Jambi adalah sebuah provinsi di Indonesia yang terletak di pesisir timur, di bagian tengah Pulau Sumatera. Ibukota Provinsi ini berada di Kota Jambi. Provinsi Jambi memiliki luas wilayah 50.160,05 km2, dengan jumlah penduduk pada pertengahan tahun 2024 sebanyak 3.795.579 jiwa.[1][2]
Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini, sering disebut dalam prasasti dan juga berita-berita Tiongkok. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Kien-pi atau Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri empat kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu kerajaan Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M), Kantoli (abad ke-5) dan Zabag.[5][6] Daerah pedalaman Jambi juga ditemukan Prasasti Karang Berahi, prasasti ini berbahasa Melayu Kuno ditulis dalam aksara Pallawa, dengan pertanggalan abad ke 7 Masehi.[7]
Jambi juga terkenal mempunyai kompleks percandian agama Hindu-Buddha terluas di Asia Tenggara, dengan luas 3981 hektare, yang dikenal dengan nama Candi Muaro Jambi. Kemungkinan besar merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya dan Melayu, yang diperkirakan berasal dari (abad ke-7–12 M). Candi Muara Jambi merupakan kompleks candi yang terbesar dan yang paling terawat di Pulau Sumatra.[8]
Sejarah
Asal nama
Ada beberapa versi tentang asal usul nama Jambi:
Versi pertama, Nama Jambi muncul sejak daerah yang berada di pinggiran Sungai Batanghari ini dikendalikan oleh seorang ratu bernama Putri Selaras Pinang Masak, yaitu semasa keterikatan dengan Kerajaan Majapahit. Waktu itu bahasa keraton dipengaruhi bahasa Jawa, di antaranya kata pinang disebut jambe. Sesuai dengan nama ratunya “Pinang Masak”, maka kerajaan tersebut dikenal dengan Kerajaan Melayu Jambe. Lambat laun rakyat setempat umumnya menyebut “Jambi”.[butuh rujukan]
Versi kedua, kemungkinan besar saat Tanah Pilih dijadikan tapak pembangunan kerajaan baru, pohon pinang banyak tumbuh di sepanjang aliran Sungai Batanghari, sehingga nama itu yang dipilih oleh Orang Kayo Hitam.[butuh rujukan]
Versi ketiga, berpedoman pada buku sejarah De Oudste Geschiedenis van de Archipel bahwa Kerajaan Melayu Jambi dari abad 7 s.d. abad 13 merupakan bandar atau pelabuhan dagang yang ramai. Di sini berlabuh kapal-kapal dari berbagai bangsa, seperti: Portugis, India, Mesir, Cina, Arab, dan Eropa lainnya. Berkenaan dengan itu, sebuah legenda yang ditulis oleh Chaniago menceritakan bahwa sebelum Kerajaan Melayu jatuh ke dalam pengaruh Hindu, seorang putri Melayu bernama Putri Dewani berlayar bersama suaminya dengan kapal niaga Mesir ke Arab, dan tidak kembali.[butuh rujukan]
Versi keempat, Pada rentang waktu abad ke-7 M hingga ke-11 M, berbagai nama bahkan terkadang ditulis secara tidak konsisten. Catatan-catatan dinasti Cina yang ada menunjukkan, menurut Wolters, bahwa Cina tidak terlalu tertarik dengan perubahan pusat kekuasaan selagi tidak mengganggu aktivitas perdagangan. Menurut analisis Groeneveld (1876 M), San-fo- ch'i dalam catatan dinasti Sung adalah Chan-pei (Jambi), namun menurut Coedès, nama itu mengindikasikan Sriwijaya, yang juga memiliki nama lain Shi-li-fo-shi dan Svarnadvipa. Pendapat Pelliot memberikan penjelasan yang memungkinkan bahwa sejak masa dinasti Sung, pusat Sriwijaya telah berpindah ke Chan-pei (Jambi) sehingga Jambi dikenal dengan Sriwijaya. Ide ini menjelaskan catatan Chou Ch'ü-fei (1178 M) yang menyatakan bahwa pada tahun 1079 M kerajaan San-fo-ch'i mengirim utusan Kerajaan Chan-pei ke Cina. Jika alur pikir ini diterima maka bisa jadi San-fo-ch'i awalnya adalah nama untuk Sriwijaya yang berpusat di Palembang, namun kemudian juga dilekatkan kepada Chan-pei (Jambi) disebabkan terjadinya perubahan pusat pemerintahan dari wilayah Palembang sekarang ke wilayah Jambi.[9](hlm.69-70)
Pada waktu lain, seorang putri Melayu lain bernama Ratna Wali bersama suaminya berlayar ke Negeri Arab, dan dari sana merantau ke Ruhum Jani dengan kapal niaga Arab. Kedua peristiwa dalam legenda itu menunjukkan adanya hubungan antara orang Arab dan Mesir dengan Melayu. Mereka sudah menjalin hubungan komunikasi dan interaksi secara akrab.[butuh rujukan]
Kondisi tersebut melahirkan interpretasi bahwa nama Jambi bukan tidak mungkin berasal dari ungkapan-ungkapan orang Arab atau Mesir yang berkali-kali ke pelabuhan Melayu ini. Orang Arab atau Mesir memberikan julukan kepada rakyat Melayu pada masa itu sebagai ”Jambi”, ditulis dengan aksara Arab:, yang secara harfiah berarti ’sisi’ atau ’samping’, secara kinayah (figuratif) bermakna ’tetangga’ atau ’sahabat akrab’.[butuh rujukan]
Kata Jambi ini sebelum ditemukan oleh Orang Kayo Hitam atau sebelum disebut Tanah Pilih, bernama Kampung Jam, yang berdekatan dengan Kampung Teladan, yang diperkirakan di sekitar daerah Buluran Kenali sekarang. Dari kata Jam inilah akhirnya disebut “Jambi”.[butuh rujukan]
Menurut teks Hikayat Negeri Jambi, kata Jambi berasal dari perintah seorang raja yang bernama Tun Telanai, untuk untuk menggali kanal dari ibu kota kerajaan hingga ke laut, dan tugas ini harus diselesaikan dalam tempo satu jam. Kata jam inilah yang kemudian menjadi asal kata Jambi.[butuh rujukan]
Zaman kerajaan
Provinsi Jambi secara geografis berada di pesisir timur persis di tengah Pulau Sumatra, ibu kotanya berada di kota Jambi. Provinsi Jambi adalah nama provinsi di Indonesia yang ibu kotanya memiliki nama sama dengan provinsi, selain Bengkulu, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Gorontalo.
Jambi merupakan wilayah yang terkenal dalam literatur kuno. Nama negeri ini sering disebut dalam prasasti-prasasti dan juga berita-berita Tiongkok. Ini merupakan bukti bahwa, orang Cina telah lama memiliki hubungan dengan Jambi, yang mereka sebut dengan nama Chan-pei. Diperkirakan, telah berdiri tiga kerajaan Melayu Kuno di Jambi, yaitu Kerajaan Koying (abad ke-3 M), Tupo (abad ke-3 M) dan Kerajaan Kandali/ Kantoli (abad ke-5). Seiring perkembangan sejarah, kerajaan-kerajaan ini lenyap tanpa banyak meninggalkan jejak sejarah.[butuh rujukan]
Dalam sejarah kerajaan di Nusantara wilayah Minanga Kamwa (nama Minang Kabau Kuno 1 M) adalah tanah asal pendiri Kerajaan Melayu dan Sriwijaya dari wilayah Minanga Kamwa inilah banyak lahir raja-raja di Nusantara, baik sekarang yg berada di Malaysia, Brunei dan Indonesia di negeri Jambi ini pernah dikuasai oleh beberapa kekuatan besar, mulai dari Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Malaka hingga Johor-Riau. Terkenal dan selalu menjadi rebutan merupakan tanda bahwa Jambi sangat penting pada masa dahulu.[butuh rujukan]
Perkembangan agama Hindu dan Buddha adalah sejarah penting bagi perkembangan Jambi pra-Islam. Pada masa ini, Jambi pernah menjadi salah satu wilayah penting bagi penyebaran agama dunia, khususnya di Asia. Kesimpulan tentang pentingnya posisi Jambi pada masa Hindu-Buddha tersebut terutama didasarkan pada penelitian- penelitian sejarah dan arkeologi di kawasan Candi Muaro Jambi yang bercorak Hindu-Buddha. Berdasarkan temuan-temuan di sekitar kawasan, candi ini diyakini sebagian besar dibangun mulai abad ke- 8-9 secara bertahap. Namun sejarawan Jambi, Fachruddin Saudagar, bahkan meyakini pembangunan candi telah dirintis sejak abad ke-4 di daerah yang merupakan daerah garis pantai purba berbentuk teluk bernama Teluk Wen yang menjorok hingga ke daerah Muara Tebo dan Sarolangun. Keberadaan candi ini menguatkan pendapat bahwa Melayu (Jambi) merupakan kerajaan Hindu tertua di Sumatra yang telah berdiri tahun 644 M.[9](hlm.67)
Waktu penyebaran agama Hindu dan Buddha di Jambi tidak bisa ditetapkan secara pasti. Prediksi yang memungkinkan disusun berdasarkan perkembangan Candi Muaro Jambi yang pada awalnya diperkirakan berfungsi sebagai tempat pendidikan agama Buddha di Nusantara. Dalam perjalanannya mempelajari agama Buddha, I'tsing (Yi Jing) sempat berkunjung dua kali di tanah Mo-lo-yeu untuk memperdalam pengetahuan tentang Buddha yaitu tahun 671 dan antara 689-695. Pentingnya negeri yang juga disebutnya Foshi ini sebagai tempat belajar agama Buddha, mendorong I'tsing menyarankan para agamawan Buddha untuk belajar dahulu 1-2 tahun di sini sebelum berangkat ke India. Selain itu, umumnya peneliti meyakini bahwa Candi Muaro Jambi pernah menjadi pusat Kerajaan Melayu tua dan Sriwijaya hingga abad ke-12 dengan raja terakhirnya Tun Telanai (1080-1168 M).[a][9](hlm.67-68)
Catatan I'tsing tersebut sekaligus menegaskan bahwa saat kedatangannya ke tanah Mo-lo-yeu, ajaran Buddha telah berkembang pesat di sana. Bukti penyebaran agama Hindu dan Buddha di sekitar Palembang dan Jambi juga didasarkan pada isi prasasti-prasasti zaman Sriwijaya yang menerangkan prosesi- prosesi dan sistem keyakinan yang mencerminkan nilai-nilai dan tradisi Hindu-Buddha. Setidaknya ada enam prasasti penting yaitu prasasti Talang Tuo yang ditemukan di sebelah Barat Bukit Siguntang bertahun 684 M, prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di sebelah Selatan Bukit Siguntang bertahun 682 M, prasasti Sabokingking, prasasti Kota Kapur di daerah Bangka bertahun 686 M, prasasti Karang Berahi di daerah Merangin, Jambi, dan prasasti Palas Pasemah di daerah Lampung. Mempertimbangkan catatan I'tsing dan penanggalan prasasti ini maka bisa dipahami bahwa ajaran Hindu dan Buddha telah tersebar di Palembang dan Jambi sejak awal abad ke-7 atau lebih awal lagi.[9](hlm.68-69)
Penetapan lokasi dan status Mo-lo-yeu dan Sriwijaya, atau nama lainnya, serta dinamika hubungan antara keduanya tetap menjadi lahan analisis yang terbuka hingga saat ini, meskipun sudah seabad sejak para ilmuwan mulai melakukan kajian-kajian intensif terkait. Pendapat yang lebih umum adalah Mo-lo-yeu berlokasi di Jambi, sedangkan Sriwijaya awalnya berpusat di Palembang. Catatan I'tsing dan rekam peristiwa beberapa dinasti Cina adalah sumber utama yang menjelaskan keberadaan kerajaan-kerajaan tersebut sejak abad ke-7 M. Terlepas dari perdebatan tersebut, baik Mo-lo-yeu maupun Sriwijaya, merupakan kerajaan bertetangga di bawah pengaruh Buddha, bahkan sempat menjadi salah satu pusat pendidikan agama Buddha pada masanya.[9](hlm.69)
Sepanjang abad ke-7 M hingga abad ke-14 M, Sriwijaya, termasuk Jambi di dalamnya, menjadi kerajaan besar yang berpengaruh di jalur perdagangan Selat Malaka. Kerajaan-kerajaan Sumatra cenderung bertumbuh di daerah pesisir Timur karena pertimbangan penguasaan jalur perdagangan yang memanfaatkan sungai-sungai besar bermuara ke Selat Malaka. Ibu kota kerajaan berperan sebagai "penjaga gawang" arus perdagangan di muara sungai (dalam istilah Melayu disebut kuala) yang umumnya menjadi kota pelabuhan dagang. Namun, ibu kota kerajaan tidak selalu berada di tepi pantai sehingga sering kali tugas pengontrolan pelabuhan dagang dilakukan oleh syahbandar, dan patroli laut didukung oleh Orang Laut yang loyal kepada kerajaan. Sementara di pantai Barat, jalur perdagangan cenderung membentuk garis sisir, yang memungkinkan komunitas lokal membangun pelabuhan dagang di mana saja. Karena itu pula, belasan pelabuhan dagang yang berdiri di sepanjang pantai Barat, cenderung memiliki independensi dan kesetaraan.[9](hlm.71-72)
Meskipun struktur politik Mo-lo-yeu diperkirakan muncul sejak abad ke-7 M, tidak berarti sebelumnya belum ada struktur politik di wilayah yang sekarang disebut Jambi. Sumber lain bahkan mencatat bahwa kerajaan Melayu (Moloyou) di Jambi terentang dari masa abad ke-3 M dengan nama Koying, abad ke-4 dengan nama The Hu Pho (Tebo) dan abad ke-5 M dengan nama Kuntala (Kuala Tungkal) dan kemudian memanjang sampai abad ke-13 M dengan nama Melayu yang kemudian runtuh lalu muncul kerajaan baru bercorak Islam di abad ke-16 M. Sejarah Melayu Tua berakhir di tanah Jambi dikaitkan dengan kisah terbunuhnya Tun Telanai sebagai penguasa terakhirnya. Naskah Hikayat Negeri Jambi menceritakan bahwa Tun Telanai terbunuh dalam perang melawan anaknya yang dibuang ke laut saat masih bayi dan kemudian menjadi putra mahkota Kerajaan Siam. Keberadaan Tun Telanai sebagai raja terakhir Jambi periode pra-Islam juga ditulis dalam naskah ISKJ[b] pasal Silsilah Raja-raja Jambi.[9](hlm.72)
Setelah Koying, Tupo dan Kantoli runtuh, kemudian berdiri Kerajaan Melayu Jambi. Berita tertua mengenai kerajaan ini berasal dari T’ang-hui-yao yang disusun oleh Wang-p’u pada tahun 961 M, di masa pemerintahan Dinasti Tang dan Hsin T’ang Shu yang disusun pada awal abad ke-7 M di masa pemerintahan dinasti Sung. Diperkirakan, Kerajaan Melayu Jambi telah berdiri sekitar tahun 644/645 M, lebih awal sekitar 25 tahun dari Sriwijaya yang berdiri tahun 670. Harus diakui bahwa, sejarah tentang Melayu Kuno ini masih gelap. Sampai sekarang, data utamanya masih didasarkan pada berita-berita dari negeri Cina, yang terkadang sulit sekali ditafsirkan.[butuh rujukan]
Namun, dibandingkan daerah lainnya di Sumatra, data arkeologis yang ditemukan di Jambi merupakan yang terlengkap. Data-data arkeologis tersebut terutama berasal dari abad ke-9 hingga 14 M. Untuk keluar dari kegelapan sejarah tersebut, maka sejarah mengenai Kerajaan Melayu Jambi berikut ini akan lebih terfokus pada fase pasca abad ke-9, terutama ketika Adityawarman mendirikan Kerajaan Dharmasraya di daerah ini pada pertengahan abad ke-14 M. Ketika Sriwijaya berdiri, Kerajaan Melayu Jambi menjadi daerah taklukannya. Kemudian, ketika Sriwijaya runtuh akibat serangan Kerajaan Chola dari India pada tahun 1025 M, para bangsawan Sriwijaya banyak yang melarikan diri ke hulu Sungai Batang Hari, dan bergabung dengan Kerajaan Melayu yang memang sudah lebih dahulu berdiri, tetapi saat itu menjadi daerah taklukannya. Lebih kurang setengah abad kemudian, sekitar tahun 1088 M keadaan berbalik, Kerajaan Melayu Jambi menaklukkan Sriwijaya yang memang sudah di ambang kehancuran.[butuh rujukan]
Kerajaan Melayu Jambi mulai berkembang lagi, saat itu namanya adalah Dharmasraya. Hanya sedikit catatan sejarah mengenai Dharmasraya ini. Rajanya yang bernama Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa (1270–1297) menikah dengan Puti Reno Mandi. Dari pernikahan ini, kemudian lahir dua orang putri: Dara Jingga dan Dara Petak Menjelang akhir abad ke-13, Wangsa Kartanegara Dari Kerajaan Singhasari, mengirim dua kali ekspedisi, yang kemudian dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu I dan II. Dalam ekspedisi pertama, Kertanagara berhasil menaklukkan Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang memang sudah lemah. Berdasarkan Babad Tanah Jawi versi Mangkunegaran disebutkan bahwa, Kertanagara menaklukkan Jambi pada tahun 1275 M.[butuh rujukan]
Pada tahun 1286 M, Kertanegara mengirimkan sebuah arca Amogapacha ke Kerajaan Dharmasraya. Raja dan rakyat Dharmasraya sangat gembira menerima persembahan dari Kertanegara ini. Sebagai tanda terima kasih Raja Dharmasraya pada Prabu Kartanegara, ia kemudian mengirimkan dua orang putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak untuk dibawa ke Singosari. Dara Jingga kemudian menikah dengan Mahesa Anabrang dan melahirkan Adityawarman. Ketika utusan Kertanegara ini kembali ke tanah Jawa, mereka mendapatkan Kerajaan Singasari telah hancur akibat serangan dari Kubilai Khan dari Dinasti Yuan yang dibantu Raden Wijaya. Raden Wijaya kemudian menyerang balik pasukan Kubilai Khan dan mengklaim seluruh wilayah Kerajaan Singasari, dan mendirikan Kerajaan Majapahit. Dara Petak kemudian dipersembahkan kepada Raden Wijaya untuk diperistri. Dari perkawinan ini, kemudian lahir Raden Kalagemet.[butuh rujukan]
Ketika Kalagemet menjadi Raja Majapahit menggantikan ayahnya, ia memakai gelar Sri Jayanegara. Demikianlah, keturunan Dara Petak menjadi Raja, sementara keturunan Dara Jingga, yaitu Adityawarman, menjadi salah seorang pejabat di istana Majapahit. Hingga suatu ketika, tahun 1340 M, Adityawarman dikirim kembali ke Sumatra, negeri leluhurnya, untuk mengurus daerah taklukan Majapahit, Dharmasraya. Namun, sesampainya di Sumatra, ia bukannya menjaga keutuhan wilayah taklukan Majapahit, malah kemudian berusaha untuk melepaskan diri dan mendirikan Kerajaan Swarnabhumi. Wilayahnya adalah daerah warisan Dharmasraya, meliputi wilayah Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya.[butuh rujukan]
Dengan ini, berarti eksistensi Dharmasraya telah diteruskan oleh kerajaan baru, yakni Suvarnabhumi. Pusat kerajaan diperkirakan berada di wilayah Desa jambi tulo-jambi kecil, maro sebo, muaro jambi, Jambi saat ini. Dalam perkembangannya, pusat kerajaan yang dipimpin Adityawarman ini kemudian berpindah ke Pagaruyung, hingga nama kerajaannya kemudian berubah menjadi Kerajaan Pagaruyung, atau dikenal juga dengan Kerajaan Minangkabau. Akibat perpindahan pusat kerajaan ini, Jambi kemudian menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kerajaan Pagaruyung (Minangkabau). Kejadian ini terjadi sekitar pertengahan abad ke-14.[butuh rujukan]
Ketika Kerajaan Malaka muncul sebagai kekuatan baru di perairan Malaka pada awal abad ke-15, Jambi menjadi bagian wilayah kerajaan ini. Saat itu, Jambi merupakan salah satu bandar dagang yang ramai. Hingga keruntuhan Malaka pada tahun 1511 M di tangan Portugis, Jambi masih menjadi bagian dari Malaka. Tak lama kemudian, muncul Kerajaan Johor-Riau diperairan Malaka sebagai ahli waris Kerajaan Malaka. Lagi-lagi, Jambi menjadi bagian dari kerajaan yang baru berdiri ini. Jambi memainkan peranan yang sangat penting dalam membantu Johor berperang melawan Portugis di Malaka.[butuh rujukan]
Kemudian, memanfaatkan situasi yang sedang tidak stabil di Johor akibat berperang dengan Portugis, Jambi mencoba untuk melepaskan diri. Dalam usaha untuk melepaskan diri ini, sejak tahun 1666 hingga 1673 M, telah terjadi beberapa kali peperangan antara Jambi melawan Johor. Dalam beberapa kali pertempuran tersebut, angkatan perang Jambi selalu mendapat kemenangan. Bahkan, Jambi berhasil menghancurkan ibu kota Johor, Batu Sawar. Jambi terbebas dari kekuasaan Johor. Namun, ini ternyata tidak berlangsung lama. Johor kemudian meminta bantuan orang-orang Bugis untuk mengalahkan Jambi. Akhirnya, atas bantuan orang-orang Bugis, Jambi berhasil dikalahkan Johor.[butuh rujukan]
Sejarah awal Kesultanan Melayu Islam Jambi bisa diprediksi kurang lebih bersamaan dengan penyebaran Islam secara masif di Sumatra, yaitu pada abad kelima belas.[10](hlm.43) Naskah ISKJ, pasal Undang Namanya Hukum Adat bagian kedua pasal 36 menyebutkan bahwa Jambi berkonversi menjadi Islam lebih awal yaitu pada tanggal 1 Muharam 700 H/23 September 1300 M pada zaman Orang Kayo Hitam bin Datuk Paduka Berhala. Sementara itu, buku Jambi dalam Sejarah 1500-1942 menyatakan bahwa Islam mulai berkembang di Jambi pada abad ke-14 M, bersamaan dengan dimulainya masa Kerajaan Jambi oleh Datuk Paduka Berhala. Merujuk pada dua referensi terakhir, penetapan waktu islamisasi Jambi menjadi kurang rasional jika dihadapkan pada perkiraan waktu pemerintahan Orang Kayo Hitam sebagai raja kedua Kesultanan Jambi yang ditulis pada 1500 M dalam referensi-referensi kontemporer. Penetapan waktu ini memberikan jarak hampir 200 tahun antara proses konversi orang Jambi menjadi Islam dengan dimulainya pemerintahan Orang Kayo Hitam. Penggambaran waktu ini juga tidak sesuai jika merujuk pada perkiraan tahun datangnya Datuk Paduka Berhala ke Jambi yang tertulis di makamnya yaitu tahun 1440 M dan meninggal pada tahun 1480 M.[9](hlm.72-73)
Merujuk pada penjelasan dalam naskah tersebut, islamisasi Jambi baru terjadi sekitar abad ke-15-16 melalui jalur Turki. Namun, belum ada bukti arkeologis maupun kajian pendukung lainnya yang mendukung teori ini. Pada abad ke-17, beberapa orang Arab diketahui telah berdiam di Jambi, termasuk dari klan sayyid. Sayyid Husin bin Ahmad Baraghbah tercatat datang ke Jambi tahun 1626 M, dan menurut informasi lisan masyarakat di sekitar makamnya di Seberang, Sayyid Husin merupakan tetua marga Baraghbah di Indonesia. Namun, penyebaran Islam bisa jadi telah berlangsung jauh lebih awal bahkan sejak abad ke-7 M sebagaimana pendapat sebagian sejarawan tentang waktu mulainya penyebaran Islam di Sumatra. Pendapat ini dimungkinkan dari rute pelayaran dagang Arab ke Cina yang harus melewati perairan Nusantara sejak jalur darat yang digunakan sepanjang masa Dinasti Umayyah terputus akibat perang.[11](hlm.2-3)[12](hlm.257-258)[13](hlm.26-27) Berlabuh di pesisir Jambi dan Palembang adalah hal yang sangat mungkin dilakukan oleh pelaut muslim pada masa itu mengingat daerah itu merupakan pelabuhan dagang penting pada masa Sriwijaya.[9](hlm.73-74)
Keberadaan negeri Melayu dan Sriwijaya juga telah muncul dalam catatan bangsa Arab dan Persia sejak pertengahan abad ke-9 dengan menyebut daerah Zabaj, Zabaq, atau Sribuja, meskipun beberapa ahli memperkirakan bahwa daerah yang dimaksud meliputi Sumatra bagian Selatan sampai ke Jawa.[14](hlm.52-121)[15](hlm.13-15) Korespondensi yang dilakukan oleh raja Sriwijaya pada khalifah Muawiyah dan Umar bin Abdul Aziz yang antara lain meminta dikirimnya ulama ke sriwijaya memperkuat argumen ini.[16](hlm.20-31)[17](hlm.4-7) Fakta-fakta tersebut menunjukkan kemungkinan penyebaran Islam di Jambi, bersama Palembang, telah dimulai pada abad ke-7 M, namun proses islamisasi dalam bentuk pembentukan kesatuan politik baru terjadi sekitar abad ke-14-15 M yang ditandai berdirinya cikal bakal Kesultanan Jambi bercorak Melayu-Islam.[9](hlm.74)
Jika merujuk pada keterangan di atas, Kesultanan Jambi dapat dikatakan sebagai kesultanan Islam awal di Sumatra Tegah. Kerajaan Jambi telah menjadi Kerajaan Islam sejak masa pemerintahan Orang Kayo Hitam (1500 M), walaupun kemudian baru menggunakan istilah kesultanan, dan sultan sebagai penguasanya, pada masa pemerintahan Abdul Kahar bin Panembahan Kota Baru (1615-1643 M). Sementara itu, Kesultanan Palembang baru menjadi kesultanan Islam, sekaligus menjadi titik awal memisahkan diri dari Mataram, pada tahun 1659 M dengan sultan pertamanya Ki Mas Hindi bergelar Sultan Abd al-Rahman Khalifah al-Mukminin Sayidul Imam.[18](hlm.1) Namun, kesimpulan yang hanya berdasar pada hikayat semacam ini tentu sangat lemah akurasinya. Masih butuh kajian lebih mendalam tantang hal ini.[9](hlm.74-75)
Sumber-sumber tertulis yang ada memulai cerita lahirnya Kerajaan Jambi dengan merujuk pada tokoh Datuk Paduka Berhala (Ahmad Barus II), seorang pangeran dari Turki anak dari Zain al-'Abidin.[c] Sumber lokal yang mencatat sejarah dan silsilah raja-raja Jambi adalah naskah Hikayat Negeri Jambi dengan versi lainnya Hikaijat Toean Telani, serta naskah UUPJ[d] dan ISKJ[e] yang dirujuk hampir persis dalam buku Jambi dalam Sejarah 1500-1942 dengan menyertakan tahun berkuasa masing-masing raja. Adapun sumber Eropa, terdapat beberapa tulisan dalam laporan-laporan pejabat Belanda maupun laporan-laporan ekspedisi yang menjelaskan silsilah raja-raja Jambi, di antaranya adalah "Stamboom van het Vorstenhuis (Keraton) van Djambi"[f] dan "Djambi Rapport Aug. '02 door Prof. dr. Snouck Hurgronje aan A. F. Folkersma"[g] Selain itu, tulisan Tideman dan Sigar, Barbara Watson Andaya, Elsbeth Locher-Scholten dan terakhir disertasi Annabel Teh Gallop adalah sumber paling penting tentang nama-nama sultan dan masa pemerintahannya.[9](hlm.75-76)
Jadi secara de jure, wilayah Jambi dikuasai oleh Kerajaan Jambi yang cikal bakalnya didirikan oleh Datuk Paduka Berhala pada akhir abad ke-15 M. Kerajaan Jambi mulai bercorak Islam pada awal abad ke-17 M dengan raja pertama yang menggunakan gelar sultan adalah Pangeran Kedah gelar Sultan Abdul Kahar. Para sultan bertakhta di Tanah Pilih, sekitar Masjid al-Falah Kota Jambi sekarang, dan memerintah daerah Jambi dengan derajat keterikatan yang lemah sebagaimana umum ditemukan pada kerajaan-kerajaan di Sumatera dan Asia Tenggara lainnya. Daerah-daerah memiliki otonomi yang cukup besar terutama di daerah uluan[h] yang menjadi pusat produksi barang-barang perdagangan semacam hasil hutan, lada, dan penambangan emas.[9](hlm.6-7)
Hubungan antara penguasa lokal dan kerajaan adalah hubungan redistribusi, di mana penguasa lokal menyuplai barang-barang yang diperoleh dari masyarakat kepada kerajaan dengan imbal balik peran serta dan bantuan dalam masalah-masalah yang dihadapi daerah seperti bencana alam, serangan orang luar, termasuk dalam penyelesaian konflik yang tidak bisa tuntas di daerah. Dengan kata lain, hubungan daerah dengan kesultanan sebagai pusat kekuasaan menggambarkan hubungan mutualisme yang jika semakin jauh wilayahnya maka semakin kendor ikatannya. Selain fakta geografis yang memisahkan wilayah ibu kota dengan pedalaman, kemampuan mengontrol daerah juga dipengaruhi oleh lemahnya struktur politik-pemerintahan kesultanan.[9](hlm.7-8)
Zaman Hindia Belanda
Pada saat Belanda masih menjajah wilayah Nusantara, Jambi masih dalam bentuk kesultanan. Kesultanan Jambi memasuki masa kejayaan ekonomi pada abad ke-17 M. Pada masa ini, Jambi terlibat dalam perdagangan internasional di jalur Selat Malaka dengan negara-negara kawasan, imperium Cina, India, Timur Tengah, hingga Eropa. Kelompok-kelompok Arab mulai menetap di Jambi dan kemudian hari menjadi kelompok paling berpengaruh dalam kesultanan terutama setelah memasuki abad ke-19 M. Kesultanan Jambi juga mulai menjalin hubungan dengan bangsa Eropa melalui perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang masuk ke Jambi pada tahun 1615 M. Meski didasari motif utama kepentingan ekonomi, VOC juga terlibat dalam urusan politik kesultanan sejak masa-masa awal kedatangannya. Struktur politik-pemerintahan tradisional di Kesultanan Jambi yang telah berlangsung berabad-abad perlahan mengalami deviasi dengan kewenangan yang sebagian mulai beralih kepada Belanda melalui kontrak-kontrak yang dibuat sejak awal abad ke-17. VOC meninggalkan Jambi pada akhir abad ke-18 dan sejak itu Jambi tidak lagi memiliki hubungan resmi dengan Belanda.[9](hlm.9)
Awal abad ke-19, Belanda kembali berusaha membangun hubungan dengan Jambi. Pada masa ini, Kesultanan Jambi berada dalam situasi krisis ekonomi dan krisis legitimasi yang memicu pergolakan internal. Sejak kemunduran ekonomi yang dimulai pada akhir abad k-17, perekonomian Kesultanan Jambi tidak pernah bangkit lagi. Krisis legitimasi yang disebabkan oleh persoalan moral memicu perang saudara pada tahun 1811 M pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Muhyiddin. Meskipun sultan berhasil mempertahankan takhta dengan bantuan sepupunya, Raden Rangga, konflik internal kesultanan tetap berlangsung hingga dekade ketiga abad ke-19.[10](hlm.45-50) Dalam kondisi konflik internal yang berkepanjangan, upaya negosiasi dengan Belanda berlangsung pasang-surut. Kesultanan bahkan terlibat konflik terbuka dengan Belanda yang berakhir dengan ditandatanganinya kontrak tahun 1833 M, melalui kontrak yang dibuat di Sungai Baung, sehingga disebut Piagam Sungai Baung, Kesultanan Jambi mengakui kedaulatan Belanda di Jambi. Sejak itu, Belanda kembali mengontrol perdagangan Jambi.[9](hlm.9-10) Kontrak ditandatangani pada tanggal 14 November itu berisi dengan inti perjanjian sebagai berikut.[9](hlm.265)
Sultan Jambi menyerahkan diri dan negerinya kepada kebijakan dan pemerintahan Belanda.
Belanda akan memberikan kehidupan yang pantas kepada sultan.
Belanda berkedudukan di benteng Kumpeh dan nanti akan membangun benteng lain jika dibutuhkan.
Belanda tidak ikut campur dalam urusan pemerintahan, tidak akan mengubah adat yang berlaku, serta tidak mengatur urusan pajak.
Belanda mengendalikan bea-cukai perdagangan ke luar Jambi.
Belanda dan kesultanan akan tolong-menolong dalam menghadapi musuh seperti dalam konflik di Padang dan lainnya.
Pengembalian orang-orang pelarian ke asalnya.
Setahun kemudian, kontrak permanen ditandatangani yaitu tahun 1834 M. Setelah itu, hubungan Jambi-Belanda berjalan stabil di atas kertas, walaupun pada praktiknya isi kontrak tidak terlaksana secara optimal. Hubungan Jambi dengan Keresidenan Palembang yang membawahi Jambi sangat lemah, bahkan Residen Palembang tidak pernah lagi mengunjungi Jambi sejak tahun 1836 M. Hanya ada seorang perwira administratif yang berdiam di Muara Kumpeh, sampai kedatangan utusan Belanda di Kesultanan Jambi pada tahun 1852 M. Situasi internal Jambi tidak banyak berubah sampai masa pemerintahan Sultan Abdurrahman Nasruddin (r. 1841-1855 M).[9](hlm.266)
Perubahan situasi politik terjadi ketika Sultan Thaha Saifuddin[i] naik takhta menggantikan pamannya pada tahun 1855 M.[9](hlm.9-10) Karena sultan menolak mengakui kedaulatan Belanda atas Jambi sebagaimana yang diyakini Belanda berdasarkan perjanjian sebelumnya.[9](hlm.266)
Upaya Jambi mengidentifikasi diri dengan kesultanan Turki 'Uthmany semakin nyata pada masa pemerintahan Sultan Thaha. Tidak hanya menjadi sultan yang anti kolonial, Sultan Thaha juga berusaha membangun jaringan dengan Turki 'Uthmany dalam sebuah relasi pan-islamisme. Ketika menghadapi situasi sulit atas tekanan Belanda untuk menandatangani kontrak baru setelah dibatalkannya kontrak tahun 1833 M, Thaha berusaha mendapatkan dukungan dari Turki 'Uthmany dengan mengirim surat pada ke sultan. Surat ini dikirim Sultan Thaha pada tahun 1857 M. Pertengahan tahun 1857 M pangeran ratu mengirimkan surat Sultan Thaha ke Turki melalui Singapura.[19](hlm.33) Masa-masa upaya perundingan yang dilakukan Belanda, Thaha mengirim surat melalui koneksi-koneksinya di Singapura, di mana salah seorang yang bernama Sharif 'Aly menerima biaya perjalanan sejumlah 30.000 dolar Spanyol. Namun, Sharif 'Aly hanya berangkat sampai ke Mesir, di mana di sana dia mendapat surat palsu yang menyatakan bahwa Turki 'Uthmany telah mengesahkan pengusiran Belanda dari Asia Tenggara. Meski demikian, surat sultan tetap sampai ke Turki. Pemerintah Turki 'Uthmany berjanji tidak memberikan balasan setelah mengonfirmasi kepada konsulat Belanda terkait status Jambi, dan Belanda menjawab bahwa Jambi adalah wilayahnya. Setelah itu, kemungkinan ada utusan lagi pada tahun 1861 yaitu orang Arab-Singapura yang berangkat ke Mekah.[20][9](hlm.101-102)
Tahun 1857 M pangeran ratu berangkat ke Singapura untuk membicarakan pengiriman surat ke Turki. Surat Sultan Thaha kemudian dititipkan pangeran ratu kepada pembesar Singapura dengan biaya 30.000 dolar Spanyol. Dalam catatan kaki uraiannya, orang yang dipercayakan menjalankan misi ini bernama Sharif 'Aly alias Sayyid 'Aly al-Jufry. Menurut satu kabar dia berangkat ke Turki pada bulan Juni 1858 M setelah upaya perundingan kedua Jambi-Belanda, dan menurut kabar lain dia berangkat ke Turki setelah sultan boneka, Ahmad Nazaruddin[j], naik takhta. Tidak ada data kesimpulan tentang waktu keberangkatan ini, selain dari data yang dipercayai bahwa Sharif 'Aly tinggal di Singapura sejak November 1860 M.[10](hlm.139-140)[9](hlm.102)
Sultan Thaha menghubungi konsulat Turki yang baru tiba di Singapura pada tahun 1901 M, dan membuat konsulat tersebut berjanji akan mengirim dua kapal perang kepada Thaha pada tahun 1902 M. Tapi utusan yang dikirim ke Singapura tidak bisa berbuat banyak bahkan tidak bisa pulang. Masih pada tahun yang sama, Thaha mengirim utusan ke Turki, dan berhasil menemui Wazir Agung. Dalam perjalanan pulang tahun 1903, utusan ini kemudian menunaikan haji, di mana mereka bertemu dengan seorang Jambi yang diketahui menyelewengkan dana bantuan yang diperolehnya untuk mendukung perjuangan Jambi. Terakhir, sultan Thaha mengirim surat ke Turki pada 1903 M, di mana surat itu kembali diberitahukan pemerintah Turki 'Uthmany kepada konsul Belanda di Istanbul.[10](hlm.274-275)[9](hlm.102-103)
Sejak berada di bawah pemerintahan Sultan Thaha, Kesultanan Jambi memasuki periode penting perseteruan panjang dengan pemerintah kolonial Belanda. Setelah perjanjian damai tahun 1833 M dibatalkan oleh sultan, ketegangan antara kedua pihak terus meningkat. Puncaknya, Belanda menganeksasi Kesultanan Jambi pada tahun 1858 M lalu mengangkat sultan bayang[k] sebagai pengganti Sultan Thaha. Sementara itu, Sultan Thaha menyingkir ke ulu[l] dan membentuk pusat pemerintahan di daerah Muara Tebo dan menguasai daerah uluan. Meski pusat kesultanan di Tanah Pilih berhasil dikuasai, Belanda tetap memperhitungkan kekuatan Sultan Thaha yang memiliki legitimasi kuat di uluan bahkan memengaruhi tokoh-tokoh di lingkungan istana. Kedua pihak terlibat konflik dingin berkepanjangan sampai kemudian Belanda memulai ekspedisi militer pada awal abad ke-20. Sejumlah perlawanan sporadis terjadi di beberapa daerah uluan hingga pecah perang terbuka yang menyebabkan Sultan Thaha terbunuh pada tahun 1904 M. Setelah berhasil mematahkan perlawanan Sultan Thaha, Belanda secara resmi membubarkan kesultanan pada tahun yang sama lalu membentuk Keresidenan Jambi pada tahun 1906 M.[9](hlm.10-11)
Perubahan besar terjadi dalam sistem pemerintahan setelah Belanda berhasil menguasai Jambi dan membubarkan kesultanan. Kolonialisme Belanda di Jambi abad ke-19 secara resmi dimulai melalui kontrak tahun 1833 M. Meski demikian, Belanda hanya menikmati otoritas dan pengaruh yang terbatas, bahkan cenderung tidak menguntungkan secara ekonomi.[9](hlm.329)
Belanda baru benar-benar memberikan perubahan signifikan atas negeri Jambi setelah penaklukan tahun 1904 M. Setelah pemberlakuan pemerintahan keresidenan pada tahun 1906 M, Belanda melakukan serangkaian penataan model pemerintahan dan sistem hukum yang ada di kesultanan maupun di daerah. Perubahan paling menonjol adalah terjadinya peminggiran elite-elite tradisional serta pemberlakuan sistem administrasi dalam hukum adat. Sementara itu, persoalan-persoalan ekonomi dan keadilan juga muncul sebagai masalah yang terus mengganggu. Keadaan-keadaan ini menimbulkan polemik berkepanjangan yang sempat memicu beberapa gerakan pemberontakan, terutama peristiwa tahun 1916 M yang didalangi oleh Sarekat Abang berkedok Sarekat Islam. Setelah peristiwa ini, tidak pernah lagi ada perlawanan yang signifikan dilancarkan oleh rakyat Jambi kepada Belanda.[9](hlm.329)
Pembubaran kesultanan dengan sendirinya berdampak terhadap koeksistensi Islam dan adat dalam sistem pemerintahan serta hukum di Jambi. Pembubaran kesultanan berarti bahwa Jambi bukan lagi sebuah negeri yang, setidaknya sejak pertengahan abad ke-19, secara ideologi politik merupakan negeri yang menganut ideologi Islam. Undang-undang Jambi tahun 1866 M dihapuskan dan diganti dengan Undang-undang Residensi Jambi (UURJ) buatan Belanda. Upaya-upaya menjadikan Jambi sebagai bagian dari Kesultanan Utsmaniyah juga terhenti sebab negeri Jambi tidak lagi memiliki seorang sultan berdaulat. Meskipun Kesultanan Utsmaniyah masih tetap populer dan menjadi harapan sejumlah kelompok sampai dasawarsa kedua abad ke-20, pada kenyataannya tak ada sosok berwenang untuk mewakili kepentingan politik mereka. Sistem musyawarah dalam suksesi kepemimpinan terbatas juga dihapuskan. Perubahan juga terjadi pada institusi keagamaan, yaitu qadi dan jajarannya. Jika sebelumnya institusi ini bersifat independen dalam urusan keagamaan dan pemutusan perkara hukum yang terkait dengan hukum Islam, UURJ menjadikan institusi keagamaan sebagai bagian dari sistem peradilan umum dengan penerapan birokratisasi ketat. Meskipun seorang hakim Islam harus masuk dalam proses peradilan dalam semua jenjang, dan putusan peradilan harus mengacu pada hukum agama dan hukum adat selagi tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan secara umum, hakim Islam tidak lagi memiliki independensi untuk memutus perkara. Pengakuan terhadap hukum adat-islami juga mengalami distorsi di mana sejumlah aturan yang dianggap bertentangan dengan tradisi Eropa dilarang, seperti hukuman mati dan praktik "pembuktian ilahi", seperti menyelam, memegang besi panas dan sejenisnya, yang banyak dipraktikkan dan diakui dalam UUJ sebelumnya.[9](hlm.329-330)
Perkembangan sosial budaya di daerah Jambi sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak memuaskan. Pendidikan formal memang di selenggarakan oleh kekuasaan pemerintah Belanda, misalnya diselenggarakan pembukaan sekolah-sekolah, namun jumlahnya sangat terbatas. Sampai saat Proklamasi di kota Jambi hanya ada satu Hollandsch Inlandsche School. Sudah tentu di samping pendidikan formal yang diadakan oleh Belanda, maka oleh masyarakat diselenggarakan pula pendidikan ilmu pengetahuan agama di surau-surau dan madrasah-madrasah.[21](hlm.3)
Zaman Penjajahan Jepang
Pendudukan Jepang atas daerah Jambi dimulai dengan masuknya tentara Angkatan Darat Jepang yang dipimpin oleh Kolonel Namora melalui daerah Palembang dan Padang. Setelah Palembang jatuh ke tangan tentara Jepang pada tanggal 14 Februari 1942, maka dari Palembang tentara Jepang menyerbu masuk Lubuk Linggau, yang jatuh ke tangan Jepang pada tanggal 21 Februari 1942. Selanjutnya setelah Jepang menduduki Muara Rupit tanggal 23 Februari 1942, yang diikuti Sarolangun Rawas pada tanggal 24 Pebruari 1942, tentara Jepang menyerbu masuk daerah Jambi.[22][21](hlm.17)
Dari daerah Palembang, serbuan tentara Jepang diarahkan ke daerah Sarolangun Jambi, dan dapat diduduki Jepang tanggal 25 Februari 1942. Sehari kemudian Bangko dan Rantau Panjang diduduki pula. Kemudian setelah melakukan pertempuran sehari- semalam, pada tanggal 28 Februari 1942, Muara Bungo dapat diduduki tentara Jepang. Sedangkan Muara Tebo, baru diduduki tentara Jepang tanggal 2 Maret 1942. Di Muara Tebo tentara Jepang dibagi atas dua bagian, satu bagian bertugas untuk menyerang pertahanan tentara Belanda di Pulau Musang, dan satu bagian lagi bertugas untuk menyerang kota Jambi. Dalam pertempuran di Pulau Musang, Kolonel Namora tewas, sedangkan tentara Jepang yang bertugas menyerang Jambi di bawah pimpinan Kapten Orita dapat menduduki kota Jambi tanggal 4 Maret 1942.[22][21](hlm.17)
Adapun daerah Kerinci, dimasuki dan diduduki oleh tentara Jepang yang datang dari Padang. Padang diduduki Jepang pada tanggal 17 Maret 1942.[m][21](hlm.17-18)
Setelah seluruh daerah Jambi dapat diduduki dan dikuasai oleh Jepang dalam waktu yang sangat singkat, maka pada tanggal 10 Maret 1942 disusunlah pemerintahan oleh bala tentara Jepang.[21](hlm.18)
Pada dasarnya susunan pemerintahan Belanda di daerah Jambi, oleh Jepang masih tetap dipertahankan. Perubahan yang dilakukan Jepang ialah mengganti nama dan istilah pemerintahan Belanda dengan istilah atau nama Jepang. Keresidenan ditukar dengan Syu, sedangkan residen disebut Syucokan. Afdeling yang dikepalai oleh Kontrolir[n]) disebut Bunsyu dan dikepalai oleh Bunsyuco. Onderafdeling/Distrik yang dikepalai oleh Demang ditukar dengan nama Gun yang dikepalai oleh Gunco. Kemudian daerah Onderdistrik yang dikepalai oleh Asisten Demang disebut Fuku Gunco.[21](hlm.18)
Secara struktural pemerintahan daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang dapatlah digambarkan sebagai berikut:[21](hlm.18-19)
Syucokan Jambi dalam menjalankan pemerintahan di daerah Jambi dibantu oleh:[21](hlm.18)
Somobuco, Kepala Pemerintahan Umum.
Keizabuco, Kepala Perekonomian.
Keimuboco, Kepala Kepolisian.
Dalam pada itu, pimpinan Angkatan Perang Jepang setelah menguasai seluruh Sumatera dipusatkan di Bukit Tinggi, dan oleh karena Panglima Angkatan Perang Jepang di Sumatera merangkap pula sebagai Kepala Pemerintahan Sipil untuk seluruh Sumatra, maka ibukota Sumatra dipindahkan dari Medan ke Bukit Tinggi. Dengan demikian Syucokan Jambi tunduk kepada Gunzeikan yang berkedudukan di Bukit Tinggi.[23](hlm.198-199)[21](hlm.18)
Adapun dalam hal pembagian wilayah Jambi-syu, Jepang tetap berpedoman kepada susunan wilayah zaman pemerintahan Belanda di Jambi. Oleh karena itu daerah Kerinci masih tetap masuk ke dalam Sumatra Barat. Sejalan dengan itu, maka Jambi-syu terdiri atas tujuh Bunsyu yaitu:[o][21](hlm.18, 20)
Bunsyu Jambi (Jambi)
Bunsyu Tembisi (Muara Tembisi)
Bunsyu Tungkal (Kuala Tungkal)
Bunsyu Tebo (Muara Tebo)
Bunsyu Bungo (Muara Bungo)
Bunsyu Bangko (Bangko)
Bunsyu Sarolangun (Sarolangun)
Pada waktu Jepang menduduki daerah Jambi, maka garis politik ekonomi yang dijalankan oleh Pemerintah Jepang adalah sistem autarki, yakni suatu sistem di mana segala daya, tenaga serta usaha di bidang perekonomian dipusatkan untuk kepentingan perang.[21](hlm.23-24)
Berdasarkan sistem autarki ini, daerah Jambi-Syu harus menjadi sumber kepentingan perang. Dalam rangka itu, pemerintahan Jepang di Jambi. Syu mengambil alih semua kegiatan dan pengawasan ekonomi, dan untuk itu dikeluarkan peraturan-peraturan yang bersifat kontrol untuk mencegah timbulnya manipulasi serta meningkatkannya harga-harga barang.[p][21](hlm.24)
Dalam masa ini, semua harta milik orang-orang Belanda yang ada di daerah Jambi disita oleh Jepang, antara lain perkebunan-perkebunan teh dan kopi, bank, pabrik, serta perusahaan seperti pertambangan minyak, listrik, telekomunikasi, dan lain-lain.[q][21](hlm.24)
Sesuai dengan kepentingan perang Jepang, maka pemerintahan Jepang di daerah Jambi-Syu mengumumkan pula barang-barang yang dianggapnya penting, yakni barang-barang yang langsung kegunaannya bagi usaha perang, dan barang-barang yang tidak langsung kegunaannya bagi usaha perang Jepang dan mencakup barang-barang untuk kehidupan dan kebutuhan rakyat.[r][21](hlm.24)
Adapun barang-barang yang dianggap penting oleh Jepang antara lain seperti mobil, sepeda motor, agregat, dan berjenis-jenis barang yang terbuat dari baja, besi, dan aluminium. Untuk barang-barang yang dianggap penting ini Syucokan Jambi mewajibkan rakyat untuk melaporkannya, dan pada hakekatnya syucokan melarang memindahkan barang ke luar daerah Jambi-Syu. Barang-barang hasil perkebunan seperti teh, kopi, dan tembakau yang banyak terdapat di Kerinci dianggap sebagai barang kenikmatan, dan kurang berguna bagi usaha perang, sedangkan karet dianggap sebagai bahan penting. Oleh sebab itu kerusakan perkebunan karet di daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang relatif kecil jika dibandingkan dengan kerusakan perkebunan kopi, teh, dan tembakau. Hal ini disebabkan karena rakyat petani teh dan kopi tersebut diwajibkan menanam tanaman lainnya untuk melipatgandakan bahan pangan, di samping kewajiban untuk menanam dan memelihara tanaman jarak yang diperlukan Jepang untuk bahan pelumas.[s][21](hlm.24)
Sejalan dengan politik autarki, pemerintah Jepang di daerah Jambi-Syu mengambil alih bank milik non-pribumi, dan menggantikannya dengan bank Jepang. Pajak yang tinggi dikenakan pada golongan non-pribumi karena dianggap golongan musuh Jepang di dalam perang yang sedang berlangsung. Di bidang perdagangan pemerintah Jepang menggunakan sistem monopoli, harga barang yang dijual ditentukan, dan rakyat memperoleh barang yang dibutuhkan melalui penyalur-penyalur yang telah ditentukan oleh Jepang.[t][21](hlm.25)
Adanya peraturan dan pembatasan serta penguasaan sepenuhnya oleh Pemerintah merupakan ciri sistem ekonomi yang dilaksanakan oleh Jepang di daerah Jambi ketika itu.[21](hlm.25)
Dengan adanya sistem autarki, rakyat daerah Jambi pada masa pendudukan Jepang dipaksa untuk menanam biji-biji jarak di pinggir jalan dan di halaman rumah, pohon-pohon kopi dan teh ditebang dan rakyat diperintahkan untuk menanam pangan seperti padi, ubi, dan jagung. Di samping itu rakyat dikerahkan pula untuk melakukan romusya dan Kinrohosyi seperti membuat lubang-lubang yang diperlukan dalam perang yang dilakukan Jepang ketika itu. Sebagian rakyat lagi dipaksakan pula untuk memasuki heiho, demi pertahanan lokal dalam rangka kepentingan perang Jepang.[u][21](hlm.27)
Akibat banyaknya peraturan pembatasan dan pengawasan serta penindasan pemerintah bala tentara Jepang, rakyat di daerah Jambi sangat menderita. Perekonomian rakyat menjadi hancur, rakyat hidup dengan kemiskinan, dan kelaparan terjadi di mana- mana. Akibat adanya kelaparan tidak sedikit rakyat yang meninggal dunia pada masa ini. Kehidupan yang menyedihkan dialami oleh rakyat daerah Jambi pada masa ini, merupakan pula suatu kehidupan pahit yang belum pernah dialami pada masa-masa sebelumnya.[21](hlm.27)
Di daerah Kerinci, dan daerah-daerah lain rakyat pada masa ini berpakaian tarak, yaitu pakaian yang terbuat dari bahan kulit kayu, dan banyak dijual di pasaran. Adapun kain goni sudah dianggap baik sebagai pakaian ketika ini, sedangkan kain blacu harganya sangat tinggi dan sangat sukar diperoleh, apa lagi bahan tekstil yang lebih halus dari blacu tidak dijumpai lagi untuk dapat dibeli oleh rakyat.[21](hlm.27)
Perhubungan darat sebagai sarana komunikasi waktu itu, menghubungkan pula daerah Jambi dengan daerah Palembang dan Sumatra Barat yakni dengan adanya jalan-jalan yang menghubungkan daerah-daerah Bungo, Tebo, Sarolangun, dan Rawas. Sedangkan jalan ke tiap daerah Son (kecamatan) ketika ini sudah dapat dilalui mobil.[v][21](hlm.28)
Adapun jenis pengangkutan daerah tradisional yang penting ketika ini antara lain ialah lusoh (sejenis pedati yang ditarik ker- bau), gerobak, dan pedati. Pengangkutan darat dengan alat-alat tersebut makin besar artinya pada masa ini, karena mobil jumlah- nya sedikit dan itu pun merupakan barang penting untuk keperluan perang Jepang, sehingga pengawasan dan penguasaan atas mobil-mobil benar-benar diatur oleh Jepang.[w][21](hlm.28)
Pengangkutan udara hampir tidak mempunyai arti dalam bidang perekonomian rakyat di daerah Jambi, walaupun ada lapangan udara Paal Merah di Jambi, namun penggunaannya lebih diutamakan untuk kepentingan tentara Jepang. Pengangkutan laut demikian pula, pada masa ini kapal-kapal dagang tidak banyak yang masuk ke daerah Jambi.[x][21](hlm.28)
Dalam struktur pemerintahan Jambi-Syu, untuk urusan dan kegiatan perekonomian dibentuk Keizabu dan kepalanya disebut Keizabuco. Keizabuco adalah pembantu syucokan untuk urusan perekonomian di dalam daerah Jambi-Syu.[21](hlm.28)
Di samping Keizabu, kegiatan perekonomian dilakukan pula oleh badan-badan perusahaan Jepang di antaranya ialah:[21](hlm.28-29)
Mitsubishi Kaisya (MSK) yang bergerak dalam bidang pengumpulan hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan hasil-hasil hutan.
Tozan Noji, yang bergerak di lapangan pertanian dan pertenunan.
Namora, perusahaan yang bergerak di lapangan pertambangan dan industri.
Kawasaki Zidhozu, yang bergerak di bidang pengangkutan.[24](hlm.5)
Badan-badan atau lembaga perekonomian lainnya tidak dibentuk oleh Jepang di daerah Jambi.[21](hlm.29)
Pada masa pendudukan Jepang di daerah Jambi terjadi perubahan yang penting artinya bagi perkembangan pendidikan dan pengajaran dengan dihapuskannya perbedaan pengajaran bagi golongan Belanda dan golongan Pribumi. Oleh Pemerintah Jepang diselenggarakan pendidikan dan pengajaran dengan sistem dan jenis sebagai berikut:[21](hlm.29)
Di Sungai Penuh, Sekolah Dasar disebut Kokumin Gakko, dan dikenal juga dengan sebutan SESNI atau Sekolah Sambungan Nippon-Indonesia, dipimpin oleh Panggabean, Arsyad, dan kemudian Yakub.[25](hlm.5)[21](hlm.29)
Di sekolah-sekolah pelajaran bahasa Jepang merupakan mata pelajaran wajib, sedangkan bahasa Belanda dilarang. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar mulai dilaksanakan di sekolah.[21](hlm.29) Hal itu karena bahasa Belanda dilarang oleh pemerintah Jepang, dan sebagai gantinya bahasa Jepang mulai diterapkan dalam dunia pendidikan dan pergaulan sehari-hari. Selanjutnya bahasa Indonesia mulai menonjol, karena dipergunakan secara resmi. Hal ini menggembirakan rakyat di daerah Jambi, sebab bahasa Indonesia sangat mudah dipahami, karena bahasa daerah Jambi mempunyai dasar yang sama dan tidak banyak perbedaannya dengan bahasa Indonesia. Kalaupun ada perbedaannya, maka perbedaan itu hanyalah perbedaan bunyi yang manifestasinya tampak dalam dialek yang ada di dalam bahasa daerah Jambi.[21](hlm.30-31)
Pada umumnya di sekolah yang diadakan Jepang ketika ini, pengajaran pengetahuan umum kurang diutamakan. Sekolah pada masa itu terutama ditujukan untuk mempelajari bahasa Jepang, taiso, olahraga, serta mementingkan pendidikan semangat. Murid-murid seringkali diharuskan melakukan kerjabakti seperti membersihkan bengkel, asrama dan mengumpulkan bahan untuk membuat pertahanan, dan sebagainya. Sebagian waktu belajar, juga dipakai untuk menanami halaman sekolah dan pinggir-pinggir jalan dengan pohon jarak, yang dapat menghasilkan bahan penting bagi kelangsungan perang.[z][21](hlm.29-30)
Latihan jasmani yang berupa latihan kemiliteran mengisi sebagian besar kegiatan murid-murid setiap hari. Untuk menanamkan semangat Jepang, maka tiap hari murid-murid harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang dan menyanyikan lagu kebangsaan Jepang Kimigayo.[aa][21](hlm.30)
Dengan demikian, keadaan sekolah serta jalan pengajaran dan pendidikan pada masa pendudukan Jepang di daerah Jambi, hanya dititik-beratkan kepada memperluas bahasa Jepang serta memperdalam pendidikan semangat busyido cara Jepang.[ab][21](hlm.30)
Kebudayaan masyarakat daerah Jambi pada masa itu bertolak dari kebudayaan masa lalu, yang dalam segi tertentu terdapat penonjolan-penonjolan di samping ada pula yang diabaikan atau tidak memperoleh kesempatan untuk ditonjolkan sebagai akibat dari suasana politik yang dilakukan Jepang.[21](hlm.30)
Seni ukir dan seni pahat, yang pada masa pemerintahan Belanda tidak dikembangkan, semakin diabaikan masyarakat pada masa pendudukan Jepang. Sedangkan seni musik, terutama musik Barat dilarang oleh Jepang, musik Jepang sebagai gantinya mulai diperkenalkan dengan mewajibkan rakyat menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Jepang. Adapun seni pencak silat pada saat ini mulai ditonjolkan karena sejalan dengan semangat perang Jepang.[21](hlm.30)
Berdasarkan perkiraan pada masa pendudukan Jepang sembilan puluh tujuh persen dari pendudukan daerah Jambi adalah penganut Islam. Adapun penduduk non-Islam di daerah Jambi terdiri dari suku anak dalam, suku Bajau, dan penduduk pendatang dari Jawa, Tapanuli, Flores, dan Cina.[ac][21](hlm.31)
Penduduk Jambi merupakan penganut agama Islam yang taat, walaupun begitu sisa-sisa dari kepercayaannya terhadap alam gaib dan makhluk-makhluk supernatural masih terdapat di kalangan penduduk tersebut, sebagaimana tampak dalam upacara di tempat-tempat keramat, sesajen dan mantra-mantra.[21](hlm.31)
Secara keseluruhan perkembangan agama Islam pada masa ini, tidak dihalang-halangi oleh pemerintah Jepang. Madrasah-madrasah boleh berjalan seperti biasa, namun karena sulitnya penghidupan rakyat, anak-anak tidak banyak yang masuk belajar di madrasah. Kedudukan HoofdPenghulu sebagai tokoh agama tidak diganggu-gugat oleh Jepang, dan tetap menjalankan tugasnya sebagaimana biasa. Demikian pula kedudukan guru agama pada masa-masa ini tidak diganggu Jepang, bahkan Jepang berusaha untuk mempengaruhi guru-guru, ulama, serta tokoh-tokoh agama untuk turut mempropagandakan perang suci Asia Timur Raya, supaya dimenangkan oleh Jepang.[ad]
Dalam rangka inilah pimpinan Badan Penerangan Jepang untuk Asia Timur Raya mengumpulkan guru-guru agama dan melakukan pertemuan besar di Singapura.[ae][21](hlm.31)
Tokoh-tokoh agama pada masa pendudukan Jepang antara lain ialah:[21](hlm.31-32)
Salah satu dari tokoh agama daerah Jambi tersebut yakni KH. Nawawi berhasil menjadi penasihat pemerintah Jepang di bidang agama untuk daerah Jambi. Dengan usahanya sebagai penasihat bidang agama, anak-anak gadis di daerah Jambi terlepas dari paksaan Jepang untuk mengikuti sekolah-sekolah Jepang.[ag][21](hlm.31)
Selama pendudukan Jepang di daerah Jambi, segala bentuk komunikasi massa diatur dan diawasi oleh pemerintah Jepang. Satu-satunya surat kabar daerah Jambi yang diselenggarakan oleh pemerintah Jepang yakni Jambi Shimbun. Sebagian besar berita dari Jambi Shimbun adalah berita-berita tentang perjalanan perang Asia Timur Raya dan menyiarkan aturan-aturan negeri.[ah][21](hlm.32)
JambiShimbun ini dipimpin oleh Tenma, Suky, Matsoda, dan lain-lain. Selain Jambi Shimbun surat kabar lain yang beredar di daerah ini ialah Sumatra Shimbun Kai, yang diterbitkan oleh persekutuan surat kabar ke Sumatra. Sumatra Shimbun Kai ini, di bawah pengawasan Gunseikanbu bagian Hodobu (Penerangan Tentara). Selain penerbitan-penerbitan resmi dari pemerintah Jepang, maka surat kabar dan penerbitan lainnya tidak diperbolehkan oleh Jepang.[ai][21](hlm.32)
Zaman Kemerdekaan Indonesia
Kekalahan Jepang tidak segera diketahui umum berkat sensor yang ketat, namun para pemuda mengetahuinya. Menurut Proklamasi 17 Agustus 1945 tersebut, daerah Jambi termasuk dalam wilayah Republik Indonesia. Adapun berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diterima di daerah Jambi pada tanggal 18 Agustus 1945. Karena pada tanggal 18 Agustus 1945, dr. A.K. Gani dari Palembang melalui telepon menyampaikan berita Proklamasi dan bahwa Indonesia telah merdeka. Berita Proklamasi Kemerdekaan melalui telepon ini diterima oleh R. Sudarsono, pimpinan buruh di Pertambangan Minyak Jambi.[aj][26](hlm.258)[21](hlm.45)
Kemudian berita Proklamasi Kemerdekaan ini disebarluaskan ke seluruh pelosok daerah Jambi, dan hanya dalam be- berapa hari setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 dilakukan, maka rakyat di daerah Sarolangun, Bangko, Bungo, Tebo, Batanghari, Tungkal dan Kerinci sudah mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka.[ak][21](hlm.45-46)
Tersiarnya berita kemerdekaan Indonesia disambut dengan tempik sorak dan kegembiraan oleh rakyat di daerah Jambi yang selama masa penjajahan diliputi oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan, kehidupan yang melarat dan penindasan. Selanjutnya dengan adanya penerangan-penerangan dari pemuka- pemuka rakyat mengenai kewajiban untuk memelihara dan mempertahankan kemerdekaan itu, maka secara spontan alim-ulama, golongan adat, pemuda, cerdik pandai, bersatu dalam satu barisan rakyat yang siap terjun ke dalam perjuangan kemerdekaan.[25](hlm.3)[21](hlm.46)
Setelah berita Proklamasi Kemedekaan Indonesia didengar oleh rakyat di daerah Jambi, maka Sang Merah Putih mulai dikibarkan walaupun mendapat sanggahan keras dari pihak Pemerintah Jepang.[21](hlm.46)
Pada tanggal 22 Agustus 1945, walaupun ada larangan dan penjagaan tentara Jepang, para pemuda antara lain R. Husin Akip dan Amin Aini berhasil mengibarkan Sang Merah Putih di puncak menara air Jambi.[al][21](hlm.46)
Tiga hari kemudian, di muka Kantor Polisi Jambi, dilakukan pengibaran Sang Merah Putih dengan upacara yang sangat sederhana. Pengibaran Sang Merah Putih ini dilaksanakan oleh 4 orang wanita yaitu Zuraida, Nurmaina, Serik dan Nursiah.[am][21](hlm.46)
Selanjutnya, yakni pada waktu sesudah diterima telegram dari Medan bahwa dr. Sagaf Yahya diangkat menjadi Residen Daerah Jambi, maka Sang Merah Putih dikibarkan di mana-mana pada kantor-kantor pemerintah dalam daerah Keresidenan Jambi.[26](hlm.256)[21](hlm.46)
Sebelum dan sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, daerah Jambi secara struktural merupakan daerah keresidenan, bagian dari Provinsi Sumatra. Kemudian tatkala Sumatra terbagi atas tiga provinsi yaitu Provinsi Sumatra Utara, Provinsi Sumatra Tengah dan Provinsi Sumatra Selatan, maka Keresidenan Jambi yang terdiri atas Kabupaten Merangin, Kabupaten Batanghari, dan Kotapraja Jambi masuk ke dalam propinsi Sumatra Tengah. Akan tetapi dengan adanya Undang-undang No. 61 Tahun 1958, maka Propinsi Sumatra Tengah menjelma menjadi tiga propinsi yakni: Provinsi Sumatra Barat, Provinsi Riau dan Provinsi Jambi.[an] Tepatnya sejak tanggal 6 Januari 1957, daerah Jambi menjadi Daerah Tingkat I yang terdiri atas satu Kotamadya dan lima Kabupaten yaitu:[21](hlm.1)
Luas daerah Propinsi Jambi tersebut di atas diperkirakan 53.244 kilometer persegi[27], dengan jumlah penduduk 1.245.941 jiwa, terletak antara 0°45'-2°45' Lintang Selatan dan 101°10′-104°55′ Bujur Timur[27], dengan batas-batas sebagai berikut:[21](hlm.1-2)
Pada tanggal 28 Desember 1945 datang tiga buah kapal perang Inggris ke daerah Jambi. Pada jam 14.00 siang ketiga kapal perang itu yakni no. 237 V, 239 V dan 258 V merapat di pelabuhan Jambi. Komandan TKR Jambi Letnan I M Taher, melaporkan kepada Komandan Markas Besar TKR Jambi, Kolonel Abunjani, bahwa kapal perang Inggris itu mengangkut tentara Inggris juga mengangkut tentara Belanda.[ap][28](hlm.416-417)[21](hlm.67)
Kedatangan tentara Sekutu ini, sebagaimana di utarakan oleh komandannya kepada Residen Jambi R. Ibu Kertapati dimaksudkan untuk memeriksa tentara Jepang dan meninjau jenazah-jenazah tentara Belanda yang dikuburkan di Muara Tebo. Residen Jambi R. Ibu Kertapati dan Komandan TKR, Kolonel Abunjani tidak memperbolehkan tentara Sekutu yang terdiri dari pasukan-pasukan Inggris dan Belanda ini mendarat di kota Jambi. Bahkan Kolonel Abunjani memerintahkan agar kapal perang tersebut untuk segera meninggalkan Jambi dalam waktu 24 jam. Untuk menghindari insiden-insiden yang mungkin terjadi dengan tentara Sekutu ini, oleh Residen Jambi dengan dibantu Komandan TKR Jambi Letnan I' M. Taher, Demang Taha dan Ismail Lazim diadakanlah perundingan segitiga antara pimpinan daerah Jambi, Kenpeitai dari pihak tentara Jepang dan Komandan tentara Sekutu. Di dalam perundingan, setelah komandan tentara Sekutu menerima penjelasan-penjelasan mengenai situasi pada ketika itu baik dari pimpinan daerah maupun dari pihak Jepang, akhirnya komandan tentara Sekutu dapat menerima dan menyetujui untuk meninggalkan daerah Jambi. Pada tanggal 29 Desember 1945 jam 14.00 kapal-kapal perang Sekutu tersebut berangkat meninggalkan Jambi.[28](hlm.416-417)[21](hlm.67-68)
Adapun tentara Jepang meninggalkan daerah Jambi pada tanggal 2 Juli 1946. Oleh karena itu, adalah aneh bahwa setelah Jambi ditinggalkan oleh tentara Jepang, Sekutu mengirimkan kembali sebatalyon kecil pasukannya yang terdiri lebih kurang 400 orang tentara ke Jambi. Terhadap pasukan Sekutu ini dapat dipelihara hubungan baik, sehingga tidak terjadi insiden dengan masyarakat maupun dengan TKR, sampai akhirnya mereka kembali ke induk pasukannya.[29](hlm.258)[21](hlm.68)
Dari uraian terdahulu, tampak dengan jelas bahwa kedatangan tentara Sekutu dan tentara Nica ke daerah Jambi, tidak membawa akibat timbulnya insiden ataupun kontak bersenjata baik dengan masyarakat maupun dengan pihak tentara kita. Karena tentara Sekutu yang bercampur dengan tentara Belanda itu tidak sempat mendarat di Jambi.[21](hlm.68)
Walaupun demikian, oleh karena tentara Jepang masih tetap berada di daerah Jambi tanpa dilucuti oleh Sekutu, insiden-insiden dengan Jepang seringkali tak dapat dihindari. Pada tanggal 15 Januari 1946 yaitu setengah bulan setelah pasukan Sekutu tidak jadi mendarat di kota Jambi, tentara Jepang mengadakan aksi terhadap TKR dan pemerintah Keresidenan Jambi dengan melakukan penangkapan-penangkapan. Pada waktu ini oleh tentara Jepang ditangkap dr. Sagaf Yahya, dr. Purwadi, R. Abdullah Kartawirana, Marzuki, Buyung Malik, Yuslim, Yusuf Deding dan Nursaga. Dengan adanya penangkapan ini, kemudian Kolonel Hasan Kasim, Komandan Divisi II TKR datang dari Palembang ke Jambi, dan mengadakan perundingan dengan Kenpeitai Jepang, agar melepaskan tokoh-tokoh yang ditangkap. Perundingan mana berhasil dengan keluarnya mereka dari tahanan Jepang.[28](hlm.416-417)[21](hlm.68-69)
Peristiwa penangkapan tersebut merupakan awal dari berbagai insiden berikutnya dengan pihak Jepang. Insiden berikutnya terjadi karena para pemuda menginginkan agar Jepang segera meninggalkan daerah Jambi, dan sebagai akibat hilangnya senjata tentara Jepang.[21](hlm.69)
Masa Aksi Militer Belanda I
Pada masa aksi Militer Belanda Pertama di daerah Jambi boleh dikatakan tidak terjadi kontak bersenjata secara frontal dengan pihak Belanda. Insiden bersenjata pada masa Aksi Militer Belanda Pertama ini sering terjadi di daerah Banyunglencir yaitu perbatasan daerah Jambi dan Palembang serta di daerah pantai yaitu di Kabupaten Tanjung Jabung.[21](hlm.72)
Di Banyunglencir terjadi beberapa kali insiden bersenjata, demikian pula di daerah pantai. Salah satu insiden ber- senjata yang agak menonjol pada masa aksi militer pertama ialah pertempuran laut antara Kapal Motor NURI I dibawah pimpinan Letnan II Laut Sanusi dengan kapal Patroli Belanda. Pertempuran yang tak seimbang ini berakhir dengan rusaknya kapal NURI I dan ditawannya Letnan II Laut Sanusi oleh Belanda.[aq][21](hlm.72-73)
Keadaan ekonomi di daerah Jambi, sesuai dengan situasi revolusi, tidaklah menguntungkan. blokade yang dilakukan oleh kapal-kapal patroli Belanda di daerah pantai menyukarkan para pedagang Jambi menjual hasil karetnya ke Singapura, yang mengakibatkan perekonomian rakyat menjadi merosot. Politik keuangan pemerintah kacau balau, di samping uang Republik Indonesia, juga pemerintah daerah mengeluarkan uang daerah. Percetakan Soei Liong dibeli dan dijadikan percetakan negara. Kepala Jawatan Penerangan daerah Jambi M.L. Tobing diberi tugas untuk menjalankan dan mengawasi percetakan uang daerah. Uang daerah yang pertama, bernama Kupon penukaran terdiri dari harga 1 rupiah dan 2½ rupiah. Kertasnya dipilih yang tebal dan kuat.[30][26](hlm.271-272)[21](hlm.73)
Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0,45° Lintang Utara, 2,45° Lintang Selatan dan antara 101,10°–104,55° Bujur Timur. Di sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi Riau, sebelah Timur dengan Selat Berhala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan sebelah Barat dengan Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Bengkulu. Kondisi geografis yang cukup strategis di antara kota-kota lain di provinsi sekitarnya membuat peran provinsi ini cukup penting terlebih lagi dengan dukungan sumber daya alam yang melimpah. Kebutuhan industri dan masyarakat di kota-kota sekelilingnya didukung suplai bahan baku dan bahan kebutuhan dari provinsi ini.[butuh rujukan]
Luas Provinsi Jambi 50.160,05 km² dengan jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2022 berjumlah 3.631.136 jiwa[33]. Sebelumnya di tahun 2010, provinsi ini memiliki populasi sebanyak 3.088.618 jiwa (Data BPS hasil sensus 2010). Jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2006 berjumlah 2.683.289 jiwa (Data SUPAS Proyeksi dari BPS Provinsi Jambi. Jumlah Penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2005 sebesar 2.657.536 (data SUSENAS) atau dengan tingkat kepadatan 50,22 jiwa/km2. Tingkat pertumbuhan penduduk sebesar 0,96% dengan PDRB per kapita Rp9.523.752,00 (Angka sementara dari BPS Provinsi Jambi. Untuk tahun 2005, PDRB per kapita sebesar Rp8.462.353). Sedangkan sebanyak 46,88% dari jumlah tenaga kerja Provinsi Jambi bekerja pada sektor pertanian, perkebunan dan perikanan; 21,58% pada sektor perdagangan dan 12,58% pada sektor jasa. Dengan kondisi ketenagakerjaan yang sebagian besar masyarakat di provinsi ini sangat tergantung pada hasil pertanian,perkebunan sehingga menjadikan upaya pemerintah daerah maupun pusat untuk mensejahterakan masyarakat adalah melalui pengembangan sektor pertanian[butuh rujukan]
Jumlah Penduduk (2022)
Kabupaten/Kota
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
1501. Kerinci
127.245
126.618
253.863
1502. Merangin
181.850
175.727
357.577
1503. Sarolangun
152.133
145.958
298.091
1504. Batang Hari
160.228
152.981
313.209
1505. Muaro Jambi
212.776
200.054
412.830
1506. Tanjung Jabung Timur
119.368
114.796
234.164
1507. Tanjung Jabung Barat
167.242
157.214
324.456
1508. Tebo
177.090
167.726
344.816
1509. Bungo
190.083
183.261
373.344
1571. Jambi
311.616
307.937
619.553
1572. Sungai Penuh
49.638
49.595
99.233
1500. Provinsi Jambi
1.849.269
1.781.867
3.631.136
Suku bangsa
Masyarakat Jambi merupakan masyarakat heterogen yang terdiri dari masyarakat asli Jambi dan juga pendatang. Penduduk asli provinsi Jambi termasuk Suku Melayu Jambi, Batin, Penghulu, Pindah, Kerinci dan Suku Anak Dalam.[34] Suku Batin dan Penghulu kebudayaannya berunsur Melayu dan beberapa mengalami perpaduan dengan budaya Minangkabau, banyak bermukim di Kabupaten Bungo, Merangin, Tebo, dan Sarolangun. Sedangkan Suku Pindah, kebudayaannya perpaduan Melayu dan budaya Palembang yang bermukim dibeberapa kecamatan di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun. Sementara Suku Kerinci berada di daerah Kabupaten Kerinci dan Kota Sungai Penuh. Adat istiadat dan budaya Suku Kerinci masih serumpun atau dekat dengan Minangkabau yang juga menganut sistem matrilineal.[butuh rujukan]
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Sensus Penduduk Indonesia 2010, provinsi Jambi jumlah penduduknya 3.069.768 jiwa. Penduduk dengan suku asli provinsi Jambi yakni suku Melayu Jambi, Kerinci, kemudian suku Batin, Penghulu, Pindah, dan merupakan etnis terbanyak yakni sebanyak 1.337.521 jiwa atau 43,57%.[35]
Sementara pada Sensus Penduduk Indonesia 2000, BPS mencatat suku asal Jambi sebanyak 1.102.628 jiwa atau 45,81% dari 2.407.166 jiwa. Dan BPS lebih menjabarkan banyaknya penduduk berdasarkan suku di Jambi dengan rincian, suku Jambi sebanyak 834.504 jiwa atau 34,67% dari 2.407.166 jiwa penduduk. Kemudian suku Kerinci sebanyak 254.125 jiwa atau 10,56% dan suku Batin sebanyak 13.999 jiwa atau 0,58%.[36]
Masih pada Sensus 2010, etnis pendatang terbanyak berasal dari etnis Jawa yakni sebanyak 893.156 jiwa (29,10%). Suku Melayu di luar orang Jambi sebanyak 164.979 jiwa (5,37%), kemudian Minangkabau sebanyak 163.760 jiwa (5,33%), Batak sebanyak 106.249 jiwa (3,46%), Banjar sebanyak 102.237 jiwa (3,33%), Bugis sebanyak 96.145 jiwa (3,13%), Sunda sebanyak 79.203 jiwa (2,58%), asal Sumatera Selatan sebanyak 57.663 jiwa (1,88%), Tionghoa sebanyak 37.246 jiwa (1,21%) dan suku lainnya sebanyak 31.609 jiwa (1,04%).[35]
Sebagian besar masyarakat Jambi memeluk agama Islam yaitu sebesar 95,07%, sedangkan selebihnya merupakan pemeluk agama Kristen 3,95% di mana Protestan sebesar 3,37% dan Katolik sebesar 0,58%. Sebagian lagi memeluk agama Buddha yakni 0,89%, kemudian penganut kepercayaan sebanyak 0,06%, Konghucu sebanyak 0,02% dan sebagian kecil pemeluk agama Hindu sebanyak 0,01%, yang umumnya berada di Kota Jambi.[1]
Agama Islam umumnya dianut etnis asli provinsi Jambi yakni Melayu Jambi yang banyak tinggal di Sarolangun, Kerinci, Tanjung Tebo. Kemudian etnis Jawa, Sunda, Sunda, Bugis dan Minang sebagai etnis pendatang juga kebanyakan memeluk agama Islam. Sementara agama Kristen (Protestan dan Katolik) umumnya dianut oleh penduduk etnis Batak, Nias, dan sebagian Tionghoa. Agama Buddha dan Konghucu dianut penduduk etnis Tionghoa, sedangkan sebagian kecil pemeluk agama Hindu berasal dari etnis Bali dan peranakan India.[butuh rujukan]
Di Provinsi Jambi, terdapat berbagai macam bahasa yang digunakan oleh penduduknya, yaitu bahasa Indonesia, Bahasa Melayu (dialek Jambi), Bajau Tungkal Satu, Banjar, Bugis, Jawa, Kerinci,dan Minangkabau.[39] Tidak menutup kemungkinan bahwa masih terdapat bahasa yang belum terpetakan karena melihat dari luas wilayah, batas wilayah, sejarah, hingga perkembangan Provinsi Jambi. Bahasa-bahasa yang ada di daerah Jambi sejalan dengan penyebaran penduduknya, sehingga bahasanya ditemukan pada daerah tertentu dan memiliki ciri khas dialeknya masing-masing.[40]
Dari sekian banyak bahasa, bahasa Melayu dan bahasa kerinci merupakan bahasa asli provinsi Jambi. Bahasa Melayu yang dominan digunakan masyarakat provinsi Jambi adalah Bahasa Melayu Jambi. Bahasa Melayu Jambi juga sebagai pemersatu dialek bahasa Melayu didaerah setiap kabupaten/kota,dan juga digunakan untuk berinteraksi antar suku yang ada di provinsi Jambi.[butuh rujukan]
Perekonomian
Dengan kondisi suhu udara berkisar antara 23 °C sampai dengan 34 °C dan luas wilayah 53,435 km2 di antaranya sekitar 60% lahan merupakan kawasan perkebunan dan kehutanan yang menjadikan kawasan ini merupakan salah satu penghasil produk perkebunan dan kehutanan utama di wilayah Sumatra. Kelapa sawit dan karet menjadi tanaman perkebunan primadona dengan luas lahan perkebunan kelapa sawit mencapai 400.168 hektare serta karet mencapai 595.473 hektare. Sementara itu, nilai produksi kelapa sawit sebesari 898,24 ribu ton pertahun. Hasil perkebunan lainnya adalah karet, dengan jumlah produksi 240,146 ribu ton per tahun, kelapa dalam (virgin coconut) 119,34 ribu ton per tahun, casiavera 69,65 ribu ton per tahun, serta teh 5,6 ribu ton per tahun. Sementara produksi sektor pertanian yang dihasilkan oleh kawasan bagian barat Provinsi Jambi yaitu beras kerinci, kentang, kol/kubis, tomat, dan kedelai.[butuh rujukan]
Potensi kekayaan alam di Provinsi Jambi adalah minyak bumi, gas bumi, batubara dan timah putih. Jumlah potensi minyak bumi Provinsi Jambi mencapai 1.270,96 juta m3 dan gas 3.572,44 miliar m3. Daerah cadangan minyak bumi utama di struktur Kenali Asam, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi dengan jumlah cadangan minyak 408,99 juta barrel. Sedangkan cadangan gas bumi utama di Struktur Muara Bulian, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batanghari dengan jumlah cadangan 2.185,73 miliar m3. [butuh rujukan]
Cadangan minyak bumi Provinsi Jambi sebesar 1.270,96 juta m3. Cadangan minyak bumi antara lain terdapat di Kabupaten Tanjung Jabung Timur, struktur Kenali Asam, Kecamatan Jambi Luar Kota dan Kabupaten Muaro Jambi.[butuh rujukan]
Cadangan gas bumi Provinsi Jambi sebesar 3.572,44 miliar m3. Cadangan tersebut sebagian besar terdapat di Struktur Muara Bulian, Kecamatan Muara Bulian, Kabupaten Batang Hari dengan jumlah cadangan 2.185,73 miliar m3.[butuh rujukan]
Cadangan batubara Provinsi Jambi sebesar 18 juta ton, yang merupakan batubara kelas kalori sedang yang cocok digunakan sebagai pembangkit tenaga listrik. Cadangan terbesar dijumpai di Kabupaten Bungo.[butuh rujukan]
Komoditas perkebunan yang sangat dominan adalah Karet dan Kelapa Sawit. Hal ini didukung dengan program Pemerintah Derah Provinsi Jambi yaitu “Pengembangan Kelapa Sawit Sejuta Hektar” serta “Replanting Karet”. Selain itu, casiavera juga banyak dibudidayakan terutama di daerah Kerinci.[41]
Provinsi Jambi terdiri dari 11 kabupaten/kota. Sarana dan prasarana di Jambi saat ini sudah tersedia dengan cukup baik. Ada banyak cara yang dapat digunakan untuk mengakses berbagai tempat objek wisata di Kota Jambi maupun kabupaten lainnya di provinsi Jambi. Sarana transportasi yang bisa digunakan untuk ke provinsi Jambi dengan pesawat dan mobil. Selain kota Jambi, kabupaten yang telah memilki bandara adalah kabupaten Bungo dan Kerinci.[butuh rujukan]
Objek wisata yang ada di Jambi cukup banyak. Salah satunya Kabupaten Kerinci merupakan daerah wisata di provinsi Jambi, yang dikenal dengan sebutan sekepal tanah dari surga. Alam yang ada di Kerinci sangatlah indah, mulai dari pegunungan, danau, perkebunan teh dan masih banyak lagi. Selain di Kerinci tempat wisata di Jambi juga terdapat di beberapa Kabupaten lainnya, antara lain :
Ada dua objek di lokasi ini yaitu Menara Gentala Arasy dan Jembatan Pedestrian atau yang lebih dikenal dengan Jembatan Gentala Arasy. Jembatan Pedestrian adalah Jembatan untuk pejalan kaki dengan bentuk berkelok-kelok dan terbentang diatas sungai batanghari. Diujung jembatan terdapat Menara Gentala Arasy yang merupakan museum tentang sejarah berkembangnya islam di Kota Jambi. Selain museum, disini juga menjadi pusat kuliner dan juga banyak disediakan perahu jika ingin menyusuri sungai Batanghari.
Candi Muaro Jambi merupakan komplek percandian Agama Hindu-Buddha yang terdapat di kabupaten Muaro Jambi dan diperkirakan berasal dari abad ke-11 M. Komplek percandian ini adalah yang terluas di Indonesia, bahkan Asia Tenggara.
Geopark Merangin merupakan salah satu objek wisata yang terdapat di kabupaten Merangin. Geopark ini tidak hanya menawarkan arung jeram saja tetapi keunikan fosilflora berusia 350 juta tahun juga menjadi daya tarik tersendiri. Kawasan ini masih diselimuti hutan lebat dengan beragam jenis tanamannya. Untuk mencapai lokasi ini dibutuhkan waktu sekitar 6 jam dengan menggunakan mobil dari Jambi, Ibu kota provisi Jambi.
Air Terjun Sigerincing memiliki ketinggian sekira kurang lebih 40-60 meter, terletak di kabupaten Merangin. Air terjun ini merupakan bagian dari aliran sungai Batang Tembesi yang berhulu di Gunung Masurai.
Salah satu tempat wisata di Jambi terbaik dan terkenal sejak zaman dahulu adalah Kebun Teh Kayu Aro yang terdapat di kabupaten Kerinci. Perkebunan dengan luas 3.020 hektare ini merupakan perkebunan teh dalam satu hamparan terluas di dunia dengan berlatarkan Gunung Kerinci.
Kondisi alam sekitar Danau Gunung Tujuh sangat begitu indah dan alami serta memiliki air yang begitu jernih. Keindahan Danau dilengkapi oleh barisan hamparan tujuh gunung yang mengelilinginya. Pada beberapa titik di pinggir danau terbentang pasir yang menyerupai pantai. Danau Gunung tujuh ini terdapat di kabupaten Kerinci.
Danau ini memiliki luas sekitar 30 x 30 meter. Jernihnya air di Danau ini membuat dasarnya terlihat secara jelas, walaupun memiliki kedalaman air yang tidak terukur. Selain itu, pada saat malam Danau Kaco mengeluarkan cahaya yang terang, terutama pada waktu bulan purnama.
Budaya dan seni
Jambi merupakan sebuah provinsi yang terletak di timur pulau Sumatra. Masyarakat Jambi terdiri dari beberapa macam suku pribumi seperti Suku Melayu Jambi, Suku Kerinci, Suku Batin, Suku Anak Dalam, hingga keturunan atau rumpun Minang. Tak heran jika provinsi ini mempunyai berbagai macam tradisi dan budaya.
Secara garis besar seni tari dari provinsi Jambi adalah dari adat budaya etnis Melayu dan Kerinci. Terdapat beberapa macam jenis tari tradisional khas Jambi, di antaranya tari Sekapur Sirih, Selampit Delapan, Inai, Rentak Kudo, Mengaup dan Rentak Besapih.
Masakan Jambi atau Hidangan Jambi adalah makanan khas Jambi atau jenis kuliner yang berkembang di provinsi Jambi, Indonesia. Masakan ini banyak berbahan dasar ikan yang didukung oleh banyaknnya sungai di provinsi Jambi. Rempah-rempah juga pada umumnya tidak jauh berbeda dengan masakan dari Sumatera Barat. Budaya Melayu, dan Minangkabau juga memengaruhi racikan kuliner provinsi Jambi.
Beberapa contoh makanan dari Jambi yang cukup populer adalah Nasi gemuk, Tempoyak, Kerutup ikan, Daging masak hitam, Gulai tepek ikan, Gulai terjun, dan Gulai tekuyung.
^Setelah periode ini tidak banyak catatan tentang nasib kompleks percandian Muaro Jambi hingga berdirinya Kesultanan Jambi yang bercorak Islam. Mengingat keberadaan situs ini mulai terbuka berkat kunjungan perwira Inggris bernama Kapten E. C. Crooke pada tahun 1820, artinya candi sudah runtuh pada masa perkembangan Kesultanan Jambi. Lihat antara lain Saudagar, Memasuki Gerbang Situs Sejarah Candi Muaro Jambi, hlm. 31- 41; Andaya, "The Search for the 'Origins' of Melayu", hlm. 315-330. Dalam pengantar terjemahannya, Chavannes berpendapat bahwa Mouo-louo-yu yang dimaksud I'tsing adalah Palembang sekarang. Referensi lain juga menganut pendapat yang sama. Lihat misalnya Abd. Rahman Hamid, Sejarah Maritim Indonesia, (Yogyakarta: Ombak, 2013), hlm. 48-49.
^Ini Sejarah Kesultanan Jambi Sejak Tahun 700 H; naskah salinan Ngebi Sutho Dilogo Priyayi Rajo Sari dalam aksara jawi berbahasa Melayu.
^Dalam naskah UUPJ, nama Datuk Paduka Berhala disebut sebagai Ahmad Barus II, sedangkan dalam naskah ISKJ dan HNJ hanya disebut Datuk Paduka Berhala. Sementara nama ayah dari Datuk Paduka Berhala tertulis dalam naskah HNJ.
^Undang-undang Pencacahan Jambi; naskah tulisan Ngebi Sutho Dilogo yang ditulis tahun 1899, sebelum ISKJ.
^Karena kisah dalam kedua naskah ini hampir sama, maka selanjutnya hanya digunakan naskah ISKJ sebagai naskah yang lebih lengkap.
^Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden dengan kode Or. 2304d/e/f, koleksi Van Hasselt, tahun 1882. Terdapat dua versi stamboom berukuran besar (berkisar 1 x 0,5 m) dengan garis silsilah yang hampir sama, hanya saja salah satunya lebih detail yaitu yang ditulis pada tanggal 25 Desember 1900 M. Jalur silsilah dalam naskah ini mirip dengan silsilah dalam ISKJ, dengan penulisan gelas-gelar yang lebih lengkap dan menempatkan Putri Pinang Masak sebagai penguasa pertama. Dalam katalog manual perpustakaan disebutkan bahwa naskah Or. 2304, bersama Or. 2305, merupakan material dari Ekspedisi Sumatra yang diterima tanggal 4 Juli 1882 sebagai hadiah 'Aardrijkskundig Genootschap' di Amsterdam.
^Koleksi Perpustakaan Universitas Leiden dengan kode Or. 23.486/Mal. 9335. Dari lembar 105 sampai akhir dijelaskan tentang sultan-sultan Jambi dengan judul uraian "Sultan-sultan Jambi dan Penguasa lainnya" (Soeltans van Djambi en andere Machthebbers). Setelah judul terdapat nama 6 orang sultan dan masa pemerintahannya yaitu: Sultan Mohamad Paharuddin (+10 Januari 1841), Sultan Abdul Rahman Nasaruddin (1841-1855, saudara no. 1), Sultan Taha Saifuddin (1855-1858, anak no. 1), Sultan Ahmad Nasaruddin (1858-1881, saudara no. 1 dan 2, paman Taha), Sultan Mohamad Muhidin (1881-1885, anak no. 2, sepupu Taha), Sultan Ahmad Zainuddin (1885-1899, saudara Taha).
^Istilah uluan lebih sering dipakai ketimbang ulu dalam sumber-sumber primer penelitian ini. Sebaliknya, istilah ilir tidak pernah dipakai dengan akhir -an. Karena itu, penulis memilih menggunakan kata uluan dengan makna yang lebih menunjukkan kawasan.
^Peneliti Jambi terdahulu menggunakan ejaan yang variatif untuk nama Thaha Saifuddin. Penulis memilih menggunakan ejaan tersebut, selanjutnya diringkas Thaha, merujuk pada penulisan aksara Arab pada stempel yang digunakan oleh sultan serta keumuman penulisan dalam institusi resmi di Jambi saat ini. Dalam stempel resmi kesultanan tertulis طه سيف الدين yang jika ditransliterasi ke dalam aksara Latin menggunakan Turabian style menjadi Taha Sayf al-Din. Dalam diskusi tahun 2016 lalu, Elsbeth Locher-Scholten menjelaskan alasannya menggunakan ejaan Taha merujuk pada penulisan dalam dokumen-dokumen Belanda. Lebih jauh tentang ragam penulisan nama Sultan Thaha Saifuddin lihat Abid, "Saifuddin atau Safiuddin..." Kontekstualita 25, no. 2 (2010): hlm. 335-351.
^Penulisan nama Sultan Ah}mad Nas}r al-Din versi Locher-Scholten
^Sultan boneka yang diangkat pemerintah Belanda di Jambi umum disebut dalam literatur-literatur terdahulu dengan istilah sultan bayang atau sultan kontrak.
^Daerah sepanjang hulu sungai Batanghari, saat ini meliputi daerah Tembesi, Tebo, Sarolangun, Merangin dan Bungo.
^ abcdefghijklmnopqrstuvwxyzaaSagala, Ismawati (2021). Nugrahini, Karika Nurul, ed. Islam dan Adat dalam Sistem Pemerintahan Jambi (dalam bahasa Indonesia) (edisi ke-Revisi). Yogyakarta: Ombak. ISBN6022585953.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Bahasa yang tidak diketahui (link)
^ abcdLocher-Scholten, Elabeth (2008). Kesultanan Sumatra dan Negara Kolonial; Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya Imperialisme Belanda. Jakarta: Banana-KITLV.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Yakin, Ayang Utriza (2016). Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M. Jakarta: Kencana.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Iqbal, Muhammad; Nasution, Amin Husein (2010). Pemikiran Politik Islam dari masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer. Jakarta: Kencana.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ramulyo, Mohammad Idris (2004). Asas-asas Hukum Islam. Jakarta: Sinar Grafika.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Ferrand, Gabriel (1922). L'empire Sumatranais de Criwijaya. Paris: Libraire Orientaliste Paul Geuthner.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Mudzhar, M. Atho (1993). Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia; Sebuah Studi tentang Pemikiran Hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Jakarta: INIS.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Azra, Azyumardi (2013). Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVII; Akar Pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kharisma Putra Utama.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Burhanuddin, Jajat (2017). Islam dalam Arus Sejarah Indonesia. Jakarta: Karisma.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Wargadalem, Farida R. (2017). Kesultanan Palembang dalam Pusaran Konflik, (1804-1825). Jakarta: KPG dan EFEO.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Tiderman, J.; Sigar, P. L. F. (1938). Djambi. Amsterdam: Koloniaal Instituut.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Reid, Anthony (1967). "Nineteenth Century Pan-Islam in Indonesia and Malaysia". The Journal of Asian Studies. 26 (2): 267–283.
^ abcdefghijklmnopqrstuvwxyzaaabacadaeafagahaiajakalamanaoapaqarasatauavawaxayazbabbbcbdbebfbgbhZainuddin; Bujang Sh, Ibrahim; Kahar, Thabran; Mukti, Asnawi (1979). Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Jambi. Jakarta: DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, DIREKTORAT JENDERAL KEBUDAYAAN, DIREKTORAT SEJARAH DAN NILAI TRADISIONAL, PROYEK INVENTARISASI DAN DOKUMENTASI KEBUDAYAAN DAERAH.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abMonografi Daerah Jambi. Kantor Wilayah Departemen P dan K Propinsi Jambi.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Almanak Sumatra. Komando Petahanan Sumatra.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Nazaruddin, A. Mukti. Jambi Sepintas lalu dari Zaman ke Zaman.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abSejarah Perjuangan Fisik Rakyat Kerinci. Tim Sejarah Budaya Kerinci.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcPropinsi Sumatera Tengah. Kementerian Penerangan.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abGeografi Budaya Daerah Jambi. Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jambi. 1978. hlm. 6.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^ abcNasution, A. H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid II.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Nasution, A. H. Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid III.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
^Propinsi Jambi. Kementerian Penerangan.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)