Kota Kotamobagu merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Bolaang Mongondow yang bertujuan untuk memajukan daerah, membangun kesejahteraan rakyat, memudahkan pelayanan, dan memobilisasi pembangunan bagi terciptanya kesejahteraan serta kemakmuran rakyat totabuan. Desa Bolaang terletak di tepi pantai utara yang pada abad 17 sampai akhir abad 19 menjadi tempat kedudukan istana raja, sedangkan desa Mongondow terletak sekitar 2 km selatan Kotamobagu. Nama Bolaang berasal dari kata "bolango" atau "balangon" yang berarti laut. Bolaang atau golaang dapat pula berarti menjadi terang atau terbuka dan tidak gelap, sedangkan Mongondow dari kata ‘momondow’ yang berarti berseru tanda kemenangan.[butuh rujukan]
Penduduk asli wilayah Bolaang Mongondow berasal dari keturunan Gumalangit dan Tendeduata serta Tumotoibokol dan Tumotoibokat, yang awalnya tinggal di gunung Komasaan (Bintauna). Pada abad ke 8-9, mereka menyebar ke timur di tudu in Lombagin, Buntalo, Pondoli', Ginolantungan sampai ke pedalaman tudu in Passi, tudu in Lolayan, tudu in Sia', tudu in Bumbungon, Mahag, Siniow dan lain-lain.
Setiap kelompok keluarga dari satu keturunan dipimpin oleh seorang Bogani (laki-laki atau perempuan) yang dipilih dari anggota kelompok dengan persyaratan: memiliki kemampuan fisik (kuat), berani, bijaksana, cerdas, serta mempunyai tanggung jawab terhadap kesejahteraan kelompok dan keselamatan dari gangguan musuh. Mokodoludut adalah punu’ Molantud yang diangkat berdasarkan kesepakatan seluruh bogani. Mokodoludut tercatat sebagai raja (datu yang pertama). Sejak Tompunu’on pertama sampai ketujuh, keadaan masyarakat semakin maju dengan adanya pengaruh luar (bangsa asing).
Perubahan total mulai terlihat sejak Tadohe menjadi Tompunu’on, akibat pengaruh pedagang Belanda diubah istilah Tompunu’on menjadi Datu (Raja). Tadohe dikenal seorang Datu yang cakap, sistem bercocok tanam diatur dengan mulai dikenalnya padi, jagung dan kelapa yang dibawa bangsa Spanyol pada masa pemerintahan Mokodompit (ayah Tadohe). Tadohe melakukan penggolongan dalam masyarakat, yaitu pemerintahan (Kinalang) dan rakyat (Paloko’). Paloko’ harus patuh dan menunjang tugas Kinalang, sedangkan Kinalang mengangkat tingkat penghidupan Paloko’ melalui pembangunan di segala bidang, sedangkan kepala desa dipilih oleh rakyat.
Pada zaman pemerintahan raja Corenelius Manoppo, raja ke-16 (1832), agama Islam masuk daerah Bolaang Mongondow melalui Gorontalo yang dibawa oleh Syarif Aloewi yang kawin dengan putri raja tahun 1866. Karena keluarga raja memeluk agama Islam, maka agama itu dianggap sebagai agama raja, sehingga sebagian besar penduduk memeluk agama Islam dan turut memengaruhi perkembangan kebudayaan dalam beberapa segi kehidupan masyarakat.[butuh rujukan]
Pada tahun 1906, melalui kerja sama dan kesepakatan dengan raja Bolaang Mongondow, W. Dunnebier mengusahakan pembukaan Sekolah Rakyat dengan tiga kelas yang dikelola oleh zending di beberapa desa; yakni: desa Nanasi, Nonapan, Mariri Lama, Kotobangon, Moyag, Pontodon, Pasi, Popo Mongondow, Otam, Motoboi Besar, Kopandakan, Poyowa Kecil dan Pobundayan dengan total murid sebanyak 1.605 orang, sedangkan pengajarnya didatangkan dari Minahasa. Pada tahun 1937 dibuka di Kotamobagu sebuah sekolah Gubernemen, yaitu Vervolg School (sekolah sambungan) kelas 4 dan 5 yang menampung lepasan sekolah rakyat 3 tahun.
Ibu kota Bolaang Mongondow sebelumnya terletak disalah satu tempat di kaki gunung Sia’ dekat Popo Mongondow dengan nama Kotabaru. Karena tempat itu kurang strategis sebagai tempat kedudukan controleur, maka diusahakan pemindahan ke Kotamobagu dan peresmiannya diadakan pada bulan April 1911 oleh Controleur F. Junius yang bertugas tahun 1910-1915. Pada tahun 1911 didirikan sebuah rumah sakit di ibu kota yang baru Kotamobagu. Rakyat mulai mengenal pengobatan modern, namun ada juga yang masih mempertahankan dan melestarikan pengobatan tradisional melalui tumbuh-tumbuhan yang berkhasiat obat dan sampai sekarang dibudayakan secara konvensional.
Sejak semula, masyarakat Bolaang Mongondow mengenal tiga macam cara kehidupan bergotong royong yang masih terpelihara dan dilestarikan terus sampai sekarang ini, yaitu: Pogogutat (potolu adi’), Tonggolipu’, Posad (mokidulu). Tujuan kehidupan bergotong royong ini sama, namun cara pelaksanaaannya agak berbeda. Penduduk pedalaman yang memerlukan garam atau hasil hutan, akan meninggalkan desanya masuk hutan mencari damar atau ke pesisir pantai memasak garam (modapug) dan mencari ikan.
Dalam mencari rezeki itu, sering mereka tinggal agak lama di pesisir, maka disamping masak garam mereka juga membuka kebun. Tanah yang mereka tempati itulah yang disebut Totabuan yang dapat diartikan sebagai tempat mencari nafkah. Bila ada tamu yang bertandang pada masa kerajaan, biasanya disuguhi sirih pinang, tamu pria atau wanita terutama orang tua. Sirih pinang diletakkan dalam kabela' (dari kebiasaan ini diciptakan tari kabela sebagai tari penjemput tamu). Tamu terhormat terutama pejabat di jemput dengan upacara adat.[butuh rujukan]
Tarian Kabela sampai saat ini tetap lestari di bumi Totabuan. Tarian yang ada di Bolaang Mongondow cukup beragam di antaranya tarian tradisional yang terdiri dari Tari Tayo, Tari Joke', Tari Mosau, Tari Rongko atau Tari Ragai, Tari Tuitan; juga tarian kreasi baru seperti Tari Kabela, Tari Kalibombang, Tari Pomamaan, Tari Monugal, Tari Mokoyut, Tari Kikoyog dan Tari Mokosambe.
Upacara monibi terakhir diadakan pada tahun 1939 di desa Kotobangon (tempat kedudukan istana raja) dan di desa Matali (tempat pemakaman raja dan keturunannya). Transmigran ke Bolaang Mongondow pertama kali datang pada tahun 1963 dengan jumlah 1.549 jiwa (349 KK) & ditempatkan di Desa Werdhi Agung. Para transmigran berikutnya ditempatkan di desa Kembang Mertha (1964), Mopuya (1972/1975), Mopugad (1973/1975), Tumokang (1971/1972), Sangkub (1981/1982), Onggunai (1983/1984), Torosik (1983/1984) dan Pusian/Serasi 1992/1993).
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Bolaang Mongondow menjadi bagian wilayah Provinsi Sulawesi yang berpusat di Makassar, kemudian tahun 1953 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1953 Sulawesi Utara dijadikan sebagai daerah otonom tingkat I.
Bolaang Mongondow dipisahkan menjadi daerah otonom tingkat II mulai tanggal 23 Maret 1954, sejak saat itu Bolaang mongondow resmi menjadi daerah otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri berdasarkan PP No.24 Tahun 1954. Atas dasar itulah, mengapa setiap tanggal 23 Maret seluruh rakyat Bolaang Mongondow selalu merayakannya sebagai HUT Kabupaten Bolaang Mongondow.
Geografis
Secara geografis terletak di antara 0° Lintang Utara dan membentang dari Barat ke Timur di antara 123° – 124° Bujur Timur,
Luas Wilayah
Kota Kotamobagu mencakup wilayah daratan dan kepulauan yang memiliki daratan seluas 184.33 km2.
Kota Kotamobagu terdiri dari 4 kecamatan, 18 kelurahan, dan 15 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya mencapai 122.308 jiwa dengan luas wilayah 68,06 km² dan sebaran penduduk 1.797 jiwa/km².[5][6]
Daftar kecamatan dan kelurahan di Kota Kotamobagu, adalah sebagai berikut:
Pada tahun 2019. total jumlah penduduk Kota Kotamobagu adalah 125.835 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 63.976 jiwa atau 50,84% dan penduduk perempuan sebanyak 53.379 atau 49,15% dari total jumlah penduduk.[7]
Tenaga Kerja
Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) pada tahun 2009 58,39%, tahun 2010 61,82%, tahun 2011 67,02%, tahun 2012 65,07%. Tahun 2012, dari total 78.434 penduduk Kota Kotamobagu yang berada dalam kelompok usia kerja 15 tahun ke atas, sebanyak 65,07% merupakan angkatan kerja. Dari jumlah angkatan kerja tersebut 90,58% berstatus bekerja, sedangkan sekitar 9,42% menganggur.
Pendidikan
Untuk SD tahun 2011 berjumlah 74 gedung sekolah, murid sebanyak 13.365 orang. Untuk SLTP tahun 2011 berjumlah 16 gedung sekolah, murid sebanyak 7.035 orang. Untuk SLTA tahun 2011 berjumlah 21 gedung sekolah, murid sebanyak 8.514 orang. Perguruan tinggi saat ini ada 9 yang ada di Kotamobagu, yakni Universitas Dumoga Kotamobagu, Akademi Keperawatan Kotamobagu, Akademi Kebidanan Bunda Kotamobagu, STMIK Multicom Kotamobagu, STIE Widya Darma Kotamobagu, STIKES Graha Medika Kotamobagu, IAI Muhammadiyah Kotamobagu, STT Kotamobagu dan Institut Agama Islam IAI Kotamobagu, dengan jumlah program studi sebanyak 21 dan jumlah mahasiswa sekitar 3000.[butuh rujukan]
Pertanian tanaman pangan dengan luas panen terbesar di Kota Kotamobagu adalah tanamanPadi dengan luas lahan panen sekitar 56,68% dari total luas panen tanaman pangan di Kotamobagu, atau sekitar 8.094 Ha. Diikuti tanamanjagung dengan luas panen seitar 5.572 Ha.[butuh rujukan]