Share to:

Keresidenan Jambi

Peta Keresidenan Jambi pada tahun 1909.

Keresidenan Jambi (1906–1957) adalah sebuah keresidenan yang pernah didirikan di wilayah Provinsi Jambi, Indonesia. Awalnya, Keresidenan Jambi dibentuk oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk menggantikan kekuasaan Kesultanan Jambi yang telah berakhir. Residen pertama yang mengatur pemerintahan di Keresidenan Jambi bernama Oscar Louis Helfrich.

Pada tanggal 4 Maret 1942, seluruh wilayah Keresidenan Jambi telah dikuasai oleh pasukan pendudukan Jepang di Hindia-Belanda. Struktur pemerintahan yang dibuat oleh Belanda di Keresidenan Jambi tetap dipertahankan oleh pasukan Jepang tetapi diadakan pengubahan nama dan pengurangan jumlah jabatan.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Komite Nasional Indonesia menetapkan Sagaf Yahya sebagai residen pertama untuk Keresidenan Jambi pada tanggal 3 September 1945. Keresidenan Jambi kemudian mulai mengadakan perdagangan menggunakan mata uang Rupiah ketika Inu Kertapati menjabat sebagai residen Jambi. Pada bulan April 1946, Keresidenan Jambi dimasukkan sebagai bagian dari Sub Provinsi Sumatera Tengah, Provinsi Sumatera. Lalu pada tahun 1948, Keresidenan Jambi menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah. Keresidenan Jambi kemudian berubah menjadi Provinsi Jambi pada tahun 1957 ketika Provinsi Sumatera Tengah dibagi menjadi tiga provinsi yang baru.

Sejarah

Masa Hindia Belanda

Sultan Thaha Syaifuddin (di bawah payung) bersama pengikutnya pada tahun 1904
Oscar Louis Helfrich, Residen Jambi yang pertama dalam masa pemerintahan Hindia Belanda.

Peperangan antara Kesultanan Jambi dan Belanda telah berlangsung selama masa kekuasaan Sultan Thaha Syaifuddin. Pada tanggal 26 April 1904, Sultan Thaha Syaifuddin gugur dan dimakamkan di Muara Tebo.[1] Setelah meninggalnya Sultan Thaha Syaifuddin, Belanda berhasil menguasai wilayah-wilayah Kesultanan Jambi. Wilayah-wilayah ini kemudian dibentuk sebagai Keresidenan Jambi dan menjadi bagian dari Hindia Belanda. Pada tanggal 4 Mei 1906, diterbitkan Keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Nomor 20 yang menetapkan Oscar Louis Helfrich sebagai Residen Jambi yang pertama. Pelantikannya diadakan pada tanggal 2 Juli 1906.[2]

Setelah meninggalnya Sultan Thaha Syaifuddin, Raden Mattaher masih melanjutkan peperangan Kesultanan Jambi melawan Belanda dengan mengikutsertakan panglima perang lainnya.[1] Namun pada tanggal 10 September 1907, Raden Mattaher gugur sehingga Belanda berhasil mengakhiri peperangan. Pasukan Belanda kemudian menghancurkan seluruh kompleks keraton Kesultanan Jambi yang berlokasi di lahan Masjid Agung Jambi. Setelah itu, seluruh bekas wilayah Kesultanan Jambi digabungkan dengan daerah Kerinci menjadi wilayah Keresidenan Jambi.[2]

Masa pendudukan Jepang

Pada tanggal 24 Februari 1942, Pasukan Udara Jepang berhasil menduduki Bengkulu yang sebelumnya telah ditinggalkan oleh pasukan Belanda. Pendudukan ini dilakukan dengan mengadakan serangan udara menggunakan pesawat pengebom. Pasukan Udara Jepang kemudian menduduki Bangko dan Rantau Panjang pada tanggal 26–27 Februari 1942 serta Muara Bungo pada tanggal 28 Februari 1942 untuk memasuki wilayah Keresidenan Jambi. Pada tanggal 2 Maret 1942, detasemen kedua dari pasukan Jepang yang dipimpin oleh Orita berhasil menguasai Muara Tebo. Detasemen ini kemudian menguasai Muara Rupit, Sarolangun dan Rawas. Pada tanggal 24 Februari, pasukan Jepang telah berhasil menduduki Kota Jambi.[3] Wilayah Keresidenan Jambi sepenuhnya dikuasai oleh pasukan Jepang pada tanggal 4 Maret 1942.[4]

Masa Pemerintah Indonesia

Pada tanggal 3 September 1945, Komite Nasional Indonesia mengadakan rapat umum pleno di Gedung Nanpo. Rapat ini menetapkan bahwa Pemerintah Indonesia menetapkan Sagaf Yahya sebagai residen di Keresidenan Jambi.[5] Pada bulan April 1946, diadakan Konferensi Komite Nasional Indonesia Seluruh Sumatera di Kota Bukittinggi. Konferensi ini menetapkan pembagian Provinsi Sumatera menjadi tiga sub provinsi yakni Sub Provinsi Sumatera Utara, Sub Provinsi Sumatera Tengah dan Sub Provinsi Sumatera Selatan. Masing-masing sub provinsi ini dipimpin oleh seorang gubernur muda. Dalam pembagian ini, Keresidenan Jambi menjadi bagian dari Sub Provinsi Sumatera Tengah yang ibu kotanya terletak di Kota Padang.[6]

Pada tahun 1948, Pemerintah Indonesia menetapkan pembentukan Provinsi Sumatera Tengah. Wilayah Keresidenan Jambi bersama dengan wilayah Keresidenan Riau dan Keresidenan Sumatera Barat ditetapkan menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah. Pada tahun 1957, terjadi pengambilalihan pemerintahan Provinsi Sumatera Tengah oleh Dewan Banteng. Pemerintah Indonesia di Jakarat kemudian menanggapi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1957. Peraturan ini menetapkan pembagian Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi baru, yakni Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Riau, dan Provinsi Jambi.[7]

Wilayah

Pada awal kemerdekaan Indonesia, Keresidenan Jambi menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Tengah.[8] Wilayah Keresidenan Jambi mencakup satu kota praja dan dua kabupaten yakni Kota Praja Jambi, Kabupaten Merangin dan Kabupaten Batanghari.[9] Ibu kota Keresidenan Jambi pada masa ini terletak di Kota Praja Jambi.[8]

Pemerintahan

Struktur pemerintahan Keresidenan Jambi yang dibuat oleh Belanda tetap dipertahankan oleh Jepang ketika memerintah di Indonesia sejak peralihan kekuasaan pada tanggal 9 Maret 1942. Namun Pemerintah Jepang melakukan penukaran nama wilayah dan pejabat di Keresidenan Jambi. Nama keresidenan yang dipimpin oleh residen diubah menjadi syu yang dipimpin oleh syucokan. Nama onderafdeling yang dipimpin oleh controleur diubah menjadi gun yang dipimpin oleh gunco. Nama onderdistrik yang dipimpin oleh asisten demang diubah menjadi son yang dipimpin oleh fuku gunco. Selain itu, Pemerintah Jepang menghilangkan jabatan asisten residen yang sebelumnya memimpin wilayah afdeling.[10]

Adapun nama Residen Jambi mulai dari masa Hindia Belanda hingga masa setelah kemerdekaan Indonesia adalah sebagai berikut:[11]

Masa Penjajahan Belanda
No. Nama Residen Dari Sampai
1. O.L. Helfrich 1906 1908
2. A.J.N. Engelenberg 1908 1910
3. Th. A.L. Heyting 1910 1913
4. AL. Kamerling 1913 1915
5. H.E.C. Quast 1915 1918
6. H.L.C Petri 1918 1923
7. C. Poortman 1923 1925
8. G.J. Van Dongen 1925 1927
9. H.E.K Ezerman 1927 1928
10. J.R.F Verschoor Van Niesse 1928 1931
11. W.S. Teinbuch 1931 1933
12. Ph. J. Van der Meulen 1933 1936
13. M.J. Ruyschaver 1936 1940
14. Reuvers 1940 1942
Masa Kemerdekaan Indonesia
No. Nama Dari Sampai
15. Sagaf Jahja 1945 1945
16. R. Inu Kertapati 1945 1950
17. Bachsan 1950 1953
18. Hoesin Puang Limbaro 1953 1954
19. R. Sudono 1954 1955
20. Djamin Datuk Bagindo 1955 1957

Perekonomian

Raden Inu Kertapati (paling kanan) selaku Residen Jambi ketika bersama pejabat Belanda.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Keresidenan Jambi merupakan pelabuhan terbuka yang menerapkan barter sebagai sistem perdagangan. Semua pembayaran wajib kepada negara dihitung dengan nilai tukar Dolar Singapura dalam kegiatan ekspor dan impor. Harga barang di Keresidenan Jambi ditentukan oleh harga perdagangan karet yang diperdagangkan menggunakan Dollar. Dewan Perwakilan Rakyat Keresidenan Jambi kemudian memberikan kemudahan dalam perdagangan makanan kepada para pedagang skala kecil dengan memberikan kuasa kepada pemerintah Keresidenan Jambi untuk mengadakan pencetakan uang secara fotokopi. Bentuk dari uang yang dicetak ialah kupon uang kertas dengan nilai mata uang Rupiah senilai Rp. 0,50, Rp. 1, Rp. 2,50, Rp. 5, dan Rp. 10.[12]

Keabsahaan uang kertas yang dicetak awalnya ditandai dengan keberadaan tanda tangan Inu Kertopati sebagai Residen Jambi di sisi kanan uang. Sementara di sisi kanan uang kertas harus terdapat tanda tangan dari salah satu anggota komisi percetakan uang. Namun cara ini kemudian dipermudah untuk menghemat waktu dan tenaga percetakan uang. Uang kertas dianggap sah cukup dengan adanya stempel Residen Jambi dan tanda tangan dari salah seorang anggota komisi percetakan uang untuk tiap nilai tertentu pada kupon.[13]

Pemanfaatan lahan

Pembangunan sekolah

Pada masa Hindia Belanda (1900–1928), Pemerintah Hindia Belanda mendirikan tiga jenis sekolah untuk pribumi di Keresidenan Jambi. Pertama, sekolah rakyat (Volkschoool) yang masa pendidikannya selama 3 tahun. Sekolah ini didirikan di desa-desa dalam wilayah Keresidenan Jambi. Kedua, sekolah dasar dengan masa pendidikan selama 5 tahun (Vervolgschool). Sekolah ini hanya didirikan di kawasan perkotaan pada tingkat onderafdeling di Keresidenan Jambi. Ketiga, Hollandsch-Inlandsche School (Sekolah Hindia Belanda) dengan masa pendidikan selama 7 tahun. Sekolah ini hanya didirikan di Kota Praja Jambi selaku ibu kota Keresidenan Jambi.[14]

Pendirian suaka margasatwa

Ketika Keresidenan Jambi masih menjadi bagian dari Hindia Belanda pada tahun 1935, ditetapkan pendirian suaka margasatwa bernama Suaka Margasatwa Berbak. Pendiriannya disahkan dengan penerbitan Staatsblad Nomor 521 Tahun 1935. Suaka Margasatwa Berbak ditetapkan seluas 190.000 ha.[15]

Lihat Juga

Referensi

Catatan kaki

  1. ^ a b Pradjoko dan Utomo 2013, hlm. 122.
  2. ^ a b Pradjoko dan Utomo 2013, hlm. 123.
  3. ^ Abubakar, dkk. 2020, hlm. 119-120.
  4. ^ Abubakar, dkk. 2020, hlm. 120.
  5. ^ Wiwik S., dan Tarigan 2006, hlm. 50.
  6. ^ Wiwik S., dan Tarigan 2006, hlm. 51-52.
  7. ^ Asnan, Gusti (2011). "Regionalisme, Historiografi, dan Pemetaan Wilayah: Sumatera Barat Tahun 1950-an". Dalam van Bemmelen, S., dan Raben, R. Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950‑an (Pembongkaran Narasi Besar Integrasi Bangsa). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia dan KITLV‑Jakarta. hlm. 110. 
  8. ^ a b Wiwik S., dan Tarigan 2006, hlm. 44.
  9. ^ Nazir, M., dkk. (1993). Ghazali, Zulfikar, ed. Sejarah Pengaruh Pelita terhadap Kehidupan Masyarakat Pedesaan di Daerah Jambi (PDF). Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional. hlm. 9. 
  10. ^ Wiwik S., dan Tarigan 2006, hlm. 39-40.
  11. ^ "Profil Sejarah - PEMDA JAMBI". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2012-04-25. Diakses tanggal 2012-04-02. 
  12. ^ Wiwik S., dan Tarigan 2006, hlm. 55-56.
  13. ^ Wiwik S., dan Tarigan 2006, hlm. 56.
  14. ^ Wiwik S., dan Tarigan 2006, hlm. 47.
  15. ^ Kusumasumantri, Pandji Yudistira (Maret 2022). Peranan Sultan dan Raja dalam Sejarah Konservasi Alam Indonesia (PDF). Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem. hlm. 55. ISBN 978-623-5273-02-0. 

Daftar pustaka

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya