Artikel ini sebagian besar atau seluruhnya berasal dari satu sumber. Tolong bantu untuk memperbaiki artikel ini dengan menambahkan rujukan ke sumber lain yang tepercaya.
Surau Jembatan Besi (sekarang Masjid Zu'ama Jembatan Besi) adalah surau yang didirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1895. Surau tersebut terletak di lembah Kota Padang Panjang sebelah Barat, tepatnya arah ke jalan pemandian Lubuk Mata Kucing (Lubuak Mato Kuciang). Pemberian nama surau ini terinspirasi dari sebuah jembatan besi yang dibangun oleh pemerintahan Belanda. Surau Jembatan Besi sering juga disebut dengan singkatan SBJ. Pemilihan lokasi pendirian SBJ ditujukan untuk memudahkan para jamaah untuk mengambil wudhu dan bersuci, selain itu letaknya yang juga tidak jauh dari pasar membuat SBJ ramai juga dikunjungi oleh para pedagang. SBJ juga dijadikan tempat mengadakan wirid pengajian setiap malam Jumat, tepatnya sebelum hari pasar di Padangpanjang yaitu hari Jumat.[1]
Dan pada tahun 1905 Syekh Abdullah Ahmad digantikan oleh sahabatnya Daud Rasyidi karena ia pindah ke Kota Padang. Syekh Daud berasal dari Nagari Balingka, sekitar 13 km sebelah selatan Bukittinggi. Pada kepemimpinan Syekh Daud di SBJ ia memperkenalkan pelajaran kitab-kitab kepada murid-muridnya yang waktu itu sudah mulai banyak yang datang dari sekitar Padangpanjang.[1]
Pada tahun 1907, Syekh Daud akan pergi ke Mekah, ia menyerahkan kepemimpinan SBJ Kepada adiknya Syekh Lathif Rasyidi. Akan tetapi tidak lama Syekh Latif memimpin SBJ, ia meninggal pada tahun 1909. Dan kepemimpinan SBJ dikembalikan kepada Syekh Daud dan kemudian diserahkan kepada Syekh Abdul Karim Amrullah, yang lebih akrab dipanggil dengan nama Haji Rasul.
Dibawah kepemimpinan H. Rasul surau tersebut semakin maju, baik dari mutu pendidikannya maupun dari jumlah muridnya. Muridnya tidak hanya berasal dari Sumatera Barat tetapi juga luar Sumatera Barat seperti yang berasal dari Aceh, Tapanuli dan bahkan Malaysia. Selain itu pada masa kepemimpinan H. Rasul, SBJ semakin terkenal dan merupakan sumber inspirasi terbentunya Sumatera Thawalib yang kemudian menjadi PERMI.
Referensi
^ abAsnan, Gusti (2003). Kamus Sejarah Minangkabau. Padang: Pusat Pengkajian Islam Minangkabau. hlm. 387. ISBN979-97407-0-3.