujangga Baru (1933–1942)
Angkatan 1945 (1942–1949)
Angkatan 1950–1960-an
Angkatan 1966 (1966–1970-an)
Angkatan 1980–1990-an
Angkatan Reformasi (1998–2004)
Angkatan pascareformasi (2005 – kini)
Pujangga Lama
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasian karya sastra di Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20. Pada masa ini karya sastra di dominasi oleh syair, pantun, gurindam dan hikayat. Di Nusantara, budaya Melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatra dan Semenanjung Malaya. Di Sumatra bagian utara muncul karya-karya penting berbahasa Melayu, terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Fansuri adalah yang pertama di antara penulis-penulis utama angkatan Pujangga Lama, pemula puisi Indonesia.[5] Dari istana Kesultanan Aceh pada abad XVII muncul karya-karya klasik selanjutnya, yang paling terkemuka adalah karya-karya Syamsuddin Pasai dan Abdurrauf Singkil, serta Nuruddin ar-Raniri.[6]
Syarab al-'Asyiqin (Minuman Para Pecinta) oleh Hamzah Fansuri
Asrar al-'Arifin (Rahasia-rahasia para Gnostik) oleh Hamzah Fansuri
Nur ad-Daqa'iq (Cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsuddin Pasai
Bustan as-Salatin (Taman raja-raja) oleh Nuruddin ar-Raniri
Sastra Melayu Lama
Karya sastra di Indonesia yang dihasilkan antara tahun 1870 - 1942, yang berkembang dilingkungan masyarakat Sumatra seperti "Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan daerah Sumatra lainnya", orang Tionghoa dan masyarakat Indo-Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat dan terjemahan novel barat.
dan masih ada sekitar 3000 judul karya sastra Melayu-Lama lainnya
Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pusataka merupakan karya sastra di Indonesia yang terbit sejak tahun 1920, yang dikeluarkan oleh penerbit Balai Pustaka. Prosa (roman, novel, cerita pendek dan drama) dan puisi mulai menggantikan kedudukan syair, pantun, gurindam dan hikayat dalam khazanah sastra di Indonesia pada masa ini. Balai Pustaka merupakan penerbit yang didirikan dengan nama Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (bahasa Indonesia: "Komisi untuk Sekolah Pedalaman dan Bacaan Rakyat") oleh pemerintahHindia Belanda pada tanggal 15 Agustus1908.
Balai Pustaka didirikan pada masa itu untuk memproduksi bahan bacaan bagi sekolah yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda diyakini sebagai bagian dari Politik Etis atau Politik Balas Budi (Belanda: Ethische Politiek). Balai Pustaka juga pada masa itu bertujuan untuk mencegah pengaruh buruk dari bacaan cabul dan liar yang dihasilkan oleh sastra Melayu Rendah yang banyak menyoroti kehidupan pernyaian (cabul) dan dianggap memiliki misi politis (liar). Balai Pustaka menerbitkan karya dalam tiga bahasa yaitu bahasa Melayu-Tinggi, bahasa Jawa dan bahasa Sunda; dan dalam jumlah terbatas dalam bahasa Bali, bahasa Batak, dan bahasa Madura.
Nur Sutan Iskandar dapat disebut sebagai "Raja Angkatan Balai Pustaka" karena ada banyak sekali karya tulisnya pada masa tersebut. Apabila dilihat daerah asal kelahiran para pengarang, dapatlah dikatakan bahwa novel-novel Indonesia yang terbit pada angkatan ini adalah "novel Sumatra", dengan Minangkabau sebagai titik pusatnya.[7]
Pada masa ini, novel/roman Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan menjadi karya yang cukup penting. Keduanya menampilkan kritik tajam terhadap adat-istiadat dan tradisi kolot yang membelenggu. Dalam perkembangannya, tema-tema inilah yang banyak diikuti oleh penulis-penulis lainnya pada masa itu.
Pujangga Baru muncul sebagai reaksi atas banyaknya sensor yang dilakukan oleh Balai Pustaka terhadap karya tulis sastrawan pada masa tersebut, terutama terhadap karya sastra yang menyangkut rasa nasionalisme dan kesadaran kebangsaan. Sastra Pujangga Baru adalah sastra intelektual, nasionalistis dan elitis.
Pada masa itu, terbit pula majalah Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisjahbana, beserta Amir Hamzah dan Armijn Pane. Karya sastra di Indonesia setelah zaman Balai Pustaka (tahun 1930 - 1942), dipelopori oleh Sutan Takdir Alisyahbana. Karyanya Layar Terkembang, menjadi salah satu novel yang sering diulas oleh para kritikus sastra Indonesia. Selain Layar Terkembang, pada periode ini novel Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Kalau Tak Untung menjadi karya penting sebelum perang.
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu:
Kelompok "Seni untuk Seni" yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah
Kelompok "Seni untuk Pembangunan Masyarakat" yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi.
Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan '45. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Karya-karya sastra pada angkatan ini banyak bercerita tentang perjuangan merebut kemerdekaan seperti halnya puisi-puisi Chairil Anwar. Sastrawan angkatan '45 memiliki konsep seni yang diberi judul "Surat Kepercayaan Gelanggang". Konsep ini menyatakan bahwa para sastrawan angkatan '45 ingin bebas berkarya sesuai alam kemerdekaan dan hati nurani. Selain Tiga Manguak Takdir, pada periode ini cerpen Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma dan Atheis dianggap sebagai karya pembaharuan prosa Indonesia.
Angkatan 50-an ditandai dengan terbitnya majalah sastra Kisah asuhan H.B. Jassin. Ciri angkatan ini adalah karya sastra yang didominasi dengan cerita pendek dan kumpulan puisi. Majalah tersebut bertahan sampai tahun 1956 dan diteruskan dengan majalah sastra lainnya, Sastra.
Pada angkatan ini muncul gerakan komunis dikalangan sastrawan, yang bergabung dalam Lembaga Kebudajaan Rakjat (Lekra) yang berkonsep sastra realisme sosialis. Timbullah perpecahan dan polemik yang berkepanjangan di antara kalangan sastrawan di Indonesia pada awal tahun 1960; menyebabkan mandegnya perkembangan sastra karena masuk kedalam politik praktis dan berakhir pada tahun 1965 dengan pecahnya G30S di Indonesia.
Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba (1990)
Cahaya Maha Cahaya (1991)
Sesobek Buku Harian Indonesia (1993)
Abacadabra Kita Ngumpet... (1994)
Syair-syair Asmaul Husna (1994)
Doa Mohon Kutukan (1995)
Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu (2000)
Trilogi Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta (2001)
Karikatur Cinta (2005)
Rahman Rahim Cinta (2021)
Angkatan 1980 - 1990an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 di mana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, yaini periode Reformasi tahun 1998–2004, muncul wacana tentang sastrawan "Angkatan Reformasi". Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra—puisi, cerpen, dan novel—pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Angkatan Reformasi juga diyakini merupakan angkatan yang mempunyai nafas kebebasan yang lega dari pemberangusan dan pembatasan rezim Orde Baru.
Periodisasi atau angkatan pada masa Orde Baru yang dibatasi kebijakan pemerintah, kini diyakini mesti didasarkan pada puncak karya sastra serta pengaruhnya (pengaruh cirinya) pada keseluruhan angkatan itu sendiri. Hal ini juga disebabkan oleh melimpahnya karya yang ada khususnya di internet. Orang-orang bebas menentukan tema karyanya dan publiklah yang menilai karya mereka. Puncak karya sastra berarti bahwa karya sastra mempunyai banyak pengikut (misalnya dari sisi tema, amanat, ciri angkatan, dan sebagainya). Kemudian, lahir pula penanatangnya seperti novel Ayat-Ayat Cinta karya Habiburrahman El Shirazy.
Selewat sastrawan Angkatan Reformasi (1998–2004), muncul beberapa penulis pendatang baru, kadang disebut "pascareformasi", namun tidak berhasil dikukuhkan karena kurang memiliki juru bicara (kritikus atau akademisi yang mengkonfirmasi puncak kesusastraan) Korrie Layun Rampan sudah pada tahun 2000 melempar wacana tentang lahirnya "Sastrawan Angkatan 2000".[10] Akan tetapi, seratus lebih penyair, cerpenis, novelis, eseis, dan kritikus sastra yang dimasukkan dia ke dalam Angkatan 2000, tentu termasuk mereka yang sudah mulai menulis sejak 1980-an, seperti Afrizal Malna, Ahmadun Yosi Herfanda dan Seno Gumira Ajidarma, serta yang muncul pada akhir 1990-an, seperti Ayu Utami, dan Dorothea Rosa Herliany, sementara itu, belum meliputi pendatang baru tahun 2000-an. Dengan maknanya sama, pada tahun 2001, di Gramedia Pustaka Utama diterbitkan kumpulan karya Angkatan 2000.[11]
Sejak tahun 2016, Badan Bahasa Kemdikbud juga menyelenggarakan pertemuan sastrawan dengan tajuk Musyawarah Nasional Sastrawan Indonesia yang diikuti para sastrawan, pegiat sastra, dan pengamat sastra melalui mekanisme pengumpulan karya sastra dan undangan khusus dengan acara diskusi, berbagi informasi, dan silaturahim antarsastrawan.[12][13]
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi berupa buku namun termaktub di dunia maya (Internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi nirlaba, maupun situs pribadi. Medy Loekito telah mengawali era ini pada awal dasawarsa 2000-an, dengan mengelola laman sastra Cybersastra.net yang sekarang sudah tidak beroperasi lagi.
Realisme magis merupakan aliran sastra yang menggunakan pendekatan realitas sehari-hari dengan gabungan elemen magis di dalamnya. Di Indonesia, aliran ini pertama diperkenalkan oleh Danarto.[16] Tokoh-tokoh lainnya adalah Eka Kurniawan, Iwan Simatupang, dan Putu Wijaya. Penulis yang menggunakan realisme magis dalam karya-karyanya ialah Ayu Utami, dan lainnya.
Tidak seperti Realisme dan Naturalisme, tokoh-tokoh dari aliran Simbolis menggunakan simbol, sindiran, kiasan, gambar misterius dan penuh teka-teki, seperti puisi Toto Sudarto Bachtiar serta W.S. Rendra (masa awalnya).
Modernisme seni dan Avant-garde di Eropa telah dimulai sejak abad ke-19 sebagai gerakan yang meliputi beberapa aneka aliran. Karya-karya mereka yang bersifat eksperimental, radikal, dan tidak lazim. Di Indonesia, misalnya, gaya ini ditemukan di dalam sajak-sajak bebas oleh penyair-novator Chairil Anwar dan karya Iwan Simatupang.
Gerakan Neoromantik muncul pada dasawarsa 1880-an sebagai reaksi terhadap Modernisme dan mencoba untuk memberikan tekanan pada perasaan dan kehidupan sang hero, bagai di karya zaman Romantisisme. Sastrawan Indonesia menyambut gerakan tersebut lewat sastra Belanda. Sifat romantik ada di karya oleh Sutan Takdir Alisjahbana[17] serta Rivai Apin.
Surealisme merupakan salah satu aliran Modernis dan Avangardis. Selain dari Realisme, karya Surealis memiliki unsur nonlogis, kejutan, barang tak terduga yang ditempatkan berdekatan satu sama lain tanpa alasan yang jelas. Penyair Dimas Arika Mihardja merupakan sastrawan Indonesia yang menggunakan gaya aliran ini.
Filsafat Absurdisme didasarkan pada kepercayaan pada ketidakadaan makna, bahwa usaha manusia untuk mencari arti dari kehidupan ialah absurd dan akan berakhir dengan kegagalan. Di antara sastrawan Indonesia, pengikut gaya absurdis adalah Budi Darma,[18]Putu Wijaya serta Aloysius Slamet Widodo.
Fiksi populer sebagai gejala budaya populer ditujukan untuk kesuksesan komersial. Sastra pop berbentuk genre cerita detektif, cerita cinta, cerita kembara, fantasi, dan lainnya. Misalnya di Indonesia, novel-novel cinta oleh Herlinatiens serta Primadonna Angela.
Salah satu bentuk sastra pop adalah fiksi "metropop", karya sastra yang mengangkat cerita tentang kawasan perkotaan menengah yang tinggal di kota-kota besar dengan segala sisi kehidupannya, disajikan dengan gaya bahasa pop.[19] Penulis Indonesia yang terkenal dengan karya-karya metropop di antaranya: Ika Natassa, Ilana Tan, dan Ria N. Badaria.
Sejak dasawarsa 1980-an, para sastrawan Indonesia sudah mulai menyelenggarakan temu sastra dalam bentuk gerakan kesusastraan, kemah sastra, kajian sastra, dan peluncuran buku-buku sastra.
"Sastra kontekstual" merupakan perintis gerakan kesusatraan yang diselenggarakan di Surakarta, Jawa Tengah, pada tahun 1984, dipelopori oleh Ariel Heryanto, Arief Budiman, Murtidjono, dan Halim HD, yang menyorot perkembangan sastra modern Indonesia yang memiliki kecenderungan yang kebarat-baratan. Gerakan ini menolak nilai universal dalam ranah sastra dan membebaskan nilai itu tumbuh dan berubah sepanjang sejarah yang berbeda dari suatu tempat dan waktu, dari kelompok ke kelompok lainnya.
Sastra kontekstual merupakan gerakan kesusastraan yang berawal dari pemahaman bahwa nilai-nilai sastra tidak mengenal universalitas, melainkan tumbuh dan berkembang sesuai waktu, tempat, dan peradabannya. Konsep ini digagas dalam acara Sarasehan Kesenian Sastra Kontekstual, di Surakarta, 28 sampai 29 Oktober 1984 oleh sastrawan Ariel Heryanto dan Arief Budiman. Keduanya merupakan akademikus dari Universitas Kristen Satyawacana, Salatiga, Jawa Tengah. Perhelatan ini berhasil menghimpun karya-karya sejumlah sastrawan dalam sebuah buku bertajuk Perdebatan Sastra Kontekstual yang disunting oleh Ariel Heryanto.[22]
Revitalisasi sastra pedalaman mencakup tiga hal, yaitu menghindari pemusatan sosialisasi nilai-nilai sastra hanya pada Jakarta, surat kabar bukan menjadi satu-satunya alternatif dalam melakukan sosialisasi sastra, dan membentuk jaringan serta komunikasi/kantung-kantung budaya di mana saja, dan dengan siapa saja. Salah satu aktivitas RSP adalah menerbitkan Jurnal Revitali Sastra Pedalaman yang terbit sampai edisi ke-3, pada tahun 1995.
"Angkatan Kosong-kosong" (AKK) adalah nama gerakan kesusasteraan yang dimulai di Kota Tegal pada tahun 2010, dengan mengambil tema Membongkar Politisasi Kesusasteraan Indonesia. Tiga hal penting yang diangkat dalam gerakan tersebut antara lain: tidak adanya angkatan dalam kesenian indonesia, tidak perlu adanya pembedaan antara pusat dan daerah, dan menolak anggapan bahwa masyarakat tidak tahu seni. Istilah "Angkatan Kosong-kosong" kali pertama dicetuskan oleh W.S. Rendra yang memberikan gelar kepenyairan kepada penyair Tegal, Widjati.[25]
Dalam rangka memberikan apresiasi sebagai tanda penyemangat bagi para sastrawan Indonesia atas prestasi mereka, beberapa lembaga nirlaba telah menyelenggarakan perhelatan tahunan berupa penganugerahan penghargaan di bidang kesusastraan, antara lain:[27]
Sastra, sebagai cerminan realitas, memegang peranan penting dalam masyarakat bahkan dapat “mempengaruhi kehidupan” Sastra menempati tempat khusus dalam masyarakat, namun fungsi dan peranannya berubah dari waktu ke waktu dan tidak pernah sama persis. Perubahan dan perkembangan dari waktu ke waktu dapat menjadikan peran sastra tidak stabil.
Sederhananya, sastra bisa menjadi saksi bisu dan komentator kehidupan manusia. Latar belakang sebuah karya sastra sendiri dapat mencerminkan kehidupan masyarakat di daerah tersebut secara umum. Dari situ Anda juga bisa mempelajari nilai-nilai apa saja yang diwakili oleh budaya, kehidupan, dan masyarakat dengan latar belakang tersebut. Sekilas sejarah yang penting juga dapat ditemukan dalam buku-buku seperti novel Plumb, ``Human Earth.''
^Al-Ma'ruf, Ali Imron; Nugrahani, Farida (2017). Pengkajian Sastra Teori dan Aplikasi. Surakarta: Cv Djiwa Amarta Press. hlm. 6–8. ISBN978-602-60585-8-4.
Eneste, Pamusuk (2001). Buku pintar sastra Indonesia: biografi pengarang dan karyanya, majalah sastra, penerbit sastra, penerjemah, lembaga sastra, daftar hadiah dan penghargaan (edisi ke-3). Jakarta: Kompas. ISBN9799251788.
Ensiklopedi Sastra Indonesia. Bandung: Titian Ilmu. 2004. ISBN979-9012-12-0.
Jassin, Hans Bague (1954–1967). Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. 1–4. Jakarta: Gunung Agung.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
Teeuw, Andries (1989). Sastra Indonesia Modern [Modern Indonesian Literature (1967)]. Seri terjemahan KITLV-LIPI. 2. Jakarta: Pustaka Jaya. ISBN9794190683.
Teeuw, Andries (1994). Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.