Gagasan seputar perubahan akhir situasi di luar kubur, yang semestinya memperbaiki kekontrasan tajam yang sering kali teramati antara perilaku manusia dengan nasibnya, lazim ditemukan di antara bangsa-bangsa sebelum era Kekristenan. Sebagai contoh, ajaran metempsikosis atau perpindahan jiwa sebagai pembenaran jalan Tuhan atas manusia dianut oleh umat agama Dharmik, kalangan Pythagorean, para mistikus Orfis, dan kaum Druid dari bangsa Kelt. Ajaran mengenai penghakiman yuridis dalam dunia yang tak kelihatan, yang melaluinya ditentukan nasib abadi jiwa yang telah meninggal dunia, juga sangat lazim dalam periode-periode waktu pra-Kristen.[1]
Gagasan Mesir Kuno akan penghakiman tertulis dengan sangat rinci dalam Kitab Orang Mati, sekumpulan rumusan yang dirancang untuk membantu orang yang meninggal dunia dalam perjalanan mereka melintasi dunia bawah. Berkenaan dengan kediaman masa depan setelah meninggal dunia, bangsa Babilonia dan Asyur tidak membuat perbedaan antara yang baik dan yang jahat. Dalam Epos Gilgames, sang pahlawan diperlihatkan sebagai hakim atas mereka yang telah meninggal dunia, namun tidak terdapat kejelasan apakah regulasinya berdasarkan nilai moral perbuatan-perbuatan mereka.[1]
Yudaisme
Keadilan dan kebenaran merupakan atribut-atribut penting Allah sehingga menimbulkan keyakinan bagi setiap orang percaya bahwa setiap kejahatan akan menemui hukuman sebagai konsekuensinya. "Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil?" (Kejadian 18:25). Bencana besar seperti air bah Nabi Nuh, penghancuran Sodom dan Gomora, gempa yang menelan Korah dan para pengikutnya, tulah Mesir, dan kejahatan yang menimpa para penindas Israel, direpresentasikan dalam Alkitab Ibrani sebagai penghakiman Ilahi. Oleh karena itu, akhir sejarah dipahami sebagai pelaksanaan penghakiman ilahi atas semua bangsa. Menurut pandangan biblis, penghakiman ilahi ini terjadi di bumi dan dimaksudkan secara khusus untuk menjadi pemulihan Israel.[2]
Hari Penghakiman ("Hari Tuhan") digambarkan secara jelas dalam Kitab Yobel, dan utamanya dalam Kitab Henokh. Gagasan utama dalam Kitab Henokh mengindikasikan Air Bah sebagai penghakiman pertama atas dunia ini, dan penghakiman terakhir atas dunia ini akan berlangsung pada awal atau pada akhir kerajaan Mesianik. Yang terjadi di awal kerajaan Mesianik lebih bersifat nasional; yang terjadi di akhir adalah untuk mengirimkan semua jiwa ke Firdaus ataupun ke Gehenna. Api dalam Gehenna melalap orang-orang fasik, para penyembah berhala yang sering kali direpresentasikan sebagai jenis-jenis kefasikan, sementara orang-orang Israel semestinya diselamatkan seturut jasa mereka sendiri ataupun ayah mereka. Penghakiman ilahi yang dideskripsikan dalam Perjanjian Abraham merupakan penghakiman atas semua jiwa di dalam kehidupan yang akan datang.[2]
Selain itu, terdapat juga penghakiman ilahi yang berlangsung di dunia ini secara terus-menerus. "Manusia dihakimi setiap hari," kata R. Jose (Tosef., R. H. 13). Menurut Mishnah, "Ada empat musim dalam setahun ketika dunia ini dihakimi: pada musim semi (Pesah), sehubungan dengan hasil tahunan; pada awal musim panas (Shavuot), sehubungan dengan panen buah-buahan dari pohon-pohon; pada Sukkot, sehubungan dengan hujan musim dingin; dan pada Hari Tahun Baru, ketika manusia dihakimi." Pandangan-pandangan tersebut menyebabkan hari pertama bulan Tishri menjadi Hari Penghakiman dalam liturgi Yahudi. Belum dikenal seperti demikian pada zaman Yosefus dan Filo, musim penyesalan dan doa tobat ini dianggap menghapuskan kegelisahan dan ketakutan akan Hari Penghakiman Terakhir yang sedemikian lazim dalam literatur dan kehidupan kaum Eseni, serta memberi etika Yahudi karakternya yang lebih praktis dan sehat.[2]
Kekristenan
Katolik
Penghakiman objektif dan subjektif
Dalam ajaran Katolik, penghakiman ilahi (bahasa Latin: judicium divinum), sebagai satu tindakan Allah yang akan terjadi, menandakan tindakan keadilan retributif Allah yang dengannya nasib semua makhluk rasional diputuskan berdasarkan perbuatan-perbuatan baik dan buruk mereka. Hal ini memperhitungkan:
Pengetahuan Allah akan nilai moral dari tindakan-tindakan semua makhluk yang berkehendak bebas, dan keputusan-Nya dalam menentukan konsekuensi-konsekuensi yang adil atas tindakan-tindakan tersebut;
putusan Ilahi atas makhluk yang mampu menerima hukum moral, serta pelaksanaan vonis ini melalui penghargaan dan hukuman.[1]
Pada awalnya, Allah mempermaklumkan penghakiman atas keseluruhan ras manusia, sebagai konsekuensi dari kejatuhan representasi mereka, yaitu orang tua pertama manusia (Kejadian 3). Kematian dan kelemahan fisik ataupun mental, serta kesengsaraan karenanya, merupakan konsekuensi-konsekuensi dari vonis awal itu. Selain penghakiman umum tersebut, terdapat penghakiman-penghakiman khusus terhadap bangsa dan individu tertentu. Takut akan Allah merupakan gagasan mendasar dalam Perjanjian Lama yang utamanya menekankan aspek hukuman dari penghakiman (bdk. Amsal 11:31; Yehezkiel 14:21).
Terdapat juga penghakiman Allah dalam dunia ini yang bersifat subjektif. Seorang individu mematuhi ataupun menyimpang dari hukum Allah dengan tindakan-tindakannya, dan dengan demikian menempatkan dirinya sendiri di dalam ranah persetujuan ataupun penghukuman. Dalam arti tertentu, masing-masing individu melakukan penghakiman atas diri mereka sendiri. Maka dinyatakan bahwa Kristus datang bukan untuk menghakimi, melainkan untuk menyelamatkan (Yohanes 3:17; 8:15; 12:47). Penghakiman dalam diri tersebut terlaksana sesuai dengan sikap seseorang terhadap Kristus (Yohanes 3:18).
Nasib abadi dari makhluk-makhluk akan diputuskan pada akhir zaman. Karena terdapat suatu akhir ganda dari zaman, maka terdapat juga suatu penghakiman kekal ganda: penghakiman khusus pada saat kematian jasmaniah, yang merupakan akhir zaman bagi sang individu, dan penghakiman umum pada masa akhir keberadaan dunia ini, yang merupakan akhir zaman bagi umat manusia.
Presbiterian
Gagasan bahwa Allah pada saat ini dan pada akhirnya akan menghakimi setiap kehidupan manusia merupakan doktrin atau pengajaran biblis yang mendasar untuk dapat memahami iman Kristen. Penghakiman Tuhan pada saat ini atas kehidupan manusia terlaksana sebagai pendahulu dari penghakiman terakhir dan sempurna yang akan dijatuhkan-Nya atas umat manusia pada akhir zaman. Umat Kristen juga harus menghadapi penghakiman Tuhan dan menerima konsekuensinya karena perbuatan-perbuatan yang dilakukan dalam tubuhnya, entah baik ataupun jahat.[3]
Artikel ini memuat teks dari suatu penerbitan yang sekarang berada dalam ranah publik: Herbermann, Charles, ed. (1913). "Divine Judgment". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton.