Laut China Selatan atau Laut Tiongkok Selatan adalah laut bagian tepi dari Samudra Pasifik, yang membentang dari Selat Karimata dan Selat Malaka, hingga Selat Taiwan dengan luas kurang lebih 3.500.000 km². Laut ini berpotensi besar strategis karena sepertiga perlintasan laut berlalu lalang di sana. Laut ini juga memiliki kekayaan biota laut yang mampu menopang kebutuhan pangan jutaan orang di Asia Tenggara sekaligus cadangan minyak dan gas alam yang besar.[1]
Akan tetapi, menurut draf tak resmi edisi ke-4 (1986),[3] Organisasi Hidrografi Internasional mengusulkan pembentukan Laut Natuna sehingga batas selatan Laut Tiongkok Selatan dipindahkan ke utara dari sebelah utara Kepulauan Bangka Belitung, ke sebelah utara dan timur laut Kepulauan Natuna.[4]
Kepulauan Laut Tiongkok Selatan terdiri atas sekian ratus pulau kecil. Laut beserta sebagian besar pulau tak berpenghuni diperebuti oleh berbagai negara. Klaim-klaim kedaulatan ini terbukti dari beragamnya nama yang diberikan untuk pulau-pulau dan laut ini.
Nama
South China Sea adalah istilah dominan yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut laut ini. Nama dalam rata-rata bahasa Eropa juga mengikuti penamaan dalam bahasa Inggris. Nama ini muncul ketika bangsa Eropa menggunakan laut ini sebagai rute pelayaran dari Eropa dan Asia Selatan ke pos-pos dagang di Tiongkok. Pada abad ke-16, pelayar Portugal menggunakan sebutan Laut Tiongkok (Mare da China). Nama Laut Tiongkok Selatan digunakan untuk membedakannya dari badan air lain di dekatnya, seperti Laut Tiongkok Timur.[5]Organisasi Hidrografi Internasional menyebut laut ini "South China Sea (Nan Hai)".[2]
Yizhoushu, kronik dinasti Zhou Barat (1046–771 BCE), memberi nama Nanfang Hai (Hanzi: 南方海; Pinyin: Nánfāng Hǎi; harfiah: 'Southern Sea') untuk Laut Tiongkok Selatan dan mengeklaim bahwa orang barbar dari laut tersebut memberi upeti kura-kura laut kepada para penguasa Zhou.[6] Sastra klasik Classic of Poetry, Zuo Zhuan, dan Guoyu pada periode Musim Semi dan Gugur (771–476 BCE) menggunakan nama Nan Hai (Hanzi: 南海; Pinyin: Nán Hǎi; harfiah: 'South Sea') saat menjelaskan ekspedisi negara Chu ke sana.[6] Nan Hai, Laut Selatan, adalah satu dari Empat Lautan dalam sastra Tiongkok. Empat Lautan ini mengacu pada empat arah mata angin.[7] Semasa dinasti Han Timur (23–220 CE), penguasa Tiongkok menyebut laut ini Zhang Hai (Hanzi: 漲海; Pinyin: Zhǎng Hǎi; harfiah: 'distended sea').[6]Fei Hai (Hanzi: 沸海; Pinyin: Fèi Hǎi; harfiah: 'boil sea') populer pada masa Dinasti Selatan dan Utara. Nama Mandarin yang digunakan sekarang, Nan Hai (Laut Selatan), mulai populer pada masa Dinasti Qing.[8]
Di Asia Tenggara, laut ini dulu disebut Laut Champa atau Laut Cham. Namanya berasal dari kerajaan maritim Champa yang berjaya di sana sebelum abad ke-16.[9] Sebagian besar laut ini dikuasai Jepang pada masa Perang Dunia II usai pendudukan militer di Asia Tenggara pada tahun 1941. Jepang menyebut laut ini Minami Shina Kai (Laut Tiongkok Selatan). Nama ini ditulis 南支那海 hingga 2004 ketika Kementerian Luar Negeri Jepang dan departemen lainnya menggunakan tulisan 南シナ海 dan dijadikan standar di Jepang sejak saat itu.
Laut ini diberi nama "Laut Selatan" (南海/Nánhǎi) dan "Laut Timur" (Biển Đông) di Vietnam.[10][11][12] Di Malaysia, Indonesia, dan Filipina, laut ini sudah lama disebut "Laut Tiongkok Selatan" (Dagat Timog Tsina dalam bahasa Tagalog, Laut Tiongkok Selatan dalam bahasa Indonesia). Perairan di dalam wilayah Filipina sering disebut "Laut Luzon" (Dagat Luzon) oleh pemerintah Filipina.[13] Namun demikian, usai eskalasi sengketa Kepulauan Spratly tahun 2011, berbagai lembaga pemerintah Filipina mulai menggunakan nama "Laut Filipina Barat". Juru bicara PAGASA mengatakan bahwa laut di sebelah timur Filipina akan terus disebut Laut Filipina.[14]
Pada September 2012, Presiden Filipina Benigno Aquino III menandatangani Perintah Administratif No. 29 yang mewajibkan semua badan pemerintah menggunakan nama "Laut Filipina Barat" untuk menyebut sebagian Laut Tiongkok Selatan yang masuk zona ekonomi eksklusif Filipina dan memerintahkan National Mapping and Resource Information Authority (NAMRIA) untuk menggunakan nama ini di peta-peta resmi.[15]
Pada Juli 2017, untuk menegaskan kedaulatannya, Indonesia mengganti nama batas utara zona ekonomi eksklusifnya di Laut Tiongkok Selatan menjadi "Laut Natuna Utara" yang terletak di sebelah utara Kepulauan Natuna, berbatasan dengan ZEE selatan Vietnam dan bagian selatan Laut Tiongkok Selatan.[16] Laut Natuna terletak di selatan Pulau Natuna di dalam perairan Indonesia.[17] Dengan ini, Indonesia telah memberi nama untuk dua perairan yang menjadi bagian dari Laut Tiongkok Selatan, yaitu Laut Natuna di antara Kepulauan Natuna dengan Kepulauan Lingga dan Kepulauan Tambelan dan Laut Natuna Utara di antara Kepulauan Natuna dan Tanjung Cà Mau di ujung selatan Delta Mekong di Vietnam.
Dalam "Limits of Oceans and Seas, 3rd edition" (1953) yang dirilis Organisasi Hidrografi Internasional, batas rinci Laut Tiongkok Selatan sebagai berikut:[2]
Timur. Dari Tanjong Sambar hingga pesisir barat Kalimantan ke Tanjong Sampanmangio, titik utara, lalu merentang ke titik barat Pulau Balabac dan Secam Reef hingga titik barat Pulau Bancalan dan Tanjung Buliluyan, titik barat daya Palawan, melintas pulau ini ke arah Cabuli Point, titik utara, kemudian ke titik barat laut Pulau Busuanga dan ke Tanjung Calavite di pulau Mindoro, ke titik barat laut Pulau Lubang dan ke Point Fuego (14°08'N) di Pulau Luzon, melintas pulau ini ke Tanjung Engano, titik timur laut Luzon, merentang ke titik timur Pulau Balintang (20°N) dan ke titik timur Pulau Y'Ami (21°05'N), kemudian ke Garan Bi, titik selatan Taiwan (Formosa), melintas pulau ini ke Santyo (25°N), titik timur lautnya.
Akan tetapi, dalam edisi revisi "Limits of Oceans and Seas, 4rd edition" (1986), Organisasi Hidrografi Internasional mengakui pembentukan Laut Natuna. Karena itu, batas selatan Laut Tiongkok Selatan dipindahkan dari Kepulauan Bangka Belitung ke Kepulauan Natuna.[4]
Laut ini terletak di atas landas kontinen yang tenggelam. Selama zaman es terakhir, permukaan laut global lebih rendah beberapa ratus meter dan Kalimantan masih menjadi bagian dari daratan Asia.
Laut Tiongkok Selatan terbuka sekitar 45 juta tahun yang lalu ketika "Dangerous Ground" terlepas dari Tiongkok selatan. Perluasan dasar laut terjadi sekitar 30 juta tahun yang lalu. Proses yang meluar ke barat daya ini membentuk cekungan berbentuk V yang bertahan sampai sekarang. Perluasan berakhir sekitar 17 juta tahun yang lalu.[18] Peran ekstrusi tektonik dalam pembentukan cekungan ini masih dipelajari. Paul Tapponnier dan rekan-rekannya berpendapat bahwa ketika India bergabung dengan Asia, anak benua tersebut mendorong Indocina ke tenggara. Gesekan relatif antara Indocina dan Tiongkok menyebabkan Laut Tiongkok Selatan terbentuk.[19] Pandangan ini diragukan oleh beberapa geolog[siapa?] yang tidak menganggap Indocina berpindah jauh dari Asia daratan. Kajian geofisika laut di Teluk Tonkin oleh Peter Clift menunjukkan bahwa Patahan Sungai Merah dulunya aktif dan menyebabkan formasi cekungan sekitar 37 tahun yang lalu di barat laut Laut Tiongkok Selatan, sesuai dengan ekstrusi yang ikut mendorong terbentuknya laut ini. Sejak terbentuk, Laut Tiongkok Selatan telah menyimpan sedimen yang dikirim dari Sungai Mekong, Sungai Merah dan Sungai Mutiara. Beberapa delta di daerah ini kaya akan cadangan minyak dan gas.
Laut Tiongkok Selatan memiliki lebih dari 250 pulau, atol, kay, gosong pasir, dan terumbu. Sebagian besar di antaranya tidak berpenghuni. Banyak di antaranya tenggelam saat laut pasang. Beberapa di antaranya tenggelam permanen. Fitur-fitur geografis ini dikelompokkan ke dalam tiga kepulauan (diurutkan menurut luas), Macclesfield Bank dan Scarborough Shoal:
Kepulauan Spratly tersebar di wilayah seluas 810x900 km dan terdiri atas kurang lebih 175 bentuk pulau yang dapat diidentifikasi. Pulau terbesar dalam gugus Spratly adalah Pulau Taiping (Itu Aba) dengan panjang 1,3 km dan ketinggian 3,8 meter.
Fitur geografis terbesar di Kepulauan Spratly adalah gunung lautReed Tablemount selebar 100 km, juga dikenal dengan nama Reed Bank, di timur laut Spratly dan terpisah dari Pulau Palawan oleh Palung Palawan. Reed Tablemount saat ini tenggelam dengan kedalaman 20 m. Dulunya gunung laut ini merupakan pulau hingga 7,000 tahun yang lalu akibat kenaikan permukaan laut pascazaman es terakhir. Dengan luas 8.866 km², gunung laut ini merupakan struktur atol tenggelam terbesar di dunia.
Sumber daya alam
Laut Tiongkok Selatan adalah badan air yang sangat penting secara geopolitik. Laut ini merupakan jalur air tersibuk kedua di dunia. Menurut tonase kapal kargo tahunan dunia, lebih dari 50% kapal kargo melintasi Selat Malaka, Selat Sunda, dan Selat Lombok. Lebih dari 1,6 juta m³ (10 juta barel) minyak mentah per hari melewati Selat Malaka. Meski sering ada laporan pembajakan laut, jumlah insidennya lebih sedikit dibandingkan ketika pertengahan abad ke-20.
Kawasan ini memiliki cadangan minyak bumi terbukti sebesar 1,2 km³ (7,7 miliar barel) dengan perkiraan total 4,5 km³ (28 miliar barel). Cadangan gas alamnya diperkirakan sebesar 7.500 km³ (266 triliun kaki kubik). Laporan U.S. Energy Information Administration tahun 2013 menaikkan perkiraan total cadangan minyak di sana menjadi 11 miliar barel.[20] Pada tahun 2014, Tiongkok memulai pencarian minyak di perairan yang dipersengketakan dengan Vietnam.[21]
Menurut kajian Departemen Lingkungan dan Sumber Daya Alam Filipina, badan air ini memiliki sepertiga keragaman hayati laut dunia. Karena itu, Laut Tiongkok Selatan merupakan daerah yang sangat penting bagi ekosistem. Akan tetapi, populasi ikan di daerah ini semakin berkurang dan negara-negara yang berbatasan dengan laut ini menerapkan larangan penangkapan ikan untuk mempertegas klaim kedaulatannya.[22]
Perairan Indonesia sering disusupi kapal-kapal nelayan dari Vietnam dan Filipina. Sebagai hukuman, Indonesia menghancurkan kapal-kapal yang tertangkap.[23]
Tiongkok mengumumkan terobosan baru dalam penambangan klatrat metana pada Mei 2017 ketika mereka menambang cadangan metana dari hidrat di Laut Tiongkok Selatan.[24][25]
Beberapa negara memilki klaim wilayah yang saling bertentangan di Laut Tiongkok Selatan. Sengketa ini dianggap sebagai potensi konflik paling berbahaya di Asia.
Baik Republik Rakyat Tiongkok (RRC) dan Republik Tiongkok (ROC, biasa disebut Taiwan) mengeklaim hampir seluruh laut ini dan menggambar perbatasan sembilan garis putus-putus.[26]
Klaim Tiongkok bertindihan dengan hampir semua klaim negara di kawasan ini. Klaim-klaim tersebut meliputi:
Indonesia, Tiongkok, dan Taiwan atas perairan di timur laut Kepulauan Natuna
Vietnam, Tiongkok, dan Taiwan atas perairan di barat Kepulauan Spratly. Beberapa atau semua pulau diperebutkan oleh Vietnam, Tiongkok, Taiwan, Brunei, Malaysia, dan Filipina.
Malaysia, Kamboja, Thailand, dan Vietnam atas perairan di Teluk Thailand.
Singapura dan Malaysia atas perairan sekitar Selat Johor dan Selat Singapura.
Tiongkok dan Vietnam dengan sengit memperebutkan klaim mereka. Tiongkok (beberapa masa pemerintahan) dan Vietnam Selatan masing-masing menguasai sebagian Kepulauan Paracel hingga 1974. konflik singkat tahun 1974 menewaskan 18 tentara Tiongkok dan 53 tentara Vietnam. Sejak itu, Tiongkok menguasai seluruh Kepulauan Paracel. Kepulauan Spratly pernah menjadi tempat terjadinya pertempuran laut yang menewaskan 70 tentara Vietnam di sebelah selatan Chigua Reef pada Maret 1998. Berbagai negara sering melaporkan terjadinya perselisihan antara kapal militer.[butuh rujukan]
ASEAN pada umumnya dan Malaysia secara spesifik ingin agar sengketa wilayah di Laut Tiongkok Selatan tidak bereskalasi menjadi konflik bersenjata. Karena itu, Joint Development Authorities dibentuk di wilayah klaim tumpang tindih untuk mengembangkan daerah tersebut dan membagi hasilnya dengan adil tanpa menyelesaikan isu kedaulatan atas wilayah tersebut. Metode ini pernah diterapkan di Teluk Thailand. Umumnya, Tiongkok ingin menyelesaikan sengketa secara bilateral,[27] sedangkan sejumlah negara ASEAN memilih diskusi multilateral,[28] ASEAN yakin bahwa mereka dirugikan dalam negosiasi bilateral dengan Tiongkok yang lebih besar. Karena banyak negara mengeklaim wilayah yang sama, ASEAN merasa diskusi multilateral mampu menyelesaikan klaim-klaim yang saling bertindihan.[29]
Klaim yang bertindihan atas Pedra Branca atau Pulau Batu Putih yang mencakup Middle Rocks oleh Singapura dan Malaysia diselesaikan oleh Mahkamah Internasional pada tahun 2008. Dalam putusannya, Pedra Branca/Pulau Batu Puteh diserahkan kepada Singapura dan Middle Rocks ke Malaysia.
Pada Juli 2010, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, meminta Republik Rakyat Tiongkok menyelesaikan sengketa wilayah ini. Tiongkok merespons dengan meminta AS tidak ikut campur. Tanggapan ini muncul ketika kedua negara melakukan latihan militer di laut yang sama-sama meningkatkan ketegangan di kawasan.[butuh rujukan]Departemen Pertahanan Amerika Serikat merilis pernyataan pada tanggal 18 Agustus yang menolak penggunaan kekerasan dalam penyelesaian konflik dan menuduh Tiongkok menerapkan perilaku asertif.[butuh rujukan] Tanggal 22 Juli 2011, salah satu kapal amfibi India, INS Airavat yang sedang dalam kunjungan persahabatan ke Vietnam, kabarnya dikontak melalui saluran radio terbuka oleh sebuah kapal yang mengaku Angkatan Laut Tiongkok 45 mil laut dari pesisir Vietnam. Kapal tersebut menyatakan bahwa kapal India memasuki perairan Tiongkok.[30][31] Juru bicara Angkatan Laut India mengklarifikasi bahwa karena tidak ada kapal atau pesawat yang terlihat dari INS Airavat, kapal ini melanjutkan pelayarannya sesuai jadwal. Angkatan Laut India juga menyatakan bahwa, "tidak ada konfrontasi yang melibatkan INS Airavat. India mendukung kebebasan navigasi di perairan internasional, termasuk Laut Tiongkok Selatan, dan hak berlayar menurut prinsip-prinsip hukum internasional yang disepakati. Prinsip-prinsip ini harus dipatuhi oleh semua pihak." [30]
Pada bulan September 2011, tidak lama setelah Tiongkok dan Vietnam menandatangani perjanjian yang berusaha meredam sengketa di Laur Tiongkok Selatan, perusahaan eksplorasi milik negara, Oil and Natural Gas Corporation (ONGC), mengatakan bahwa lengan investasi luar negeri ONGC Videsh Limited telah menandatangani kesepatakan tiga tahun dengan PetroVietnam untuk mengembangkan kerja sama jangka panjang di sektor minyak[32] dan menetima tawaran eksplorasi Vietnam di beberapa blok di Laut Tiongkok Selatan.[33] Menanggapi hal tersebut, juru bicara Kementerian Luar Negeri Tiongkok, Jiang Yu, mengeluarkan nota protes.[34][35] Juru bicara Kementerian Luar Negeri India merespons, "Tiongkok punya alasannya sendiri, tetapi kami berpihak pada pernyataan pemerintah Vietnam dan telah meneruskannya ke pemerintah Tiongkok.”[34] Kesepakatan India-Vietnam ini juga ditentang oleh Global Times, surat kabar pemerintah.[33][35]
Pada tahun 1999, Taiwan mengeklaim semua pulau di Laut Tiongkok Selatan di bawah pemerintahan Lee Teng-hui.[36] Lapisan bawah tanah, dasar laut, dan perairan Paracel dan Spratly diklaim oleh Taiwan.[37]
Tahun 2012 dan 2013, Vietnam dan Taiwan berselisih karena Taiwan melaukan latihan militer anti-Vietnam.[38]
Bulan Mei 2014, Tiongkok mendirikan anjungan minyak di dekat Kepulauan Paracel dan memicu beberapa insiden antara kapal Vietnam dan Tiongkok.[39][40]
Tahun 2017, sejumlah analis memperkirakan Amerika Serikat pada masa pemerintahan Donald Trump akan mengambil langkah yang lebih agresif terhadap Tiongkok di Laut Tiongkok Selatan.[41]
Pada Januari 2013, Filipina secara resmi memulai proses arbitrase melawan klaim Tiongkok atas wilayah di dalam "garis sembilan titik", mencakup Kepulauan Spratly, yang dinilai tidak sah menurut Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNCLOS).[42][43] Pada tanggal 12 Juli 2016, pengadilan arbitrase mendukung Filipina dengan alasan tidak ada bukti bahwa Tiongkok sudah lama menguasai perairan atau sumber daya alam di sana secara eksklusif. Karena itu, "tidak ada dasar hukum bagi Tiongkok untuk mengeklaim hak historis" atas garis sembilan titik.[44][45] Pengadilan juga mengkritik proyek reklamasi lahan dan pembangunan pulau oleh Tiongkok di Kepulauan Spratly karena menyebabkan "kerusakan parah terhadap lingkungan terumbu karang".[46] Pengadialn juga menggolongkan Pulau Taiping dan bentuk-bentuk geografis lain di Kepulauan Spratly sebagai "bebatuan" menurut UNCLOS sehingga tidak pantas masuk zona ekonomi eksklusif sejauh 200 mil laut.[47] Tiongkok menolak putusan tersebut karena "berniatan buruke".[48] Taiwan, yang saat ini menguasai Pulau Taiping, pulau terbesar di Kepulauan Spratly, juga menolak putusan ini.[49]
^Tønnesson, Stein (2005). "Locating the South China Sea". Dalam Kratoska, Paul H.; Raben, Remco; Nordholt, Henk Schulte. Locating Southeast Asia: Geographies of Knowledge and Politics of Space. Singapore University Press. hlm. 204. ISBN9971-69-288-0. The European name 'South China Sea' ... is a relic of the time when European seafarers and mapmakers saw this sea mainly as an access route to China ... European ships came, in the early 16th century, from Hindustan (India) ... The Portuguese captains saw the sea as the approach to this land of China and called it Mare da China. Then, presumably, when they later needed to distinguish between several China seas, they differentiated between the 'South China Sea', ...
^ abcShen, Jianming (2002). "China's Sovereignty over the South China Sea Islands: A Historical Perspective". Chinese Journal of International Law. 1 (1): 94–157.
^Trần Tất Thắng, Tống Duy Thanh, Vũ Khúc, Trịnh Dánh, Đào Đình Thục, Trần Văn Trị and Lê Duy Bách (2000). Lexicon of Geological Units of Viet Nam. Department of Geology and Mineral of Việt Nam.Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
Beckman, Robert et al. (eds.) (2013). Beyond Territorial Disputes In The South China Sea: Legal Frameworks for the Joint Development of Hydrocarbon Resources. Edward Elgar. ISBN978 1 78195 593 2.Pemeliharaan CS1: Teks tambahan: authors list (link)
South China Sea Virtual Library - online resource for students, scholars and policy-makers interested in South China Sea regional development, environment, and security issues.