Ugamo Malim merupakan kelanjutan sistem religi kuno yang telah lebih dahulu dianut oleh masyarakat Batak jauh sebelum masuknya agama Kristen Protestan, Islam, dan Kristen Katolik. Sistem religi kuno tersebut melekat dalam tata kehidupan masyarakatnya tanpa label "agama" layaknya agama-agama terorganisasi lainnya di dunia.
Munculnya proses revitalisasi Ugamo Malim pada masa kepemimpinan Si Singamangaraja XII tidak terlepas dari konteks sosial, ekonomi, dan politik yang sedang bergejolak pada masa itu. Melihat besarnya pengaruh agama dan budaya lain yang mengguncang, Si Singamangaraja XII mengambil langkah menyelamatkan sistem religi Batak dengan cara mengembangkannya dan memberi nama Ugamo Malim.[1]
Pengertian
Ugamo Malim
Masyarakat Batak memaknai religiusitas dengan memperlakukan alam sebagai tumpuan hidup dan anugrah Mulajadi Nabolon yang harus dijaga, baik sebagai sumber kehidupan bagi keberadaan dirinya maupun sebagai sumber penghidupan bagi keberlangsungan hidupnya. Spiritualitas memelihara alam ciptaaan dipadukan dengan rasa syukur dan berserah diri pada Mulajadi Nabaolon dan dipelihara dengan ritual-ritual yang diselaraskan dengan kronologi kehidupan dan penghidupan.
Di antara ritual tersebut adalah upacara persembahan (bahasa Batak: pelean) kepada Mulajdi Nabolon. Aktivitas mempersiapkan perlengkapan ritual ini dilakukan dengan sangat teliti seturut tata laksana dan ketentuan yang disebut sebagai "patik".
Kegiatan menata persiapan ritual dan pelean disebut dengan “mang-ugamo-hon” (bahasa Indonesia: meng-agama-kan). "Ugamo" artinya keberaturan atau penataan dengan benar.
Parmalim
Orang-orang yang senantiasa melaksanakan upacara ritual disebut sebagai “parugamo” atau “parugama”. Sebutan “parugamo” kembali populer di Tanah Batak ketika agama lain menjadi tumbuh di tanah Batak dan menjadi identitas yang eksis dengan sistem keyakinan religiusitas asli Batak. Dalam bahasa Batak, orang yang mengikuti serta menghayati ajaran Ugamo Malim disebut "parugamo malim", disingkat Parmalim.
Punguan parmalim
Dalam bahasa Batak, sekumpulan orang yang melaksanakan satu kegiatan dengan satu tujuan disebut sebagai "punguan". Perkumpulan penganut Ugamo Malim disebut pula sebagai "punguan parmalim".
Perkumpulan yang dimaksud dapat berupa:
Tempat beribadah satu unit parmalim yang dipimpin oleh seorang ulu punguan pada bale parsantian. Seorang ulu punguan ini menjalankan tugas dan fungsi yang diamanatkan oleh seorang ihutan malim dari Bale Pasogit Partonggoan (pusat peribadatan parmalim di Huta Tinggi, Laguboti, Toba).
Organisasi penghayat Ugamo Malim untuk urusan non-religiusitas dan administratif.
Sejarah
Pada masa dinasti Sisingamangaraja, terdapat Bale Pasogit Pamujian di Bakkara. Tempat ini merupakan pusat peribadatan dan spritualitas masyarakat Batak pada masa itu.[butuh rujukan]Tetapi, selama berlangsungnya Perang Toba yang membumihanguskan Bakkara, Bale Pasogit Pamujian tersebut juga ikut dibakar. Karena masuknya pengaruh asing dan tiimbulnya guncangan pada tatanan kehidupan masyarakat sebagai akibat penjajahan Belanda dan aktivitas penyebaran agama Kristen, Sisingamangaraja XII mengamanatkan kepada muridnya untuk mendirikan sebuah "bale pasogit " kelak sebagai wadah tempat "pamujian nabolon” (bahasa Indonesia: pemujaan terhadap Yang Agung) yang menghimpun orang-orang yang setia dengan keyakinan terhadap Mulajadi Nabolon.[butuh rujukan]Setelah tewasnya Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907, amanat tersebut kembali diingatkan oleh sosok yang menamakan diri sebagai Nasiakbagi. Ia juga menunjuk tempat kedudukan dan rupa bale pasogit yang kelak akan didirikan oleh Raja Mulia.
Terkait amanah mendirikan bale pasogit, Raja Mulia melapor dan menyampaikan maksudnya kepada pemerintah Belanda melalui Kantor Demang di Balige pada sekitar tahun 1913. Pemerintah Belanda mengadakan penyelidikan atas kegiatan penyebaran ajaran Ugamo Malim selama beberapa tahun. Pada tahun 1921, Belanda mengizinkan Raja Mulia mendirikan bale pasogit di Hutatinggi, Laguboti melalui Surat Controleur van Toba Nomor 1494/13 per tanggal 25 Juni 1921. Sejak saat itu, Ugamo Malim secara terbuka melaksanakan upacara ritual dan pengembangan ajaran secara terpusat di Hutatinggi, Toba di bawah pimpinan Raja Mulia Naipospos.
Kepemimpinan
Raja Si Singamangaraja sebagai malim (bahasa Indonesia: imam) bagi masyarakat Batak, mengajarkan dan menegakkan titah menyembah dan memuja Mulajadi Nabolon sebagai Tuhan Pencipta. Sisingamangaraja menenamakan dirinya sebagai Raja Nasiakbagi Patuan Raja Malim. Raja Mulia Naipospos merupakan salah satu muridnya.
Raja Mulia Naipospos
Raja Nasiakbagi menunjuk dan mengamanahkan kepada muridnya, Raja Mulia Naipospos, untuk memimpin pengikutnya dan menyebarkan Ugamo Malim. Raja Mulia Naipospos disebut sebagai Ihutan Bolon Parmalim (bahasa Indonesia: pemimpin besar parmalim). Ia menjadi generasi pertama pemimpin parmalim.
Raja Ungkap Naipospos
Selanjutnya, putera tunggal dari Raja Mulia Naipospos yang bernama Raja Ungkap Naipospos, meneruskan kepemimpinan pada tahun 1956 sebagai Ihutan Bolon Parmalim generasi kedua. Pada tahun 1939, sebelum menjadi Ihutan Bolon Parmalim, ia mendirikan Parmalim School di Bale Pasogit Parmalim dan mendapat dukungan penuh dari Raja Mulia. Di sekolah ini, anak-anak parmalim dari semua pelosok bisa sekolah agar tidak ketinggalan dengan sekolah zendingKristen.
Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, sekolah ini ditutup karena anak-anak parmalim sudah diterima pada sekolah pemerintah di tempat tinggal masing-masing. Selama kepemimpinannya, Raja Ungkap melakukan terobosan dalam pola pembinaan pengajaran parmalim. Ia menuliskan ajaran dan menyebarkannya kepada seluruh parmalim. Ia juga membuat ajaran-ajaran tertulis yang disimpan secara rapi. Sebelumnya, ajaran-ajaran Ugamo Malim hanya bersifat lisan.
Raja Ungkap juga mengembangkan bangunan-bangunan fisik pusat peribadatan parmalim yang berada di Hutatinggi. Termasuk di antaranya, memperbaharui Bale Pasogit dan melengkapi fasilitas pendukungnya, serta mendirikan Bale Parpitaan, Bale Pangaminan, dan Parhobasan.
Ia memprakarsai renovasi kembali Bale Pasogit Sisingamangaraja dan Batu Siungkapungkapon di Bakkara pada tahun 1974. Ia juga mengorganisasikan parmailim secara administratif. Menjelang akhir hidupnya, Ugamo Malim di Hutatinggi, Laguboti, sudah terdaftar pada inventarisasi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa melalui Surat Keputusan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI No. I.136/F.3/N.1.1/1980. Raja Ungkap Naipospos meninggal pada hari Senin, 16 Februari 1981.
Raja Marnangkok Naipospos
Setelah Raja Ungkap Naipospos wafat, kepemimpinan Ugamo Malim di Huta Tinggi diteruskan kepada putera sulungnya, yakni Raja Marnangkok Naipospos. Raja Marnangkok lahir pada 18 Juli 1939. Oa menjadi Ihutan Bolon Parmalim generasi ketiga. Raja Marnangkok mengumpulkan dan membukukan ajaran dan bimbingan tertulis yang pernah dibuat Raja Ungkap Naipospos, kemudian menyebarluaskannya di kalangan parmalim. Raja Marnangkok Naipospos meninggal pada tahun 2016.
Raja Monang Naipospos
Sejak tahun 2017, kepemimpinan parmalim dilanjutkan oleh adik dari Raja Marnangkok Naipospos, yakni Raja Monang Naipospos. , hingga saat ini. Raja Monang Naipospos meningkatkan kerjasama dengan Direktorat PKT, Dirjen Kebudayaan, Kemendikbud, sebagai lembaga pemerintah yang membina penghayat kepercayaan di Indonesia. Ia juga terlibat dalam aktivitas lintas sektoral tingkat nasional untuk mengoptimalkan perjuangan pemenuhan hak-hak sipil penghayat kepercayaan di Indonesia.
Ajaran
Ugamo Malim memiliki ajaran sujud dan berserah diri pada Tuhan, Patik berupa ajaran tentang Perintah dan Larangan sesuai kehendak Tuhan, Poda Hamalimon sebagai anutan berpikir bertindak dan berperilaku terhadap sesama dan alam, serta "Tona" sebagai amanah Tuhan yang disampaikan kepada Manusia.
Parmalim melaksanakan ritual peribadatan rutin setiap hari Sabtu (Marari Sabtu) sebagai wujud rasa syukur, pemujaan dan memuliakan Mulajadi Nabolon sang pencipta langit dan bumi. Selain Maraisabtu Parmalim juga melaksanakan berbagai aturan peribadatan Ugamo Malim antara lain "Pameleon Bolon" sebagai ibadah ritual syukuran kehidupan yang dilaksanakan pada bulan ke-Lima (sipaha lima), ritual pengampunan dosa "Mangan Napaet" pada bulan ke-12 dan mensyukuri memperingati lahirnya utuan Tuhan kepada manusia yang dirayakan pada hari kedua dan ketiga bulan ke-satu "sipaha sada" sesuai kalender Batak.
Jumlah pengikut
Tidak ada data pasti yang menyebutkan berapa banyak jumlah pengikut dari Parmalim ini. Namun pada dasarnya, pengikut aliran ini hampir semuanya berdomisili di provinsi Sumatera Utara. Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, selain 6 agama resmi yang diakui pemerintah Republik Indonesia, aliran kepercayaan dimasukkan dalam kolom Lainnya (Jumlah penganut agama), termasuk Parmalim. Bila dihitung dari hasil sementara Sensus 2010, maka jumlah pengikut aliran ini sekitar 816 jiwa (dihitung dari jumlah yang ada di Sumatera Utara). Akan tetapi, sesuai penelitian ilmiah dengan perkiraan kasar jumlah mereka kurang lebih 1.100 jiwa.
Mayoritas pemeluk Parmalim ada di Kabupaten Toba Samosir. Masih dari data BPS Sumatera Utara, jumlah pengikutnya mencapai 500 jiwa (0.36%) dari sekitar 140.000 jiwa penduduk Toba Samosir tahun 2010. Tetapi, seiring berjalannya waktu penganut parmalim semakin sedikit dan terus berkurang, pengikutnya juga memang sangat sedikit dan nyaris punah. Hasil sensus penduduk tahun 2010-2015 dari data BPS dan juga data pemerintahan provinsi Sumatera Utara, ternyata penganut agama ini hanya berkisar 300 jiwa saja di Sumatera Utara. Pada sensus 2000-2005 jumlahnya sangat banyak, bahkan mencapai ribuan hingga belasan dan puluhan ribu. Pada sensus 2020 tidak diketahui secara pasti karena BPS sendiri belum merilis hasil sensus tahun 2020. Mungkin saja penganut agama ini semakin sedikit karena terus berkurang, juga bisa disebabkan sensus 2020 ini terkendala karena pandemi Covid-19.
Direktorat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI. (2018), Ugamo Malim, dalam Ensiklopedi Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Gultom, I. (2010) Agama Malim Di Tanah Batak, Bumi Aksara, Jakarta.