Rangkong gading atau Enggang gading (Rhinoplax vigil) adalah burung berukuran besar dari famili Bucerotidae.
Persebaran
Burung ini ditemukan di Semenanjung Malaya, Sumatra, dan Kalimantan. Burung ini juga menjadi maskot Provinsi Kalimantan Barat, dan termasuk dalam jenis fauna yang dilindungi undang-undang. Di seluruh dunia terdapat 54 jenis burung rangkong. Burung rangkong mempunyai sebaran mulai dari daerah sub-sahara Afrika, India, Asia Tenggara, New Guinea dan Kepulauan Solomon Sebagian besar hidup di hutan hujan tropis dan hanya beberapa jenis saja yang hidup di daerah kering seperti di Afrika.
Identifikasi
Rangkong gading pada dasarnya mudah dikenali karena ukurannya yang besar dan punya ekor tengah yang lebih panjang daripada ekor di sekitarnya.[1] Ia memiliki panjang dari antara 110–120 cm dan jika ditambah dengan panjang ekor tengahnya, ia dapat mencapai panjang 140–170 cm. Berat badan hewan yang jantan ialah mencapai 3060 gram dan betinanya antara 2610-2840 g.[1] Tanduk kuning-merah pada m, tinggi, berbentuk kotak yang digunakan sebagai "gading enggang" untuk membuat ukiran. Iris merah, paruh kuning dan merah, kaki cokelat.
Suara: Satu seri nada "tuk" yang mantap dipercepat menjadi suara "tii-pup" sebelum suara mirip terompet "tutt, tutt,.." yang sangat keras dan berulang-ulang.
Habitat
Rangkong Gading tidak umum ditemukan, tetapi biasanya berada di dataran rendah dengan pepohonan tinggi hingga pada ketinggian 1.500 cm. Burung ini sering bergaul dengan Enggang lai, punai, pergam, dan monyet pada pohon besar yang sedang berbuah.[2]
Hanya pohon besar berlubang alami dengan bonggol khas di depannya yang dapat digunakan untuk bersarang. Bonggol tersebut digunakan sebagai landasan saat bertengger untuk memberi makan induk dan anak yang ada di dalam sarang. Model sarang yang unik ini tidak ditemukan pada jenis-jenis rangkong yang lain.
Pakan dan Perkembangbiakan
Enggang Gading memiliki makanan yang spesifik yaitu sebanyak 98% memakan Ficus sp. dan 2% sisanya adalah serangga. Rangong yang dapat terbang jauh menjadikan rangkong dapat menyebarkan benih Ficus sp. melalui kotorannya, sehingga rangkong gading sangat dibutuhkan untuk pelestarian Ficus sp. yang hanya tumbuh pada hutan tropis yang lebat dan masih asri.[2]
Enggang Gading bersifat monogami, yaitu hanya memiliki 1 pasangan seumur hidupnya. Rangokong Gading bersarang dalam pohon berlubang denga ketinggian berkisar 10-42, tetapi tidak dapat membuat lubangnya sendiri pada pohon, sehigga Rangkong harus menemukan tempat bersarang yang terbentuk secara alami. Saat sarang yang tepat sudah ditemukan, sang jantan akan menutup sarang dengan kotoran dan tanah liat namun menyisakan lubang kecil yang muat untuk paruh sang betina keluar agar dapat mendapatkan makanan yang diberikan oleh sang jantan. Didalam sarang, sang betina akan meluruhkan bulu terbangnya (moulting) agar kondisi didalam satang tetap hangat untuk telur. Selama bersarang hingga telur mentas sang betina tidak akan dapat terbang.[2] Enggang gading diketahui memiliki masa berbiak terpanjang, yaitu 150 hari [3]
Poonswad (1993) [4] menyatakan bahwa terdapat lima tahapan proses bersarang pada rangkong yaitu:
1. Tahap pre-nesting yaitu periode perkawinan. Ditunjukkan dengan usaha menemukan sarang (termasuk mengunjungi sarang) sebelum betina terkurung, berlangsung antara satu sampai tiga minggu.
2. Tahap pre-laying yaitu masa betina mulai terkurung sampai peletakan telur pertama, selama satu minggu. Periode aman bagi rangkong untuk mengeluarkan telurnya (Kemp 1995).
3. Tahap egg incubation yaitu masa peletakkan telur pertama sampai telur pertama menetas, selama enam minggu. Pada Kangkareng perut putih hanya berlangsung selama empat minggu.
4. Tahap nesting yaitu masa dari induk betina keluar dari sarang (lubang sarang ditutup kembali) hingga anak memiliki bulu lengkap dan siap untuk terbang, berlangsung selama 8 – 13 minggu.
5. Tahap fledging yaitu masa dari pemecahan penutup sarang sampai semua anak keluar, memerlukan waktu dari hitungan beberapa jam hingga dua minggu, jika anak lebih dari satu.
Sebagai lambang daerah
Burung Rangkong gading dipakai sebagai lambang daerah atau simbol organisasi seperti di lambang provinsi Kalimantan Barat, satwa identitas provinsi Kalimantan Barat
Ancaman yang Terjadi
Sejak zaman Dinasti Ming di abad 17, para bangsawan China telah mengincar Cula/balung (casque) Rangkong gading untuk dijadikan berbagai bentuk hiasan. Investigasi Rangkong Indonesia (IHCS) dan Yayasan Titian yang didukung oleh Dana Konservasi Chester Zoo, mencatat selama tahun 2013 sekitar 6.000 Rangkong gading dewasa dibantai di Kalimantan Barat untuk diambil kepalanya. Selanjutnya, sepanjang 2015 tercatat sebanyak 2.343 paruh Rangkong gading berhasil disita dari perdagangan gelap.[2] Sejak berita perburuan enggang gading marak, penelitian, pemantauan dan investigasi telah dilakukan sekaligus membandingkan populasi enggang gading yang ada di Indonesia dengan Malaysia, Thailand, dan Myanmar. Hanya di Myanmar, yang ada perburuan skala kecil karena memang populasinya sedikit. Di Malaysia dan Thailand tidak ada. Namun dalam kurun waktu 2012-2015, tercatat 16 kali penangkapan perdagangan gading enggang di Indonesia dengan sitaan lebih dari 1.142 paruh. Sementara di Tiongkok, berhasil diamankan 1.080 paruh enggang gading hasil 19 kali operasi yang diyakini semua itu dari Indonesia.[5]
Keluarga
Rangkong gading termasuk dalam keluarga Rangkong (Latin: Bucerotidae). Berikut adalah beberapa anggota keluarga lainnya:
Daftar ini dibuat secara otomatis dari data Wikidata dan diperbarui secara berkala oleh Listeriabot.
Akhir dari daftar yang dibuat secara otomatis.
Daftar ini dibuat secara otomatis dari data Wikidata dan diperbarui secara berkala oleh Listeriabot.
Akhir dari daftar yang dibuat secara otomatis.
Referensi
- ^ a b Adji (2018), hlm. 5
- ^ a b c d "Rangkong Gading". Rangkong Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-24. Diakses tanggal 2018-04-25.
- ^ "Tentang Rangkong". Rangkong Indonesia (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2018-04-25. Diakses tanggal 2018-04-25.
- ^ Poonswad P. 1998. The Asian Hornbill: Ecology and Conservation. Thailand: Thai Studies in Biodiversity No. 2: 1-336.
- ^ "Enggang Gading yang Mendadak Kritis". Mongabay Environmental News (dalam bahasa Inggris). 2015-12-16. Diakses tanggal 2018-04-25.
Kepustakaan
Pranala luar