Orang Maluku adalah penduduk asli yang berasal dari Kepulauan Maluku. Orang Maluku adalah istilah yang mencakup banyak kelompok etnis yang mendiami gugusan kepulauan tersebut.
Orang Maluku memiliki darah Melanesia dan Melayu.[3] Namun, sejarah panjang perdagangan dan pelayaran telah mengakibatkan tingkat tinggi kawin campur dalam darah keturunan di antara orang Maluku.[4] Darah bangsa Austronesia ditambahkan ke penduduk Melanesia asli pada sekitar 2000 SM.[5] Ciri Melanesia yang terkuat terdapat di Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, dan antara orang-orang di pedalaman kepulauan di Seram dan Buru.[6]
Orang yang pertama kali mendiami Kepulauan Maluku adalah bangsa Austonesia-Melanesia.[8] Pada mulanya, mereka menetap di pulau-pulau besar seperti Halmahera, Seram, Buru, Bacan, dan Obi.[8] Penduduk Pulau Seram tersebut dikenal sebagai suku Alifuru yang diartikan oleh penduduk setempat sebagai manusia awal.[8]
Menurut antropolog A.H. Keano, Pulau Seram dari dahulu telah didiami oleh suatu suku bangsa yaitu bangsa Alifuros, bangsa campuran antara bangsa Kaukasus-Mongoloid dan bangsa Papua.[8] Di Seram bangsa ini dikenal dengan suku Alune dan Wemale yang mendiami pedalaman Seram Barat.[8] Setelah itu, menurut antropolog F.J.P. Sache dan Dr. O.D. Tauern, suku Alune berasal kemungkinan berasal dari Sulawesi Utara atau Halmahera sebab di pulau Halamahera pun terdapat suku Alifruros.[8] Mereka pun memiliki cir-ciri fisik yang sama.[8] Sedangkan, menurut mereka, Suku Wemale berasal dari arah timur (Melanesia).[8] Di kalangan penduduk setempat suku Alune dan Wemale dianggap merupakan turunan langsung dari manusia Nunusaku, sebuah kerajaan kuno di Seram.[8][9]
Sampai saat ini, apabila asal orang Maluku ditanyakan pada orang dari Maluku Tengah, mereka akan menjelaskan bawah nenek moyang mereka berasal dari Nunusaku atau dengan kata lain dari keturunan suku Alune dan Wemale.[8] Demikian juga dengan orang dari Ternate dan Tidore.[8] Mereka akan menjelaskan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Halmahera.[8]
Teori keturunan Suku Israel
Beberapa orang menganggap bahwa nenek moyang orang Maluku adalah orang Yahudi. Hal ini dinyatakan oleh Rabi Resley, penulis buku “Pintu Gerbang Emas Israel Yang Tertinggal di Indonesia”.[10] Pada bagian akhir dari bukunya, ia mengatakan bahwa mayoritas orang Maluku adalah keturunan suku Gad, yaitu suku Israel yang disangka hilang, tak dapat ditemukan lagi, dan tidak memiliki perwakilan di Israel saat ini.[11] Resley mengistilahkan mereka dengan sebutan Yahudi Alfuros.[11]
Setelah pendudukan Jepang di Hindia Belanda selama Perang Dunia II, Belanda ingin mengembalikan status jajahan.[16] Masyarakat pribumi Indonesia menentangnya.[17] Namun, perjuangan untuk kemerdekaan yang dipimpin oleh pemberontak dan Soekarno terjadi antara tahun 1945 dan 1949.[18] Pelarutan Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) ditugaskan oleh pemerintah Belanda untuk menjaga ketertiban dan untuk melucuti senjata para pemberontak. Tentara profesional Maluku merupakan bagian penting dari pasukan ini. Komunitas Maluku dengan demikian dianggap oleh Belanda sebagai sekutu dan sebaliknya pula. Pemerintah Belanda telah berjanji kepada mereka bahwa mereka akan mendapatkan negara bebas tersendiri sebagai bayaran untuk membantu Belanda. Setelah upaya-upaya internasional tidak bisa mendukung Belanda untuk mempertahankan jajahan, pemerintah Belanda tidak bisa lagi menepati janjinya untuk orang Maluku untuk sebuah negara bebas.
Tahun 1951, 12.578 orang Maluku pindah ke Belanda.[19] Mereka adalah bekas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang saat itu diburu pasukan Indonesia ketika pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) berkobar.[19] Orang Maluku yang dipandang oleh masyarakat Indonesia lainnya sebagai kolaborator KNIL, harus pergi ke Belanda. Kedatangan mereka adalah solusi sementara untuk masalah-masalah politik di Indonesia yang berkembang setelah penyerahan kedaulatan dan pembubaran tentara kolonial Belanda (KNIL).[20] Orang Maluku yang bertugas di komando KNIL akan tinggal sementara di Belanda. Kemudian, orang Maluku ditempatkan di kamp-kamp di Belanda, termasuk bekas kamp transit Westerbork.
Assen merupakan tempat tinggal pertama yang disediakan pemerintah Belanda untuk anggota maupun simpatisan RMS beserta keluarga mereka.[21] Belakangan, ada beberapa tempat lainnya seperti Bovensmilde sekitar 6 km di pinggiran Assen atau di kota lain seperti Groningen.[21]
Orang Maluku Belanda telah berulang kali menarik perhatian pemerintah Belanda demi klaim mereka untuk membebaskan Republik Maluku Selatan (RMS) yang telah dijanjikan oleh pemerintah Belanda sebelumnya.[22] Padai tahun 1970-an jumlah pendukung meningkat lebih dan lebih. Salah satu cara untuk mendapatkan perhatian pada masalah tersebut melalui kekerasan pembajakan Krisis Sandera Kereta Api Belanda 1975[23] di De Punt, Wijster, di mana sandera itu diambil dan pembajak kereta tewas.
Sejarah
Menurut asal-usulnya, banyak orang Maluku yang bergabung sebagai anggota tentara Hindia Belanda (KNIL). Ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaan, 17 Agustus 1945, Belanda tidak mengakui dan mengklaim bahwa pemerintahan sipil Hindia Belanda (NICA) harus dipulihkan. Perselisihan ini memuncak pada dua "aksi polisional" yang dalam sejarah Indonesia dianggap sebagai agresi militer. Dalam kedua aksi ini, banyak orang-orang Maluku terlibat dalam peperangan di pihak Belanda.
Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia, 27 Desember1949, tentara Belanda harus angkat kaki dari Indonesia, termasuk Maluku. Namun, banyak orang Maluku pro-Belanda enggan meninggalkan tanah asal-usulnya. Chris Soumokil, Jaksa Agung Negara Indonesia Timur (NIT), kemudian secara sepihak mengumumkan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) pada tanggal 25 April1950, sebagai reaksi atas bergabungnya NIT (yang mencakup pula Maluku) ke dalam Republik Indonesia pada pertengahan April. Indonesia memandang RMS sebagai pemberontakan dan menjalankan ofensif militer.
Menghadapi perkembangan ini, banyak orang Maluku pro-Belanda/RMS mengajukan permohonan mengungsi ke Belanda karena merasa terancam keselamatannya. Belanda menyanggupi dan sekitar 12.500 orang, anggota KNIL asal Maluku beserta keluarganya, diangkut ke Belanda untuk sementara waktu. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal keberadaan etnik Maluku di Belanda.
Karena perkembangan hubungan Belanda-Indonesia yang memanas pada paruh akhir 1950-an, orang-orang Maluku ini tidak dapat dipulangkan dan mereka harus bertahan hidup di Belanda tanpa tunjangan. Pada akhirnya, mereka banyak yang memilih menetap di Belanda, walaupun kemudian hubungan kedua negara membaik.
Pada tahun 1970-an terjadi pergolakan yang dilakukan oleh sebagian keturunan Maluku di Belanda yang menuntut janji pemerintah Belanda untuk memperhatikan aspirasi mereka, khususnya mengenai pengakuan sebagai warga negara atau membantu mengadakan wilayah sendiri bagi mereka di Maluku. Peledakan kereta api serta penyanderaan staf konsulat Indonesia di Den Haag adalah beberapa dari aksi yang dilakukan mereka. Tindak kekerasan ini kemudian dapat diredam setelah dilakukan negosiasi dan Belanda bersedia mendirikan Museum Maluku di Utrecht.
Bahasa
Suku Maluku menuturkan lebih dari seratus bahasa yang berbeda, dengan mayoritas dari mereka menuturkan bahasa-bahasa Melayu-Polinesia Tengah, khususnya bahasa-bahasa Maluku bagian tengah. Pengecualian penting adalah Pulau Halmahera dan pulau-pulau sekitarnya, di mana mayoritas penduduk berbahasa yang termasuk ke dalam rumpun Papua Barat. Pengecualian lain adalah bahasa Ambon Melayu atau bahasa Ambon, bahasa yang berasal dari kreol bahasa Melayu yang diucapkan terutama di Ambon dan sekitar Pulau Seram.
Agama
Orang Maluku di Maluku sebelah utara (sekarang Provinsi Maluku Utara) kebanyakan beragama Islam dan orang Maluku di Maluku bagian tengah dan selatan (sekarang Provinsi Maluku) kebanyakan beragama Kristen.
Agama yang paling banyak dianut oleh orang-orang Maluku di Belanda adalah Protestan dan pada tingkat lebih rendah, Islam.
Ada jumlah pengikut Hindu asli yang cukup tinggi di Kepulauan Kei, meskipun wilayah ini didominasi Katolik. Diperkirakan adanya agama Hindu berasal dari Kerajaan Majapahit. Ada juga yang menyatakan bahwa Kei memiliki hubungan cukup dekat dengan Bali.[24]
Budaya
Budaya Maluku adalah aspek kehidupan yang mencakup adat istiadat, kepercayaan, seni dan kebiasaan lainnya yang dijalani dan diberlakukan oleh masyarakat Maluku.[25]Maluku adalah sekelompok pulau yang merupakan bagian dari Nusantara.[26] Maluku berbatasan dengan Timor di sebelah selatan, pulau Sulawesi di sebelah barat, Irian Jaya di sebelah timur dan Palau di timur laut.[26]
Maluku memiliki beragam budaya dan adat istiadat mulai dari alatmusik, bahasa, tarian, hingga seni budaya.[25]
Budaya Kalwedo
Salah satu dari banyaknya budaya Maluku adalah Kalwedo.[27] Kalwedo adalah bukti yang sah atas kepemilikan masyarakat adat di Maluku Barat Daya (MBD).[27] Kepemilikan ini merupakan kepemilikan bersama atas kehidupan bersama orang bersaudara.[28] Kalwedo telah mengakar dalam kehidupan baik budaya maupun bahasa masyarakat adat di kepulauan Babar dan MBD.[27] Pewarisan budaya Kalwedo dilakukan dalam bentuk permainan bahasa, lakon sehari-hari, adat istiadat, dan pewacanaan.[28]
Nilai Adat Kalwedo
Kalwedo adalah budaya yang memiliki nilai-nilai sosial keseharian, dan juga nilai-nilai religius yang sakral yang menjamin keselamatan abadi, kedamaian, dan kebahagiaan hidup bersama sebagai orang bersaudara.[28]
Budaya Kalwedo mempersatukan masyarakat di kepulauan Babar maupun di Maluku Barat Daya dalam sebuah kekerabatan adat, di mana mempersatukan masyarakat menjadi rumah doa dan istana adat milik bersama.[27]Nilai Kalwedo diimplementasikan dalam sapaan adat kekeluargaan lintas pulau dan negeri, yaitu: inanara ama yali (saudara perempuan dan laki-laki).[28]Inanara ama yali menggambarkan keutamaan hidup dan pusaka kemanusiaan hidup masyarakat MBD, yang meliputi totalitas hati, jiwa, pikiran dan perilaku.[28]
Nilai-nilai Kalwedo tersebut mengikat tali persaudaraan masyarakat melalui tradisi hidup Niolilieta/hiolilieta/siolilieta (hidup berdampingan dengan baik).[27] Tradisi hidup masyarakat MBD dibentuk untuk saling berbagi dan saling membantu dalam hal potensi alam, sosial, budaya, dan ekonomi yang diwariskan oleh alam kepulauan MBD.[27]
Budaya Hawear
Hawear (Sasi) adalah budaya yang tumbuh dan berlaku dalam kehidupan masyarakat Kepulauan Kei secara turun menurun.[29]Cerita rakyat, lagu rakyat, dan berbagai dokumen tertulis merupakan prasarana untuk melestarikan kekayaan budaya termasuk Hawear.[28] Sejarah Hawear bermula dari seorang gadis yang diberikan daun kelapa kuning (janur kuning) oleh ayahnya.[28] Kemudian janur kuning itu disisipkan atau diikat di kain seloi yang dipakainya.[28] Gadis tersebut melakukan perjalanan panjang untuk menemui seorang raja (Raja Ahar Danar).[28] Maksud dari janur kuning tersebut sebagai tanda bahwa ia telah dimiliki oleh seseorang, dimaksudkan agar ia tidak diganggu oleh siapapun selama perjalanan.[28] Janur kuning tersebut diberikan oleh sang ayah, karena sang ayah pernah diganggu oleh orang-orang tak dikenal dalam perjalanannya.[28] Hal ini adalah proses Hawear yang masih dijalankan sesuai dengan maknanya hingga saat ini.[29]
Batu Pamali
Batu Pamali adalah simbol material adat masyarakat Maluku.[30] Selain Baileo, rumah tua, dan teung soa, batu Pamali juga termasuk mikrosmos dalam negeri-negeri yang ditempati masyarakat adat Maluku.[30] Batu Pamali merupakan batu alas atau batu dasar berdirinya sebuah negeri adat yang selalu diletakkan di samping rumah Baileo, sekaligus sebagai representasi kehadiran leluhur (Tete Nene Moyang) di dalam kehidupan masyarakat.[30] Batu Pamali sebagai bentuk penyatuan soa-soa dalam negeri adat, dengan demikian batu Pamali adalah milik bersama setiap soa.[28] Di beberapa negeri adat Maluku, batu Pamali dimiliki secara kolektif, termasuk negeri adat yang masyarakatnya memeluk agama yang berbeda.[30] Seiring dengan perkembangan agama di masyarakat, terjadi pergeseran praktik ritus dan keberadaan batu Pamali.[30] Dengan adanya UU No. tahun 1979, adat asli negeri-negeri diganti dengan penyeragaman sistem pemerintahan desa.[30]
Upacara Fangnea Kidabela
Kepulauan Tanimbar yang sekarang menjadi Kabupaten Maluku Tenggara Barat, memiliki kebudayaan yang mengatur persaudaraan dan kehidupan sosial masyarakat dalam bentuk Duan Lolat dan Kidabela.[31] Duan Lolat mengatur tentang hubungan sosial masyarakat yang luas, yaitu memperkuat hubungan antardua desa atau lebih, dan hubungan tersebut diwujudkan dalam bentuk Kidabela.[31] Upacara Fangnea Kidabela memperkokoh hubungan sosial masyarakat Tanimbar dalam wadah persaudaraan dan persekutuan agar tidak mudah pecah atau retak.[31]
Makna Upacara Fangnea Kidabela
Upacara Fangnea Kidabela mengandung makna persatuan dan kesatuan hidup masyarakat Tanimbar baik internal maupun eksternal dalam setiap situasi.[31] Upacara Fangnea Kidabela juga mengandung makna sebagai pemanasan, pengerasan, dan pemantapan (fangnea) terhadap persahabatan, persaudaraan (itawatan) dan keakraban (kidabela) di antara sesama sebagai suatu persekutuan wilayah teritorial Kampung Sulung di pulau Enus yang terletak di Selaru bagian selatan pulau Yamdena.[31] Makna upacara Frangnea Kidabela sama dengan upacara Panas Pela di Ambon, Lease, dan Maluku Tengah.[31] Upacara ini menciptakan suasana hidup bermasyarakat yang kokoh dan kuat untuk mencegah fenomena konflik dan perpecahan terhadap hubungan masyarakat.[31]
Hibua Lamo
Hibua Lamo adalah rumah besar yang dijadikan simbol masyarakat adat di Halmahera Utara, sekaligus simbol Pemerintah Kabupaten Halmahera Utara, Maluku Utara.[32] Di Halmahera Utara terdapat tiga etnis masyarakat yang memiliki rumah adat masing-masing, misalnya rumah adat etnis Tobelo disebut Halu.[32] Namun Hibua Lamo yang menjadi pemersatu semua etnis.[32] Hibua Lamo adalah konstruksi dari nilai-nilai hidup dalam masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai komunitas Hibua Lamo.[33] Hibua Lamo merupakan konsep bersama yang disebut Nanga Tau Mahirete (rumah kita bersama).[33] Orang Tobelo, Galela dan Loloda tersegregasi secara geografis, dan terbelenggu dalam tradisi, agama dan kepercayaan yang berbeda.[33] Perbedaan tersebut dipahami dan dihayati dengan kesucian hati dan kemurnian pikiran, kemudian diterapkan dalam sebuah ungkapan filosofis Ngone O'Ria Dodoto yang bermakna satu ibu satu kandung.[32] Konsekuensi dari falsafah Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto adalah lahirnya sebuah komunitas asli Halmahera Utara daratan maupun kepulauan dalam satu kesatuan yang teridentifikasi sebagai komunitas Hibua Lamo dan kemudian disimbolkan dalam rumah adat Himua Lamo.[32]
Dalam konteks ini komunitas Tobelo, Galela, dan Loloda mengalami proses penyatuan dalam satu sosiokultural baru yang dinamis.[32] Sosiokultural ini berlandaskan pada nilai-nilai O'dora (saling kasih), O'hanyangi (saling sayang), O'baliara (saling peduli), O'adili (perikeadilan) dan O'diai (kebenaran) dalam bingkai Nanga Tau Mahurete dan Ngone O'Ria Dodoto.[32]
Budaya Arumbae
Arumbae adalah bentukan karakter masyarakat Maluku, baik yang tinggal di pesisir maupun di pegunungan.[33] Arumbae adalah kebudayaan berlayar dalam masyarakat Maluku.[33] Perjuangan melintasi lautan merupakan bagian dari terbentuknya suatu masyarakat.[33] Sebagai contoh, masyarakat Tanimbar - dalam mitos Barsaidi meyakini bahwa leluhur mereka tiba di pulau Yamdena setelah melewati perjuangan yang sulit di lautan.[33]
Perjuangan melintasi lautan merupakan sejarah keluhuran.[25] Kedatangan para leluhur dari pulau Seram, pulau Jawa (seperti Tuban dan Gresik) dan pulau Bali menjadi bagian dari cerita keluhuran masyarakat di Maluku Tengah, Buru, Ambon, Lease, dan Maluku Tenggara.[25] Ragam cerita inilah yang membentuk terjadinya persekutuan PelaGandong antar negeri.[25] Dalam pataka daerah Maluku, Arumbae menjadi simbol daerah yang di dalamnya terdapat lima orang sedang mendayung menghadapi tantangan lautan.[25] Secara filosofis, maknanya ialah masyarakat Maluku adalah masyarakat yang dinamis, dan penuh daya juang dalam menghadapi tantangan untuk menyongsong masa depan yang gemilang.[25]
Laut adalah medan penuh bahaya dan Arumbae menstrukturkan cara pandang bahwa laut adalah medan kehidupan yang harus dihadapi.[25] Itulah sebabnya, masyarakat Maluku melihat laut sebagai jembatan persaudaraan yang menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya.[25] Berlayar ke suatu pulau, seperti dalam Pela Gandong bertujuan untuk mengeratkan jalinan hidup orang bersaudara sebagai pandangan dunia orang Maluku.[25] Kebiasaan papalele, babalu, maano, dan konsekuensi berlayar ke pulau lain, membuat laut dan arumbae sebagai simbol perjuangan ekonomi.[25]
Arumabe tampak dalam beragam karya seni.[25] Misalnya dalam syair kata tujuh ya nona, ditambah tujuh, sapuluh ampa ya nona dalang parao[25] Banyak gapura negeri adat Maluku berbentuk Arumbae.[25] Lagu daerah banyak mengumpamakan keharmonisan dengan simbol perahu atau Arumbae.[25] Di bidang olahraga, Arumbae Manggurebe menjadi program pariwisata dan olahraga tahunan yang diselenggarakan di Teluk Ambon.[25]
Sasahil dan Nekora
Sasahil dan Nekora merupakan tradisi masyarakat adat di Negeri Siri Sori Islam dan Negeri Siri Sori Kristen di pulau Saparua.[34] Bagi masyarakat desaTelalora, Nekora memiliki basis nilai tolong-menolong antarwarga.[34] Nilai tradisi Sasahil dan Nekora terletak pada cara dan proses pelaksanaan.[34] Nilai tolong-menolong yang terdapat dalam tradisi Sasahil maupun Nekora memiliki basis solidaritas yang kuat, dan menciptakan relasi saling memberi dan menerima antarwarga agar suatu pekerjaan berat untuk mendirikan rumah bisa lebih ringan.[34] Dalam menghadapi dinamika kehidupan yang terus berubah, tradisi Sasahil dan Nekora selalu dipertahankan dan dipelihara dengan baik.[34] Hal ini dimaksudkan sebagai modal sosial kelangsungan hidup bermasyarakat di masa mendatang.[34]
^ abHawear di Kepulauan Kei. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012
^ abcdefPeranan Batu Pamali dalam Kehidupan Masyarakat Adat di Maluku. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012.
^ abcdefgUpacara Fangnea Kidabela. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, Jendela Buku, 2012
^ abcdefgHibua Lamo dalam Kehidupan Masyarakat Adat Tobelo di Halmahera Utara. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Budaya Ambon, 2012