Islam di Jambi telah berkembang sejak masa Kerajaan Sriwijaya pada akhir abad ke-7 M. Perkembangannya berlanjut hingga pendirian Kesultanan Jambi pada abad ke-16 Masehi. Islam telah mengalami akulturasi dengan budaya masyarakat di Jambi.
Sejarah
Masa Kerajaan Sriwijaya
Pada abad ke-7 Masehi, Kekhalifahan Umayyah telah menjalin hubungan dengan Kerajaan Sriwijaya di Jambi. Tercatat salah seorang bernama Muara Sabak yang telah menjadi muslim. Kegiatan surat-menyurat mengenai Islam telah dilakukan oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz dengan Sri Maharaja Lomasyarakatmarwan.[1] Raja Sriwijaya yang menjadi penerusnya di Jambi kemudian diberitakan telah menjadi muslim. Raja ini bernama Sri Maharaja Sri Indrawarman.[2] Dokumen persuratan ini disimpan di Museum Spanyol di Madrid. Namun, wilayah Jambi kemudian terpengaruh oleh Kekaisaran Tiongkok yang menganut agama Buddha Mahayana. Orang-orang muslim di Kerajaan Sriwijaya kemudian dikalahkan pengaruhnya melalui perdagangan lada.[1]
Masa Kesultanan Jambi
Kesultanan Jambi merupakan sebuah kesultanan yang didirikan pada abad ke-16 M. Wilayahnya meliputi wilayah Provinsi Jambi. Awal mula Kesultanan Jambi memiliki hikayat dan tradisi lisan yang berbeda-beda di Masyarakat Jambi. Versi termahsyur menyebutkan bahwa leluhur dari raja-raja Kesultanan Jambi adalah seorang putri bernama Putri Selaro Pinang Masak. Ia adalah anak dari Raja Baremah yang berkuasa di Kerajaan Pagaruyung. Putri Selaro Pinang Masak kembali ke tanah leluhurnya di Jambi dan menikah dengan Ahmad Salim yang bergelar Datuk Paduko Berhalo. Suaminya merupakan seorang pendakwah Islam dari Istanbul, Turki. Mereka menikah di Ujung Jabung di bagian hilir Sungai Batanghari. Dari pernikahan mereka, lahir empat orang anak yang terdiri dari seorang putri dan tiga orang putra. Nama putrinya adalah Rangkayo Gemuk, sedangkan nama putra-putranya adalah Rangkayo Pingai, Rangkayo Kedataran, dan Rangkayo Hitam. Mereka diyakini sebagai leluhur dari para raja dan priyayi dalam Kesultanan Jambi. Ketiga putra ini menjadi Raja Jambi selama akhir abad ke-15 M hingga abad awal abad ke-16 M.[3]
Akulturasi budaya
Ajaran Islam telah menjadi bagian dari budaya masyarakat adat di Jambi. Ini tercermin pada pepatah jambi yaitu “adat bersendi Syarak, Syarak bersendi Kitabullah” dan "Syarak Mengato, Adat Memakai”.[4]
Demografi
Distribusi geografi
Berikut merupakan jumlah umat Muslim di Provinsi Jambi menurut data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi pada tahun 2015.[5]
Kota/kabupaten
|
Muslim
|
%
|
Kerinci
|
253,131
|
99,23%
|
Merangin
|
338,009
|
98,26%
|
Sarolangun
|
239,221
|
96,39%
|
Batanghari
|
264,812
|
97,82%
|
Muaro Jambi
|
366,287
|
96,82%
|
Tanjung Jabung Timur
|
227,974
|
97,29%
|
Tanjung Jabung Barat
|
284,925
|
95,73%
|
Tebo
|
323,819
|
97,23%
|
Bungo
|
319,886
|
95,21%
|
Kota Jambi
|
581,219
|
86,31%
|
Kota Sungai Penuh
|
97,476
|
98,10%
|
Total
|
3,296,779
|
95,01%
|
Tempat ibadah
Tabel ini menyajikan jumlah tempat ibadah umat Islam, seperti masjid dan musholla di provinsi Jambi menurut Badan Pusat Statistik Jambi (2022).[6]
Referensi
- ^ a b Ridwan, N. K., dkk. (2015). Jibril FM., dkk., ed. Gerakan Kultural Islam Nusantara (PDF). Sleman: Jamaah Nuhdilyin Mataram. hlm. 42. ISBN 978-602-18092-9-7.
- ^ Pongsibanne, Lebba Kadorre (2017). Mansur, M. Fatih, ed. Islam dan Budaya Lokal: Kajian Antropologi Agama (PDF). Bantul: Kaukaba Dipantara. hlm. 103. ISBN 978-602-1508-83-1.
- ^ Sunliensyar, Hafiful Hadi (2019). Tanah, Kuasa Dan Niaga: Dinamika Relasi Antara Orang Kerinci Dan Kerajaan-Kerajaan Islam Di Sekitarnya Dari Abad XVII Hingga Abad XIX. Jakarta: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. hlm. 21–22. ISBN 978-623-7871-19-4.
- ^ Rahman, A.dkk. (2017). Saefullah, Asep, ed. Inskripsi Islam Nusantara Edisi Revisi (PDF). Jakarta Pusat: Litbangdiklat Press. hlm. 306. ISBN 978-602-51270-0-7.
- ^ "Badan Pusat Statistik". jambi.bps.go.id. Diakses tanggal 2023-09-29.
- ^ "Badan Pusat Statistik". jambi.bps.go.id. Diakses tanggal 2023-09-30.