Tulisan pseudopigrafa Yahudi dari abad ke-1 yang dikenal sebagai Perjanjian Abraham berisi suatu laporan yang jelas mengenai penghakiman khusus, yang melaluinya jiwa-jiwa pergi menuju pintu lebar kehancuran ataupun pintu sempit keselamatan. Dalam laporan tersebut, hanya satu di antara tujuh ribu jiwa yang memperoleh keselamatan. Perjanjian Abraham tidak dipandang sebagai sebuah tulisan suci oleh kelompok Yahudi atau Kristen mana pun.
Perjanjian Baru
Banyak kalangan Kristen meyakini bahwa orang yang meninggal dunia dihakimi segera setelah wafatnya dan menunggu hari penghakiman dalam kedamaian ataupun siksaan berdasarkan cara mereka menafsirkan beberapa perikop kunci Perjanjian Baru.[1] Dalam Lukas 16:19–31, tampak bahwa Kristus menunjukkan Lazarus dan Orang Kaya menerima imbalan mereka masing-masing sesaat setelah mereka wafat. Dalam hal ini, figur-figur tersebut dipandang sebagai jenis manusia yang dibenarkan dan manusia berdosa. Bagi pencuri yang bertobat (lih. Dismas), dijanjikan bahwa jiwanya akan meninggalkan tubuhnya dalam keadaan diberkati: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." (Lukas 23:43) Penentang doktrin ini menunjukkan bahwa tidak ada tanda baca dalam bahasa asli teks tersebut, sehingga "hari ini" dapat saja merujuk pada waktu Kristus mengatakan hal itu bukannya waktu mereka memasuki firdaus.[a]Rasul Paulus umumnya menggambarkan keadaan meninggal dunia sebagai keadaan tidur menunggu kebangkitan dari tubuh yang dimuliakan (1 Tesalonika 4:13–18),[1] dan (dalam 2 Korintus 5) kerinduan untuk meninggalkan tubuh yang dikenakan di dunia ini agar dapat hadir di hadapan Tuhan, secara jelas memahami wafat sebagai pintu masuk untuk menerima imbalan pada waktu yang tidak ia definisikan kapan.
Dalam Markus 12:26-27, Yesus mengatakan akan adanya kebangkitan, bertentangan dengan kaum Saduki yang mengatakan bahwa tidak ada kebangkitan. Beberapa kalangan Kristen percaya bahwa kematian dari dunia ini merupakan suatu periode dormansi, atau tidur dalam tubuh, atau suatu keadaan antara, di Bumi, ataupun dalam Pangkuan Abraham, yang di dalamnya tidak ada kesadaran dan belum ada aktivitas Surgawi —tidak ada penghakiman, tidak ada perjalanan menuju surga ataupun neraka. Interpretasi mereka didasari pada beberapa perikop Perjanjian Lama seperti: "Orang yang mati tak tahu apa-apa, ... bahkan kenangan kepada mereka sudah lenyap" (Pengkhotbah 9:5); "Sebab di dalam maut tidaklah orang ingat kepada-Mu; siapakah yang akan bersyukur kepada-Mu di dalam dunia orang mati?" (Mazmur 6:5); "Bukan orang-orang mati akan memuji-muji TUHAN, dan bukan semua orang yang turun ke tempat sunyi" (Mazmur 11:17); "Sebab dunia orang mati tidak dapat mengucap syukur kepada-Mu, dan maut tidak dapat memuji-muji Engkau" (Yesaya 38:18). Mereka merasa tidak ada perjalanan menuju surga berdasarkan cara mereka menafsirkan Injil Yohanes pasal 3, ayat 13, yang menyatakan bahwa "Tidak ada seorangpun yang telah naik ke sorga", dan "bukan Daud yang naik ke sorga" (Kisah 2:34), serta "Langit itu langit kepunyaan TUHAN, dan bumi itu telah diberikan-Nya kepada anak-anak manusia" (Mazmur 115:16). Mereka percaya bahwa orang-orang Kristen itu wafat dan akan bangkit kembali, "telah mati sebagai orang-orang yang tidak memperoleh apa yang dijanjikan itu, tetapi yang hanya dari jauh melihatnya dan melambai-lambai kepadanya" (Ibrani 11:13). Menurut pandangan tersebut, terdapat Penghakiman ketika "malaikat yang ketujuh meniup sangkakalanya", saat "amarah-Mu telah datang dan saat bagi orang-orang mati untuk dihakimi dan untuk memberi upah kepada hamba-hamba-Mu" (Wahyu 11:15–18). Lihat pula Dunia yang akan datang.
Tulisan Kristen awal
Beberapa Bapa Gereja awal, sepertinya termasuk Yustinus Martir, Ireneus, dan Klemens dari Aleksandria, meyakini bahwa pada umumnya orang yang telah wafat tidak memasuki surga hingga Hari Penghakiman, dan selama jarak waktu antara wafat dan kebangkitan mereka berbahagia dalam suatu kediaman yang menyenangkan, menunggu pemuliaan akhir mereka. Namun, mereka mengakui bahwa terdapat pengecualian bagi para martir dan beberapa golongan orang kudus (santo/santa) lainnya, yang diakui segera menerima sukacita tertinggi surga.[2]
Menurut teologi dogmatis Ortodoks, setelah "penghakiman khusus" ini jiwa mengalami semacam rasa pendahuluan dari kebahagiaan ilahi ataupun siksaan abadi yang menantinya setelah kebangkitan.[3]
Tertulianus (ca 200) menulis bahwa, bahkan sebelum penghakiman terakhir, jiwa "mengalami hukuman dan penghiburan dalam Hades selama selang waktu tersebut, sambil menantikan pilihan dari penghakiman, sebagai suatu pendahuluan yang telah dipastikan dari kekelaman ataupun kemuliaan".[4]
Hippolitus dari Roma menggambarkan suatu penghakiman khusus yang dialami jiwa-jiwa di Hades, yang melaluinya orang benar ditetapkan pada "suatu posisi yang dipenuhi cahaya" dan orang yang tidak benar "dipaksa turun ke bagian-bagian bawah".[5]
Agustinus dari Hippo (wafat tahun 430), salah seorang Bapa Gereja Latin, menulis bahwa bagian insani dari kota Allah (berbeda dengan bagian yang terdiri dari para malaikat) "tinggal sementara di bumi, ataupun, bagi mereka yang telah wafat, beristirahat dalam kediaman-kediaman dan penampungan-penampungan rahasia roh-roh tanpa tubuh".[6] Ia mengatakan bahwa orang-orang dihakimi pada saat mereka wafat dan dikelompokkan dalam 4 kelompok: kediaman mereka yang benar-benar saleh, seperti para santo/santa dan martir, adalah Firdaus; mereka yang dipastikan jahat dikutuk dengan hukuman kekal di neraka; kedua kelompok di tengah-tengahnya, yang tidak benar-benar jahat dan tidak benar-benar baik, dapat dibantu dengan doa mereka yang masih hidup di dunia ini, kendati bagi yang pertama disebutkan tampaknya penyesalan dan doa-doa orang yang hidup di dunia ini menciptakan suatu neraka "yang lebih dapat ditolerir", sedangkan bagi yang disebutkan belakangan akan melewati suatu api penitensial sebelum memasuki surga pada saat Penghakiman Terakhir. Gagasan tersebut berpengaruh dalam Kekristenan Barat hingga abad ke-12 dan seterusnya.[7]
Dalam Kekristenan Barat, arwah mengawali takdir abadi mereka setelah wafat, baik langsung seketika ataupun setelah dimurnikan dalam purgatorium. Pada hari penghakiman, arwah dipersatukan kembali dengan tubuhnya dan takdir abadi mereka berlanjut.
Konsep-konsep abad pertengahan
Venerabilis Beda (ca 700) mencatat laporan seorang laki-laki yang telah meninggal dunia dan melihat kehidupan setelah kematian, yang kemudian kembali ke kehidupan ini untuk menceritakannya. Menurut penglihatan akan penghakiman khusus tersebut, terdapat empat keadaan yang di dalamnya arwah ditempatkan: yang terkutuk selamanya di neraka, mereka yang akan memasuki surga pada hari penghakiman namun menjalani hukuman sementara, mereka yang memasuki surga pada hari penghakiman namun berada dalam kondisi damai, dan mereka yang sudah cukup murni untuk memasuki surga.[8]
Dalam suplemen Summa Theologiae, seorang murid dari Thomas Aquinas berpendapat bahwa jiwa berangkat menuju surga ataupun neraka seketika setelah wafatnya, "kecuali tertahan oleh beberapa tanggungan, sehingga perjalanannya harus ditunda sampai jiwa ditahirkan terlebih dahulu."[9]
Pada tahun 1336, Paus Benediktus XII (1334–1342) mengeluarkan BullaBenedictus Deus[10] untuk mengonfirmasikan ajaran bahwa jiwa-jiwa setelah wafatnya segera menerima balas jasa ataupun hukuman mereka, mengakhiri suatu perdebatan yang disebabkan oleh Paus Yohanes XXII (1316–1334) pendahulunya, yang secara pribadi sempat berpendapat bahwa jiwa-jiwa yang murni sekalipun akan tertunda untuk menikmati visiun beatifis ("pandangan yang membahagiakan").[11]
Sejak sekitar tahun 1300, timbul istilah Limbo Para Bayi, yang berkembang sejalan dengan Limbo Para Bapa (kediaman sementara para Bapa dalam Hades sambil menantikan kedatangan Kristus), tetapi dianggap berlangsung selamanya. Berbeda dengan Neraka Terkutuk, Limbo dipandang sebagai suatu kediaman tempat jiwa-jiwa menikmati kebahagiaan alamiah dan tidak mengalami hukuman apapun selain ketiadaan visiun beatifis. Walaupun gagasan mengenai Limbo dipegang secara teologis, tetapi gagasan itu tidak pernah ditetapkan sebagai bagian dari doktrin Katolik.
Konsep Protestan
Yohanes Calvin berpendapat bahwa orang-orang yang telah meninggal dunia berada dalam keadaan sadar atau terjaga ketika menantikan Hari Penghakiman, baik dalam kebahagiaan ataupun siksaan tergantung pada takdir mereka.[12]
Agama-agama selain Kristen
Dengan timbulnya kultus Osiris selama periode Kerajaan Pertengahan (ca 2040–1640 SM) di Mesir Kuno, "demokratisasi agama" ditawarkan bagi para pengikutnya yang paling sederhana sekalipun; kemungkinan adanya kehidupan kekal, dan kecocokan moral, menjadi faktor dominan dalam menentukan kesesuaian seseorang. Pada saat wafatnya, seseorang menghadapi penghakiman oleh suatu pengadilan yang terdiri dari empat puluh dua hakim ilahi. Jika ia menjalani hidup dalam kepatuhan pada ajaran-ajaran Dewi Maat, yang merepresentasikan kebenaran dan hidup benar, orang tersebut disambut dalam Kerajaan Osiris. Jika terbukti bersalah, ia dilemparkan ke suatu "penelan" (devourer) dan tidak menerima bagian dalam kehidupan abadi.[13] Orang yang diambil oleh penelan tersebut pertama-tama mengalami hukuman menakutkan dan kemudian dimusnahkan. Penggambaran-penggambaran hukuman itu mungkin telah mempengaruhi persepsi-persepsi pada abad pertengahan mengenai inferno dalam neraka melalui teks-teks Koptik dan Kristen.[14] Pemurnian bagi mereka yang dianggap benar dapat ditemukan dalam deskripsi-deskripsi "Pulau Api", tempat mereka mengalami kemenangan atas kejahatan dan kelahiran kembali. Bagi mereka yang terkutuk, kehancuran total dalam suatu keadaan tak berwujud menanti mereka, tetapi tidak ada penjelasan mengenai penyiksaan abadi.[15][16] Pengampunan ilahi pada saat penghakiman senantiasa menjadi suatu perhatian utama bagi bangsa Mesir Kuno.[17]
Dalam Mitos Er rekaannya, Plato (ca 400 SM) menulis bahwa setiap jiwa dihakimi setelah wafatnya dan dikirim ke surga untuk menerima suatu imbalan ataupun ke dunia bawah untuk menerima hukuman. Setelah menerima imbalan atau hukumannya, jiwa mengalami reinkarnasi. Ia juga mendeskripsikan penghakiman jiwa segera setelah wafatnya dalam dialog karyanya yang berjudul Gorgias.
Menurut teks Zoroaster abad ke-9 berjudul Dadestan-i Denig ("Keputusan-Keputusan Religius"), suatu jiwa dihakimi tiga hari setelah wafatnya. Berdasarkan pada keseimbangan perbuatan-perbuatan baik dan buruknya, jiwa pergi menuju surga, neraka, ataupun suatu tempat netral yang disebut hamistagan. Dalam tempatnya yang sesuai, jiwa tersebut menantikan Hari Penghakiman.
Dalam Islam, Malaikat Munkar dan Nakir menguji keyakinan jiwa yang baru saja meninggal dunia, yang kemudian tetap berada dalam kuburnya dalam keadaan nikmat ataupun tersiksa sampai Hari Kiamat.
Catatan
^Jika mengikuti terjemahan Inggris teksnya dapat disusun menjadi: "Sesungguhnya, Aku berkata kepadamu, hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus."