Agama di Asia Tenggara merupakan informasi tentang keberagaman penduduk di Asia Tenggara dalam hal menganut kepercayaan atau keberadaan Tuhan Yang Maha Esa. Asia Tenggara memiliki kultur yang beragam dan setiap negara menunjukkan identitasnya berdasarkan agama yang dianut.
Agama Buddha di Asia Tenggara sudah dimulai sejak abad ke-4 sampai abad ke-12. Proses penyeberan agama Buddha di Asia Tenggara bisa dikatakan bersamaan dengan penyebanaran agama Hindu yakni abad ke-4. Persebaran agama dan kebudayaan Buddha ke Asia Tenggara juga diawali oleh perdagangan. Perdagangan antara kawasan Asia Tenggara telah berlangsung sejak zaman besi logam. Ini terbukti melalui penemuan sejumlah barang-barang bercorak Buddha yang ditemukan di Ban Don Ta Phet, Thailand. Barang-barang perunggu yang ditemukan tersebut bercorak Buddha India dan diperkirakan berasal dari sekitar abad ke-4 SM.[1]
Mereka menggunakan jalur pantai timur Sumatra dan berlabuh di pelabuhan-pelabuhan yang ada di sepanjang pantai timur Sumatra tersebut. Setelah itu, mereka biasanya melanjutkan perjalanan ke Cina dan kembali ke India melalui rute yang sama.
Hubungan perdagangan tersebut lambat laun mulai berimbas pada kebudayaan. Para pedagang Asia Tenggara melihat bahwa India memiliki kebudayaan yang telah maju apabila dibandingkan dengan kebudayaan mereka. Karena terdorong untuk maju seperti halnya India, maka para pedagang tersebut mempelajari kebudayaan India dan mengajarkannya di tanah asalnya. Salah satu aspek yang mereka pelajari adalah agama Hindu dan Buddha.
Sejak saat itu, mulailah agama Hindu dan Buddha dikenal di kawasan Asia Tenggara. Masuknya pengaruh agama Hindu dan Buddha akhirnya menyebabkan perubahan kebudayaan di Asia Tenggara. Kebudayaan masyarakat di Asia Tenggara mulai dimasuki unsur Hindu dan Buddha. Kebudayaan bercorak Hindu dan Buddha tersebut akhirnya memengaruhi kehidupan masyarakat Asia Tenggara, terutama di bidang politik, ekonomi, dan sosial.[1]
Islam
Sejarah masuknya islam di Asia Tenggara sampai saat ini merupakan polemik panjang yang menimbulkan pro dan kontra antara sejarawan agamawan arkeolog dan intelektual. Namun yang menjadi referensi umum masuknya Islam di Asia Tenggara adalah melalui proses perdagangan internasional yang berpusat di Selat Malaka melalui para pedagang Muslim Persia dan Arab penyebaran Islam berpusat di pulau Perca. Namun proses masuknya Islam di negara-negara bagian Asia Tenggara tidak sepenuhnya sama. Semuanya memiliki karakteristik masing-masing budaya serta pengakuan yang sama sekali berbeda.[2]
Sejak abad pertama, kawasan laut Asia Tenggara, khususnya Selat Malaka sudah mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan pelayaran dan perdagangan internasional yang dapat menghubungkan negeri-negeri di Asia Timur Jauh, Asia Tenggara dan Asia Barat. Perkembangan pelayaran dan perdagangan internasional yang terbentang jauh dari Teluk Persia sampai China melalui Selat Malaka itu kelihatan sejalan pula dengan muncul dan berkembangnya kekuasaan besar, yaitu China dibawah Dinasti Tang (618-907), kerajaan Sriwijaya (abad ke-7-14), dan Dinasti Umayyah (660-749).
Kerajaan-kerajaan dan wilayah itupun berada dalam situasi politik dan kondisi sosial budaya yang berbeda-beda. Ketika sriwijaya mengembangkan kekuasaannya sekitar abad VII dan VIII, jalur selat malaka sudah ramai oleh para pedagang Muslim. Data ini diperkuat dengan berita Cina zaman dinasti T’ang yang dapat memberikan gambaran bahwa ketika itu telah ada masyarakat Muslim di kanfu (kanton) dan daerah Sumatra. Diperkirakan terjalinnya perdagangan yang bersifat Internasional ketika itu juga sebagai akibat kegiatan kerajaan Cina zaman dinasti T’ang di Asia timur dengan kerajaan Islam dibawah Bani Umayyah di bagian Barat, dan tentunya kerajaan Sriwijaya sendiri di wilayah Asia Tenggara.[3]
Keberadaan pedagang-pedagang di Asia Tenggara ketika itu mungkin belum memberikan pengaruh pada kerajaan-kerajaan yang ada. Setelah pecahnya pemberontakan petani Cina Selatan terhadap kaisar Hi-Tsung (878-889 M) yang menyebabkan banyak orang orang di bunuh maka mulailah mereka mencari perlindungan ke Kedah. Hal ini bukan berarti orang Islam telah mulai melakukan politik yang tentunya banyak membawa akibat pada kerajaan di Asia Tenggara dan Cina. Syed Naguib al-attas mengatakan bahwa sejak abad XII orang Islam telah mendirikan perkampungan di kanton dengan derajat keagamaan yang tinggi dan menyelenggarakan pemerintahan perkampungan sendiri di Kedah dan Palembang tepatnya di lereng-lereng pegunungan serta di atas sungai bukit-bukit.[3]
Kristen
Umumnya Kekristen di Asia Tenggara dibawa oleh para Misionaris dari Eropa. Orang-orang Kristen Asia mula-mula, kebanyakan dari wilayah yang sekarang ini bernama Siria, Irak dan Iran, akan beribadah menghadap timur saat matahari muncul. Mereka akan berdiri dengan tangan terbuka, meniru salib, menghormati peristiwa kebangkitan. Orang-orang Kristen Persia ini bangga dengan fakta bahwa orang-orang Persialah yang pertama kali menyembah Yesus ketika Ia masih bayi di palungan, karena Allah menggunakan bintang untuk memberitahu para orang majus (ahli bintang Persia) bahwa Juruselamat sudah lahir di Asia barat.
Dalam empat abad pertama, Kekristenan menyebar di seluruh dan melampaui kerajaan Persia. Namun, menjumpai agama-agama “dunia” yang lebih besar, mapan dan lintas budaya. Perjumpaan dengan agama-agama lintas budaya ini – Zoroastrianisme, Budhisme, Hinduisme, Taoisme? yang sering kali merupakan agama negara, merupakan tantangan yang lebih besar bagi penyebaran Kekristenan ketimbang agama-agama lokal, agama “etnis” yang ada di Eropa dan Afrika.
Kekristenan di Asia memiliki lima penyebaran. Pertama: Persia (milenium pertama), orang Mongol yang menjadi ordo Fransiscan (1206–1368), ordo Jesuit (1542–1773), Protestan (1706–1950) dan orang Asia Pribumi (1950-sekarang). Penyebaran Kekristenan di Asia Tenggara umumnya dimulai pada fase Ordo Jesuit (tahun 1542–1773) dan diikuti oleh Misionaris Protestan (Tahun 1706–1950).
Katolik (1542–1773)
Para misionaris Ordo Jesuit awalnya mengarahkan perhatian mereka ke selatan India. Melalui pendekatan kreatif dan inovatif dari Francis Xavier, mereka juga memulai di Malaka, kepulauan Maluku, Jepang, Vietnam, Siam (Thailand) dan Tiongkok. Di semua wilayah ini dan berbagai kerajaan yang berbeda-beda, kaum Jesuit menghargai bahasa dan budaya lokal. Karena sikap penghargaan ini, karya kaum Jesuit tetap bertahan. Gereja-gereja Jesuit tetap bertahan sejak akhir abad 16, sering kali di tengah penindasan yang besar. Akan tetapi, adaptasi mereka terhadap konteks budaya lokal adalah kontroversial.
Alexandre de Rhodes, Jesuit Prancis yang bekerja di Vietnam, menyesuaikan Katekismus Hari Kedelapannya dengan pertanyaan tertentu yang berasal dari orang-orang Konfusius, Budha dan Tao (disebut “agama tiga kali lipat” atau tam gido). Pendekatan misi ini berusaha mengerti budaya lokal dan menyajikan pengajaran Katolik dalam cara yang tidak menyinggung budaya tersebut secara tidak perlu. Pendekatan tersebut juga berusaha memperlengkapi pria dan wanita lokal untuk memimpin gereja.[4]
Agama Berdasarkan Negara di Asia Tenggara
Pada saat ini, masyarakat di Asia Tenggara pada umumnya telah menganut salah satu agama yang ada di dunia. Berikut adalah data Jumlah penduduk berdasarkan agama di setiap negara Asia Tenggara.