Sumatra (bentuk tidak baku: Sumatera)[a] adalah pulaukeenam terbesar di dunia yang terletak di Indonesia, dengan luas 473.481 km². Penduduk yang tinggal di pulau ini sekitar 57.940.351 jiwa (sensus 2018)[2]. Pulau ini dikenal pula dengan nama lain yaitu Pulau Percha, Andalas, atau Suwarnadwipa (bahasa Sanskerta, berarti "pulau emas"). Kemudian pada Prasasti Padang Roco tahun 1286 dipahatkan swarnnabhūmi (bahasa Sanskerta, berarti "tanah emas") dan bhūmi mālayu ("Tanah Melayu") untuk menyebut pulau ini. Selanjutnya dalam naskah Negarakertagama dari abad ke-14 juga kembali menyebut "Bumi Malayu" (Melayu) untuk pulau ini.
Etimologi
Asal nama Sumatra berawal dari keberadaaan Kerajaan Samudra (terletak di pesisir timur Aceh). Diawali dengan kunjungan Ibnu Batutah, petualang asal Maroko ke negeri tersebut pada tahun 1345, dia melafalkan kata Samudra menjadi Shumathra,[3] dan kemudian menjadi Sumatra, selanjutnya nama ini tercantum dalam peta-peta abad ke-16 buatan Portugis, untuk dirujuk pada pulau ini, sehingga kemudian dikenal meluas sampai sekarang.[4]
Nama asli Sumatra, sebagaimana tercatat dalam sumber-sumber sejarah dan cerita-cerita rakyat, adalah "Pulau Emas". Istilah Pulau Ameh (bahasa Minangkabau, berarti pulau emas) kita jumpai dalam cerita Cindua Mato dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh mas untuk menyebut pulau Sumatra. Seorang musafir dari Tiongkok yang bernama I-tsing (634-713) yang bertahun-tahun menetap di Sriwijaya (Palembang sekarang) pada abad ke-7, menyebut Sumatra dengan nama chin-chou yang berarti "negeri emas". Emas menjadi daya tarik para pendatang di pulau Sumatra.[5].
Dalam berbagai prasasti, Sumatra disebut dalam bahasa Sanskerta dengan istilah: Suwarnadwipa ("pulau emas") atau Suwarnabhumi ("tanah emas"). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Naskah Buddha yang termasuk paling tua, Kitab Jataka, menceritakan pelaut-pelaut India menyeberangi Teluk Benggala ke Suwarnabhumi. Dalam cerita Ramayana dikisahkan pencarian Dewi Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa.
Para musafir Arab menyebut Sumatra dengan nama "Serendib" (tepatnya: "Suwarandib"), transliterasi dari nama Suwarnadwipa. Abu Raihan Al-Biruni, ahli geografi Persia yang mengunjungi Sriwijaya tahun 1030, mengatakan bahwa negeri Sriwijaya terletak di pulau Suwarandib. Namun ada juga orang yang mengidentifikasi Serendib dengan Srilangka, yang tidak pernah disebut Suwarnadwipa.
Di kalangan bangsa Yunani purba, Sumatra sudah dikenal dengan nama Taprobana. Nama Taprobana Insula telah dipakai oleh Klaudios Ptolemaios, ahli geografi Yunani abad kedua Masehi, tepatnya tahun 165, ketika dia menguraikan daerah Asia Tenggara dalam karyanya Geographike Hyphegesis. Ptolemaios menulis bahwa di pulau Taprobana terdapat negeri Barousai. Mungkin sekali negeri yang dimaksudkan adalah Barus di pantai barat Sumatra, yang terkenal sejak zaman purba sebagai penghasil kapur barus.
Naskah Yunani tahun 70, Periplous tes Erythras Thalasses, mengungkapkan bahwa Taprobana juga dijuluki chryse nesos, yang artinya ‘pulau emas’. Sejak zaman purba para pedagang dari daerah sekitar Laut Tengah sudah mendatangi Nusantara, terutama Sumatra. Di samping mencari emas, mereka mencari kemenyan (Styrax sumatrana) dan kapur barus (Dryobalanops aromatica) yang saat itu hanya ada di Sumatra. Sebaliknya, para pedagang Nusantara pun sudah menjajakan komoditas mereka sampai ke Asia Barat dan Afrika Timur, sebagaimana tercantum pada naskah Historia Naturalis karya Plini abad pertama Masehi.
Dalam kitab umat Yahudi, Melakim (Raja-raja), pasal 9, diterangkan bahwa Salomo raja Israel menerima 420 talenta emas dari Hiram, raja Tirus yang menjadi bawahan dia. Emas itu didapatkan dari negeri Ofir. Kitab Al-Qur’an, Surat Al-Anbiya’ 81, menerangkan bahwa kapal-kapal Nabi Sulaiman berlayar ke “tanah yang Kami berkati atasnya”.
Banyak ahli sejarah yang berpendapat bahwa negeri Ophir itu terletak di Sumatra (Gunung Ophir di Pasaman Barat, Sumatera Barat yang sekarang bernama Gunung Talamau?). Perlu dicatat, kota Tirus merupakan pusat pemasaran barang-barang dari Timur Jauh. Ptolemaios pun menulis Geographike Hyphegesis berdasarkan informasi dari seorang pedagang Tirus yang bernama Marinus. Dan banyak petualang Eropa pada abad ke-15 dan ke-16 mencari emas ke Sumatra dengan anggapan bahwa di sanalah letak negeri Ofir Nabi Sulaiman a.s.
Samudra menjadi Sumatra
Kata yang pertama kali menyebutkan nama Sumatra berasal dari gelar seorang raja SriwijayaHaji Sumatrabhumi ("Raja tanah Sumatra"),[6] berdasarkan berita China ia mengirimkan utusan ke China pada tahun 1017. Pendapat lain menyebutkan nama Sumatra berasal dari nama Samudra, kerajaan di Aceh pada Abad ke-13 dan Abad ke-14. Para musafir Eropa sejak Abad ke-15 menggunakan nama kerajaan itu untuk menyebut seluruh pulau. Sama halnya dengan pulau Kalimantan yang disebut Borneo, dari nama Brunei, daerah bagian utara pulau itu yang mula-mula didatangi orang Eropa. Demikian pula pulau Lombok tadinya bernama Selaparang, sedangkan Lombok adalah nama daerah di pantai timur pulau Selaparang yang mula-mula disinggahi pelaut Portugis.
Peralihan Samudra (nama kerajaan) menjadi Sumatra (nama pulau) menarik untuk ditelusuri. Odorico da Pordenone dalam kisah pelayarannya tahun 1318 menyebutkan bahwa dia berlayar ke timur dari Koromandel, India, selama 20 hari, lalu sampai di kerajaan Sumoltra. Ibnu Bathutah bercerita dalam kitab Rihlah ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) bahwa pada tahun 1345 dia singgah di kerajaan Samatrah. Pada abad berikutnya, nama negeri atau kerajaan di Aceh itu diambil alih oleh musafir-musafir lain untuk menyebutkan seluruh pulau.
Pada tahun 1490 Ibnu Majid membuat peta daerah sekitar Samudra Hindia dan di sana tertulis pulau "Samatrah". Peta Ibnu Majid ini disalin oleh Roteiro tahun 1498 dan muncullah nama "Camatarra". Peta buatan Amerigo Vespucci tahun 1501 mencantumkan nama "Samatara", sedangkan peta Masser tahun 1506 memunculkan nama "Samatra". Ruy d’Araujo tahun 1510 menyebut pulau itu "Camatra", dan Alfonso Albuquerque tahun 1512 menuliskannya "Camatora". Antonio Pigafetta tahun 1521 memakai nama yang agak ‘benar’: "Somatra". Tetapi sangat banyak catatan musafir lain yang lebih ‘kacau’ menuliskannya: "Samoterra", "Samotra", "Sumotra", bahkan "Zamatra" dan "Zamatora".
Catatan-catatan orang Belanda dan Inggris, sejak Jan Huygen van Linschoten dan Sir Francis DrakeAbad ke-16, selalu konsisten dalam penulisan Sumatra. Bentuk inilah yang menjadi baku, dan kemudian disesuaikan dengan lidah Indonesia: Sumatra
Sejarah
Kerajaan maritim dan komersialSriwijaya mengalami keruntuhan pada tahun 688 Hijriyah[7]. Penyebutan Bupati di pergunakan untuk menyebut Raja Sriwijaya yang bernama Haji Yuwa Rajya Punku Syri Haridewa tertulis dalam Prasasti Hujung Langit Yuwaraja pada Abad ke-9 Masehi, Sriwijaya berkembang di Indonesia[7]. Kerajaan ini berasal dari Sumatera SelatanBatu Brak menguasai Selat Malaka, kekuasaan Kedatuan Sriwijaya berlandaskan International Perdagangan Cina dan India[7]. Para Raja Sriwijaya mendirikan biara-biara di Negapattam tenggara India. Chola kerajaan India yang pada Abad ke-10 Masehi Sriwijaya berkembang menguasai sebagian besar pulau Jawa[7]. Kedatuan Sriwijaya sebagai penghalang Kerajaan Chola India di jalur laut antara Asia Selatan dan Timur, pada tahun 1025 Kerajaan Chola merebut Kerajaan yang berada di Palembang, menangkap raja dan seluruh anggota keluarganya termasuk pejabat-pejabat kerajaan, pembantu serta membawa hartanya, pada awal Abad ke-12 Masehi Kedatuan Sriwijaya telah direduksi menjadi kerajaan dengan raja terahir seorang laki-laki bernama Ratu Sekerummong yang pada Abad ke-13 M telah ditaklukkan ditumbangkan oleh keturunan dari Ratu Ngegalang Paksi tetesan darah, darah yang menetes dari Sultan Iskandar Zulkarnain[7] "Sultan yang dipertuan" yakni Ampu Pernong, nyerupa, balunguh, berjalandiwai. Seorang bawahan Kerajaan Majapahit di Jawa segera mendominasi panggung Politik Indonesia[7][8], di daerah Jawa ketika konflik internal kerajaan Majapahit, berangsur-angsur turun kewibawaannya karena konflik tersebut, hal ini dimanfaatkan oleh keturunan raja-raja Majapahit untuk mendirikan kerajaan Islam di pulau jawa yaitu kerajaan Demak walaupun masih bersipat lokal.
Kemudian bermunculan pula kerajaan-kerajaan Islam lainnya dari pulau Sumatra[2]. Tertinggi bahkan bisa menkerucut menjadi Piramida kerajaan yang berdiri pada abad ke-7 Hijriyah tanggal 29 Rajab tahun 688 Mujarrad rasulullah sallallahu alayhi wasallam di Lampung sebagai kekhususan satuan wilayah administrasi pemerintahan. Sedangkan pada tahun 1601 nusantara di jajah oleh kerajaan Belanda yang datang ke Indonesia[2].
Berikut adalah 11 suku bangsa terbesar yang ada di Sumatera menurut sensus BPS 2010 (termasuk Kepulauan Riau, Bangka Belitung, Nias, Mentawai, Simeulue dan pulau-pulau di sekitarnya)[9]
Kota-kota di pulau Sumatra dihubungkan oleh empat ruas jalan lintas, yakni lintas tengah, lintas timur, lintas barat dan lintas pantai timur yang melintang dari barat laut - tenggara Sumatra. Selain itu terdapat pula ruas jalan yang melintang dari barat - timur, seperti ruas Bengkulu - Palembang, Padang - Jambi, serta Padang - Dumai - Medan.
Di beberapa bagian pulau Sumatra, kereta api merupakan sarana transportasi alternatif. Di bagian selatan, jalur kereta api bermula dari Pelabuhan Panjang (Lampung) hingga Lubuk Linggau dan Palembang (Sumatera Selatan). Di tengah pulau Sumatra, jalur kereta api hanya terdapat di Sumatera Barat. Jalur ini menghubungkan antara kota Padang dengan Sawah Lunto dan kota Padang dengan kota Pariaman. Semasa kolonial Belanda hingga tahun 2001, jalur Padang - Sawah Lunto dipergunakan untuk pengangkutan batu bara. Tetapi semenjak cadangan batu bara di Ombilin mulai menipis, maka jalur ini tidak berfungsi lagi. Sejak akhir tahun 2006, pemerintah provinsi Sumatera Barat, kembali mengaktifkan jalur ini sebagai jalur kereta wisata.
Di utara Sumatra, jalur kereta api membentang dari kota Medan sampai ke kota Rantau Prapat. Pada jalur ini, kereta api dipergunakan sebagai sarana pengangkutan kelapa sawit dan penumpang.
Pulau Sumatra merupakan pulau yang kaya dengan hasil bumi. Dari lima provinsi kaya di Indonesia, tiga provinsi terdapat di pulau Sumatra, yaitu provinsi Aceh, Riau dan Sumatera Selatan. Hasil-hasil utama pulau Sumatra ialah kelapa sawit, tembakau, minyak bumi, timah, bauksit, batu bara dan gas alam. Hasil-hasil bumi tersebut sebagian besar diolah oleh perusahaan-perusahaan asing.
Tempat-tempat penghasil barang tambang ialah:
Arun (Aceh), menghasilkan gas alam.
Pangkalan Brandan (Sumatera Utara), menghasilkan minyak bumi
Duri, Dumai, dan Bengkalis (Riau), menghasilkan minyak bumi.
Tanjung Enim (Sumatera Selatan), menghasilkan batu bara.
Lahat (Sumatera Selatan), menghasilkan batu bara.
Plaju dan Sungai Gerong (Sumatera Selatan), menghasilkan minyak bumi.
Tanjungpinang (Kepulauan Riau), menghasilkan bauksit.
Natuna dan Kepulauan Anambas (Kepulauan Riau), menghasilkan minyak bumi dan gas alam.
Singkep (Kepulauan Riau), menghasilkan timah.
Karimun (Kepulauan Riau), menghasilkan granit.
Indarung (Sumatera Barat), menghasilkan semen.
Sawahlunto (Sumatera Barat), menghasilkan batubara.
Beberapa kota di pulau Sumatra, juga merupakan kota perniagaan yang cukup penting. Medan kota terbesar di pulau Sumatra, merupakan kota perniagaan utama di pulau ini. Banyak perusahaan-perusahaan besar nasional yang berkantor pusat di sini.
Selain kota Medan, kota-kota besar lain di pulau Sumatra adalah:
^Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia telah disebutkan bahwa Sumatra adalah ejaan yang benar dalam bahasa Indonesia;[1] Namun, secara populer dieja dalam bahasa Indonesia yang tidak baku sebagai Sumatera.