Sistem pemerintahan lokal Aceh adalah suatu sistem pemerintahan yang dipergunakan pada masa Kesultanan Aceh Darussalam dan sampai sekarang masih dipakai seiring pemberlakuan status istimewa bagi Aceh (kecuali; keurajeuën, sagoë dan nanggroë). Sistem pemerintahan lokal Aceh mengacu pada sistem pemerintahan yang khusus dipergunakan oleh Aceh.[1][2]
Struktur daerah lokal Aceh
Gampông
Gampông atau disebut kampung/keluarahan dalam bahasa Melayu, merupakan sebuah sistem pemerintahan setingkat desa sekarang yang bediri secara otonom. Sebuah gampông dipimpin oleh kepala desa yang disebut Keuchik atau Geuchik dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Peuët.[3]
Mukim
Mukim merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat kecamatan yang dahulu diberlakukan pada saat Kesultanan Aceh. Sebuah mukim terdiri dari beberapa buah desa yang disebut gampông. Di tiap-tiap mukim didirikan sebuah masjid yang dipergunakan untuk salat Jumat. Yang memimpin mesjid disebut Teungku Imum Raja (Mesjid).
Mukim dipimpin oleh Imum Mukim dan dibantu oleh suatu dewan musyawarah yang disebut Tuha Lapan.
Sagoë
Sagoë merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat Kabupaten pada masa sekarang. Sebuah sagoë terdiri dari mukim-mukim layaknya sekarang sebuah kabupaten terdiri dari kecamatan-kecamatan. Sebuah sagoë dipimpin oleh Ulèëbalang (hulubalang) yang bergelar Teuku atau disebut Ampon.
Lembaga Wali Nanggroë
Lembaga Wali Nanggroë merupakan suatu sistem pemerintahan setingkat Propinsi pada masa sekarang. Dalam bahasa Melayu, nanggroë disebut dengan nama Negeri. Sebuah nanggroë dipimpin oleh Raja Nanggroë atau Wali Nanggroë yang bergelar "Paduka Yang Mulia". Namun hal ini sekarang tidaklah sejalan dengan sistem hukum Indonesia yang dipimpin oleh Gubernur, sehingga Wali Nanggroë merupakan salah satu simbol kebudayaan Aceh.[4]
Sistem Ketatanegaraan Aceh
Pemerintahan
Sistem pemerintahan provinsi dipimpin gubernur serta kota/kabupaten dipimpin wali kota/bupati.
Parlemen
Sistem parlemen provinsi dipimpin Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) serta kota/kabupaten dipimpin Dewan Perwakilan Rakyat Kota/Kabupaten (DPRK).
Kehakiman
Sistem kehakiman Aceh dipimpin Mahkamah Syar'iyah Aceh,[5]
Partai Lokal
MoU Helsinki memperintahkan bahwa partai politik lokal harus hadir di Aceh, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (selanjutnya disingkat UUPA), pada Bab XI Partai Politik Lokal Pasal 75 ayat (1) menentukan bahwa penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal” karena dalam MoU sendiri pada point 1.2.1 menjelaskan sesegara mungkin tidak lebih dari satu tahun sejak penandatangan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI menyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional.
Setelah adanya UUPA, bahwa masyarakat Aceh sendiri dapat mendirikan partai politik lokal di Aceh, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh, Pasal 1 angka 2 menyatakan: Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) / Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota (DPRK), Gubernur dan Wakil Gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota.[6]
Referensi
Lihat pula
Referensi
Pranala luar