Mukim adalah sebuah tingkatan dalam pembagian daerah berdasarkan kekuasaan feodalUleebalang. Sistem ini diterapkan pada zaman Kesultanan Aceh.[butuh rujukan] Mukim dianggap sebagai kesatuan masyarakat hukum dibawah Kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa Gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu yang dipimpin oleh Imum Mukim dan berkedudukan langsung dibawah Camat.[1]
Menurut KBBI Mukim dapat berarti orang yang tetap tinggal di Mekkah, penduduk tetap;Tempat tinggal, kediaman; Daerah (dalam lingkungan suatu Masjid; Kawasan.[2]
Pemilih yang mempunyai hak untuk memilih mukim adalah:[4]
Imum Chik
Geuchik Gampong (kepala desa) dalam wilayah mukim yang bersangkutan
Tuha Peuët Mukim
Imum Meunasah
Ketua lembaga adat yang ada di mukim bersangkutan
Tiga orang tokoh masyarakat perwakilan ulama, tokoh pemuda dan tokoh perempuan
Mukim terbentuk dari minimal empat gampong. Setiap mukim dipimpin oleh seorang Ulèëbalang atau seorang Imum. Beberapa mukim membentuk suatu "Nanggroë" yang dipimpin oleh Ulèëbalang.
Dalam bekas Kesultanan Aceh, di Aceh Besar sekitarnya, dibentuklah federasi mukim yang disebut Sagoë Mukim atau Sagi Mukim. Federasi ini disebut juga dengan Aceh Lhèë Sagoë. Mukim Sagoë dipimpin oleh seorang Panglima Sagoë atau Panglima Sagi.
Ketiga Sagoë Mukim itu adalah:
Sagi XXV Mukim, dibentuk dari 25 mukim
Sagi XXVI Mukim, dibentuk dari 26 mukim
Sagi XXII Mukim, dibentuk dari 22 mukim
Sagi XXV Mukim dan Sagi XXVI Mukim daerahnya dipisahkan oleh Krueng Aceh. Sagi XXV Mukim di kiri dan berpusat di mesjid Indrapurwa Pancu.[5] Sagi XXVI Mukim dikanan dan berpusat di mesjid Ladong. Sagi XXII Mukim menguasai daerah di bagian selatan dan berpusat di mesjid Indrapuri.[6]
Sejarah Aceh Lhèè Sagoë
Pada masa Sultanah Tajul Alam Safiatuddin memimpin,[7]Syeikh Abdur Rauf mengajukan sebuah konsepsi reformasitata negara Kerajaan Aceh untuk merombak sistem pewarisan jabatan Sultan. Dikarenakan ada kejadian di mana Aceh pernah dipimpin oleh Sultan/Sultanah yang tidak cakap, sehingga menimbulkan konflik-konflik. Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, salah satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.
Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, di mana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh
Lihat juga
Kawedanan, bentuk wilayah administrasi pemerintahan setingkat di Jawa
Catatan
^Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006, Bab 1 Pasal 1 ayat 20
^"Verandah of violence: the background to the Aceh problem by Anthony Reidh, page 30-31".Parameter |url:http://books.google.co.id/books?id= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan); Tidak memiliki atau membutuhkan |url= (bantuan)