Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus.
Suku asal Sumatera Selatan adalah gabungan dari beberapa suku yang ada di Sumatera Selatan. Menurut Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, populasi suku asal Sumatera Selatan mewakili 2,16% dari penduduk Indonesia, atau sekitar 5.119.581 jiwa.[2] Suku asal Sumatera Selatan ini meliputi beberapa Sub-suku Melayu, Suku Ogan, Suku Komering dan beberapa suku dari rumpun Lampung lainnya.
Masyarakat
Sensus Penduduk tahun 2010
Berdasarkan Sensus Penduduk tahun 2010 oleh Badan Pusat StatistikIndonesia, Suku-suku bangsa yang mendiami Provinsi Sumatera Selatan dikelompokan ke dalam Suku asal Sumatera Selatan dengan total jumlah 5.119.581 jiwa.[3] Suku-suku pribumi tersebut mencakup suku-suku berikut:
Artikel ini perlu dikembangkan agar dapat memenuhi kriteria sebagai entri Wikipedia. Bantulah untuk mengembangkan artikel ini. Jika tidak dikembangkan, artikel ini akan dihapus.
Budaya
Seni Tari
Seni tari di Sumatra Selatan kebanyakan dipengaruhi oleh budaya Melayu. Beberapa tariannya antara lain:
Tari Gending Sriwijaya: Tarian klasik ini melambangkan kemegahan Kerajaan Sriwijaya. Biasanya ditampilkan dalam upacara penyambutan tamu penting.
Tari Tanggai: Tarian yang menggambarkan keindahan dan keanggunan wanita Sumatra Selatan. Ditarikan dalam pernikahan adat Palembang.
Tari Erai-Erai: Tari Erai-Erai merupakan tari yang mengungkapkan kegembiraan pada saat panen padi. Disebut tari Erai-Erai karena Erai-Erai artinya serai serumpun yang melambangkan meski bercerai-berai namun tetap satu ikatan.[4]
Tari Kebagh: Tari Kebagh atau Tari Kebar merupakan tarian adat tertua yang sangat populer di daerah Besemah sejak zaman dahulu kala. Walau sempat dilarang hingga tahun 1940-an oleh pemerintah kolonial belanda, tarian ini tetap terpelihara dan diajarkan secara tutun temurun dari generasi ke generasi.
Seni Musik
Musik tradisional Sumatra Selatan menggunakan alat musik khas seperti:
Gitar Tunggal Batanghari Sembilan: Alat musik ini adalah alat musik yang paling terkenal dan banyak digunakan di setiap wilayah sumatera selatan.[5]
Kenong Basemah: Alat musik yang berasal dari Suku Melayu Basemah, Kota Pagaralam, dan sekitarnya. Kenong Basemah terbuat dari tembaga dan dimainkan dengan cara dipukul menggunakan kayu yang ujungnya dilapisi kain.
Kulintang Komering: Alat musik yang terdiri dari barisan gong kecil yang dimainkan bersama gong dan kempul yang lebih kecil, serta kendang. Kulintang digunakan dalam acara adat seperti perkawinan, sunatan, dan arak-arakan.[6]
Searah jarum jam dari kiri atas: Rumah limas, Ghumah Baghi, Rumah Ulu Komering, Rumah Ulu Ogan.
Arsitektur Sumatera Selatan mengacu kepada yang berhubungan dengan tradisi dan desain arsitektur berbagai etnik yang ada di Sumatera Selatan. Secara garis besar, kelompok etnis/etnik di Sumatera Selatan terbagi menjadi 2 suku utama beserta sub-suku didalamnya, yaitu: Melayu & Lampung. Selain pembagian suku bangsa, pembagian kelompok masyarakat serta kultural dan geo-budaya juga terbagi menjadi 2, yakni: orang Ulu (Uluan) & orang Ilir (Iliran). Uluan/orang Ulu adalah semua kelompok etnik yang tinggal di hulu sungai-sungai besar di Sumatera Selatan, yang dikenal sebagai Batanghari Sembilan. Sementara Iliran/orang Ilir adalah suku-suku yang mendiami wilayah hilir Batanghari Sembilan (Sungai Musi) hingga pesisir timur Sumatera Selatan seperti Kota Palembang dan sekitarnya, pesisir timur Kabupaten Banyuasin, serta sebagian pesisir timur Kabupaten Ogan Komering Ilir. Kebudayaan yang terdapat pada masyarakat hilir ialah kebudayaan/budaya Melayu Palembang yang sudah mencakup sub-suku Melayu didalamnya seperti (Melayu Palembang & Melayu Banyuasin/Pesisir). Semua etnik di Sumatera Selatan saling terkait dan hidup berdampingan sehingga arsitektur antara satu etnik dengan etnik yang lain dapat saling mempengaruhi.[7][8][9]
KH. Abdurrahman Delamat, yang lebih dikenal dengan nama Ki Delamat Suro, ulama dan pejuang dengan mendirikan masjid-masjid, salah satunya Masjid Besar Mahmudiyah atau Masjid Suro tahun 1889
Syekh Nurqodim Al Baharuddin, ulama, Pemimpin Pemerintahan Lampik Empat Merdike Due Djagat Besemah Libagh Semende Panjang, pendiri adat Semende, Abad ke 17.
Ahmad Alhabsy, Ustadz kondang yang lebih dikenal dengan nama Ustadz Al Habsy.
^Alimansyur, Moh; Abdullah, Ma'moen; Djumiran, Djumiran; Makmur, Zainal; Sidin, Tabrani (1985). Siregar, Jhony; Abu, Rifai, ed. Arsitektur tradisional daerah Sumatera Selatan. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional.